Siapakah manusia? Itulah pertanyaan klasik tentang ciptaan yang bernama manusia. Manusia ada sebagai bagian dari seluruh tata alam semesta. Ia mikrokosmos, bagian dari makrokosmos.
Hidup manusia tidak terlepas dari alam dan sesama di sekitarnya: Ia membutuhkan tumbuhan dan hewan yang memberikan nutrisi; air yang memberi kesegaran, tanah tempat ia berpijak dan udara yang memberinya nafas. Ia membutuhkan sesama manusia di sekitarnya. Sebagai ciptaan ia tidak sempurna pada dirinya. Ia membutuhkan, bahkan bergantung pada sesama. Ia merindukan sesuatu yang melampaui dirinya. Ia hanya ‘mampir’ di dunia.
Adanya alam semesta dan kehadiran sesama manusia, tentu bukan jawaban final bagi seluruh kebutuhan manusia. Sebab ia adalah makhluk yang terus mencari makna. Gabriel Marcel melukiskan manusia sebagai peziarah (homo viator). Manusia tidak hidup menurut naluri saja. Ia berefleksi tentang dirinya sendiri: siapakah aku, dari mana aku berasal, apa tujuan dan makna hidupku? Bagaikan seorang peziarah, manusia berjalan di dunia. Ada titik akhir terjauh yang hendak dicapainya dalam hidupnya. Santo Bonaventura menggambarkan titik itu dengan keadaan damai: bukan sekedar perasaan damai, tetapi damai batiniah (pacem spiritus).
Dambaan manusia akan damai sejati itu bukan sebuah jalan otomatis, melainkan proses yang berjalan terus-menerus, jatuh dan bangun. Sering kali manusia mengalami bahwa dunia ini ibarat padang gurun tandus. Ia pun merasa haus akan sumber air segar. Haus di padang gurun menggambarkan pengalaman manusia sebagai “pengemis makna”: ia memohon belaskasih dan kerahiman sang Pencipta. Ia mengemis dari ‘meja Tuhan’.
Santo Fransiskus Assisi menggambarkan manusia sebagai musafir dan perantau di dunia. Sebagai peziarah, manusia melakukan ‘exsodus’: Ia berjalan keluar, meninggalkan dunia yang sementara ini menuju Penciptanya. Hidup manusia di dunia merupakan ‘jalan kembali’ menuju Tanah Terjanji. Dunia ini bukan realitas yang ‘sudah selesai’. Dunia tidak menyediakan jawaban definitif atas pertanyaan manusia. Lebih tepat mengibaratkan dunia ini sebagai realitas yang ‘hampir selesai’ (penultimate). Tujuan akhir hidup tersedia di seberang sana.
Tujuan final yang masih jauh itu, oleh orang-orang Kristen dimaknai sebagai sebuah kebajikan yang disebut ‘harapan’ (selain dua kebajikan lainnya, yaitu iman dan kasih). Harapan itu sesuatu yang intrinsik ada (melekat) dalam lubuk hati manusia. Harapan itu laksana energi yang menggerakkan manusia untuk tak berhenti menggapai sukacita; laksana pandangan mata ke horizon yang terbentang luas ke depan.
Bagi manusia peziarah, sang Pencipta bukan hanya penyebab hidupnya, melainkan juga tujuan akhir atau final. Sebab memiliki sebab awal tanpa tujuan akhir adalah kesia-siaan: absurd!. Dalam buku Confessions, Agustinus menggambarkan bahwa kerinduan jiwa manusia untuk bersatu dengan Allah itu begitu kuat dan mendalam. Kerinduan jiwa akan Allah itu lebih daripada kesatuannya dengan tubuh manusia. Agustinus mengkontemplasikan kerinduan jiwa manusia dalam sebuah dialog imaginernya dengan Tuhan:
Agustinus: “Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu, dan jiwa kami belum berdiam sebelum ia beristirahat dalam Engkau”. Tuhan: “Jika engkau telah dipuaskan oleh segala kebaikan dan kesenangan dunia, apalagi yang engkau dambakan”? Agustinus: “Hanya satu hal yang aku minta dari-Mu ya Tuhan, agar aku boleh tinggal di rumah-Mu seumur hidupku”. Refleksi Agustinus ini mengajarkan bahwa manusia dapat memandang dan mengenal dirinya dengan lebih jelas di dalam Allah, bukan di dalam dirinya.
Manusia makhluk yang bertanya dan terus mencari makna…
Shalom pater… saya minta ijin untuk memuat tulisan-tulisan Pater di blog ini ke website ofm.or.id di bagian artikel spiritualitas fransiskan.
Terima kasih.
erwin.
Mas Erwin, selamat pesta Fransiskus ya, iya silakan dishare ya, Pace e Bene.
Bagus Romo, terima kasih.
Berkah Dalem.
Sama2
Terima kasih pater…..telah membagi tulisan untuk kami, .. Saya menunggu tulisan berikutnya..****(Salam &Doa …Semoga ama romo selalu diberi kesehatan)
Terima kasih ama. Tuhan memberkati.
St Agustinus_menggambarkan bahwa kerinduan jiwa manusia untuk bersatu dengan Allah***Refleksi Agustinus,”manusia dapat memandang dan mengenal dirinya dengan lebih jelas didalam Allah…Terima kasih ama pater (Salam.& Doa ..semoga pater sehat selalu ..)
Terima kasih ama. Tuhan memberkati.
Teeimakasih Pater utk sebuah perspektif dan pemikiran akan harapan, iman dan kasih bagi kami yg sdg berziarah dalam dunia yg penuh tantangan ini… menjadi sebuah arah utk kita merefleksikan diri dlm beeziarah…terimakasih Pater dan selamat pagi…??
Sama2 ama. Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!
Berfilsafat dan berteologi: mesti bertolak dari dimensi kasih Trinitas. Kasih Trinitas itu bagaikan ‘jembatan’ yang mengintegralkan antara ratio dan fides. Integritas dari keduanya itu, niscaya memungkinkan perjumpaan Allah dengan manusia.
Terima kasih.
Pertanyaan pokok, siapakah manusia di hadapan alam dan sesamanya amat kontekstual dengan situasi sekarang. Berpijak pada pertanyaan ini, refleksi kritis tentang keberadaan manusia di dunia ini amatlah penting. Saya sangat setuju dengan ulasan menarik diatas bahwa manusia sebetulnya hanya maklhuk yang “mampir” di dunia ini. Kata “mampir’ ini mengindikasikan bahwa keberadaan manusia di dunia tidak bersifat abadi, tetapi memiliki batas waktu tertentu. Kata “mampir” ini juga bisa di defenisikan sebagai sebuah perjalanan yang memilik jeda tertentu, yang barangkali dalam “keterjedaan” itu manusia tetap menatap jauh kedepan terutama arah dan tujuan hidupnya.
Menarik bahwa ulasan tentang manusia hanya “mampir” di dunia ini tidak berhenti pada refleksi “keterjedaan” di dunia, tetapi merupkan sebuah perziarahan panjang. Dengan berpijak pada refleksi kritis dari beberapa filsuf dan tokoh-tokoh penting dalam Gereja seperti Gabriel Marcel, Bonaventura, Agustinus, dan Fransiskus Asisi, Pater Andre Atawolo, OFM mampu menjawab sebuah pertanyaan pokok, siapakah manusia itu? Bahwasanya manusia adalah makluk yang terus mencari dan menemukan makna hidup sesungguhnya adalah sebuah gagasan yang sangat menarik. Dengan gagasan ini, manusia sebetulnya mencari makna terdalam dalam hidupnya yakni Allah sendiri.
Dengan ( Allah) sebagai tujuan akhir dari perziarahannya, manusia terutama Orang-orang Kristiani mempunyai konsep tersendiri dengan Allah yang diimaninya. Allah yang telah hadir ke dunia menunjukan bahwa Allah mau berbagi, Allah mau merasakan dan Allah ingin tinggal dengan manusia. Maka, pencarian yang sesungguhnya dari manusia Kristiani mesti berdampak dalam kehidupan nyata. Sebagaimana Allah rela turun dari takhta dan kemahakuasaan-Nya, manusia juga mesti memiliki kepeduliaan terhadap sesama di sekitarnya termasuk alam yang menjadi sumber pijakkan. Pertemuan dan perziarahan yang sesungguhnya mencari Allah dapat di lihat dalam alam dan sesamanya.
Artikel ini sangat menggambarkan suatu kedambaan terdalam yang dimiliki manusia. Manusia mengharapkan sebuah akhir dari peziarahan ini agar hidup tidak menjadi absurd. Keadaan ini diperjelas maknanya dengan penyebaran Covid-19 yang bisa tiba-tiba datang merenggut nyawa manusia. Akan tetapi, manusia modern sekarang ini perlu sebuah kepastian di mana ketakutan akan hidup yang absurd itu gagal. Oleh karena itu, saya mengusulkan untuk melihat tema ini dalam konteks wafat dan kebangkitan Yesus. Dengan kebangkitan, manusia modern mendapat sebuah kepastian.
Saat menghadapi salib, yang mendatangkan kematian itu, Yesus tetap percaya pada Allah. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan-Nya masa depan yang lebih luas. Harapan itu tidak sia-sia. Allah membuktikan harapan Yesus itu dengan kebangkitan-Nya yang umat kristiani rayakan pada Hari Raya Paskah.
Menurut refleksi saya, bukanlah sebuah kebetulan Covid-19 ini menyerang kita pada masa prapaskah. Dengan adanya virus ini, umat kristiani diajak untuk mempersiapakn diri dan tetap berharap pada Allah. Harapan itu tidak akan sia-sia belaka pada saat kita merayakan paskah nanti di mana Allah membangkitkan Yesus. Hal inilah yang menjadi kepastian bahwa harapan itu manusia tidak sia-sia.
Terima kasih
Terimakasih Pater untuk ulasannya yang menarik ini. Saya terinspirasi dengan gagasan inti dari artikel ini bahwa kita di bumi ini hanya “mampir”. Ketika saya jalan-jalan, entahlah tujuannya ke mana, “mampir” menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mampir untuk meneguk segelas air sembari melepaskan dahaga, mampir untuk menikmati segelas kopi, sebatang rokok, atau untuk selfie, khas gaya milenial. “Mampir” mengandaikan bahwa saya berjalan tidak terburu-buru, tak dikejar oleh waktu. “Mampir” berarti saya rileks dengan yang namanya perjalanan. Pesannya bahwa ada harapan dalam diri saya bahwa saya tetap tiba di tempat tujuan meskipun saya “mampir”. Karena itu, satu pesan tersirat yang saya dapat dari artikel ini, yakni pentingnya rileks, mengambil waktu untuk rehat, dan mengambil kesempatan untuk senyum dalam hidup. Pengandaian dari kata “mampir” adalah ada harapan. Harapan akan hari esok tetap baik, masa depan tetap “ok”, tetap sampai pada tujuan karena kita hanya “mampir”. Mampir. Ya, kita hanya mampir.
Gracias Padre