Christus Medium
  • Humaniora
  • Teologi
  • Dialog Teologi dan Sains
  • Filsafat
  • Buku
  • Tentang Saya
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
Christus Medium
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
Home Teologi

Hanya ‘Mampir’ di Dunia

Manusia hanya "mampir" di dunia. Ia harus melanjutkan perjalanan. Tujan akhir ziarah ada di seberang sana.

9 Juni 2018
inTeologi
17
Hanya ‘Mampir’ di Dunia

gambar dari pixabay

Share on FacebookShare on Whats AppShare on Twitter

Siapakah manusia? Itulah pertanyaan klasik tentang ciptaan yang bernama manusia. Manusia ada sebagai bagian dari seluruh tata alam semesta. Ia mikrokosmos, bagian dari makrokosmos.

Hidup manusia tidak terlepas dari alam dan sesama di sekitarnya: Ia membutuhkan tumbuhan dan hewan yang memberikan nutrisi; air yang memberi kesegaran, tanah tempat ia berpijak dan udara yang memberinya nafas. Ia membutuhkan sesama manusia di sekitarnya. Sebagai ciptaan ia tidak sempurna pada dirinya. Ia membutuhkan, bahkan bergantung pada sesama. Ia merindukan sesuatu yang melampaui dirinya. Ia hanya ‘mampir’ di dunia.

Adanya alam semesta dan kehadiran sesama manusia, tentu bukan jawaban final bagi seluruh kebutuhan manusia. Sebab ia adalah makhluk yang terus mencari makna. Gabriel Marcel melukiskan manusia sebagai peziarah (homo viator). Manusia tidak hidup menurut naluri saja. Ia berefleksi tentang dirinya sendiri: siapakah aku, dari mana aku berasal, apa tujuan dan makna hidupku? Bagaikan seorang peziarah, manusia berjalan di dunia. Ada titik akhir terjauh yang hendak dicapainya dalam hidupnya. Santo Bonaventura menggambarkan titik itu dengan keadaan damai: bukan sekedar perasaan damai, tetapi damai batiniah (pacem spiritus).

Dambaan manusia akan damai sejati itu bukan sebuah jalan otomatis, melainkan proses yang berjalan terus-menerus, jatuh dan bangun. Sering kali manusia mengalami bahwa dunia ini ibarat padang gurun tandus. Ia pun merasa haus akan sumber air segar. Haus di padang gurun menggambarkan pengalaman manusia sebagai “pengemis makna”: ia memohon belaskasih dan kerahiman sang Pencipta. Ia mengemis dari ‘meja Tuhan’.

Santo Fransiskus Assisi menggambarkan manusia sebagai musafir dan perantau di dunia. Sebagai peziarah, manusia melakukan ‘exsodus’: Ia berjalan keluar, meninggalkan dunia yang sementara ini menuju Penciptanya. Hidup manusia di dunia merupakan ‘jalan kembali’ menuju Tanah Terjanji. Dunia ini bukan realitas yang ‘sudah selesai’. Dunia tidak menyediakan jawaban definitif atas pertanyaan manusia. Lebih tepat mengibaratkan dunia ini sebagai realitas yang ‘hampir selesai’ (penultimate). Tujuan akhir hidup tersedia di seberang sana.

Tujuan final yang masih jauh itu, oleh orang-orang Kristen dimaknai sebagai sebuah kebajikan yang disebut ‘harapan’ (selain dua kebajikan lainnya, yaitu iman dan kasih). Harapan itu sesuatu yang intrinsik ada (melekat) dalam lubuk hati manusia. Harapan itu laksana energi yang menggerakkan manusia untuk tak berhenti menggapai sukacita; laksana pandangan mata ke horizon yang terbentang luas ke depan.

BacaJuga

Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV

Kekristenan di Era Posthuman

Misteri “Aku Haus”

Mengapa Maria Bergelar Advocata?

Apa Itu Neraka?

Apapun Agamamu Anda ‘Merayakan Ekaristi’

Bagi manusia peziarah, sang Pencipta bukan hanya penyebab hidupnya, melainkan juga tujuan akhir atau final. Sebab memiliki sebab awal tanpa tujuan akhir adalah kesia-siaan: absurd!. Dalam buku Confessions, Agustinus menggambarkan bahwa kerinduan jiwa manusia untuk bersatu dengan Allah itu begitu kuat dan mendalam. Kerinduan jiwa akan Allah itu lebih daripada kesatuannya dengan tubuh manusia. Agustinus mengkontemplasikan kerinduan jiwa manusia dalam sebuah dialog imaginernya dengan Tuhan:

Agustinus: “Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu, dan jiwa kami belum berdiam sebelum ia beristirahat dalam Engkau”. Tuhan: “Jika engkau telah dipuaskan oleh segala kebaikan dan kesenangan dunia, apalagi yang engkau dambakan”? Agustinus: “Hanya satu hal yang aku minta dari-Mu ya Tuhan, agar aku boleh tinggal di rumah-Mu seumur hidupku”. Refleksi Agustinus ini mengajarkan bahwa manusia dapat memandang dan mengenal dirinya dengan lebih jelas di dalam Allah, bukan di dalam dirinya.

Tags: homo viatorjiwa manusiasanto agustinusSanto BonaventuraSanto Fransiskus Assisi
Share13SendTweet
Artikel Sebelumnya

Ekaristi Jaminan Hidup Kekal

Artikel Berikut

Misteri Interkoneksitas Semesta

TerkaitTulisan

Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV

Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV

Kekristenan di Era Posthuman

Kekristenan di Era Posthuman

Misteri “Aku Haus”

Mengapa Maria Bergelar Advocata?

Apa Itu Neraka?

Apapun Agamamu Anda ‘Merayakan Ekaristi’

Pandangan Martin Luther tentang Bunda Maria

Poin Inti Ensiklik Dilexit Nos

Komentar 17

  1. Anonymous says:
    7 tahun yang lalu

    Manusia makhluk yang bertanya dan terus mencari makna…

    Balas
  2. Erwin Philipus says:
    7 tahun yang lalu

    Shalom pater… saya minta ijin untuk memuat tulisan-tulisan Pater di blog ini ke website ofm.or.id di bagian artikel spiritualitas fransiskan.
    Terima kasih.
    erwin.

    Balas
  3. bernadinusatawolo wagameho says:
    7 tahun yang lalu

    Mas Erwin, selamat pesta Fransiskus ya, iya silakan dishare ya, Pace e Bene.

    Balas
  4. Nita says:
    6 tahun yang lalu

    Bagus Romo, terima kasih.
    Berkah Dalem.

    Balas
    • Andre Atawolo says:
      6 tahun yang lalu

      Sama2

      Balas
  5. Agustinus Pati Arkian Atakowa. says:
    6 tahun yang lalu

    Terima kasih pater…..telah membagi tulisan untuk kami, .. Saya menunggu tulisan berikutnya..****(Salam &Doa …Semoga ama romo selalu diberi kesehatan)

    Balas
    • Andre Atawolo says:
      6 tahun yang lalu

      Terima kasih ama. Tuhan memberkati.

      Balas
  6. Agustinus Pati Arkian Atakowa. says:
    6 tahun yang lalu

    St Agustinus_menggambarkan bahwa kerinduan jiwa manusia untuk bersatu dengan Allah***Refleksi Agustinus,”manusia dapat memandang dan mengenal dirinya dengan lebih jelas didalam Allah…Terima kasih ama pater (Salam.& Doa ..semoga pater sehat selalu ..)

    Balas
    • Andre Atawolo says:
      6 tahun yang lalu

      Terima kasih ama. Tuhan memberkati.

      Balas
  7. Johnny Lagawurin says:
    5 tahun yang lalu

    Teeimakasih Pater utk sebuah perspektif dan pemikiran akan harapan, iman dan kasih bagi kami yg sdg berziarah dalam dunia yg penuh tantangan ini… menjadi sebuah arah utk kita merefleksikan diri dlm beeziarah…terimakasih Pater dan selamat pagi…??

    Balas
    • Andre Atawolo says:
      5 tahun yang lalu

      Sama2 ama. Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!

      Balas
  8. Milikheor Debristo Kasa says:
    5 tahun yang lalu

    Berfilsafat dan berteologi: mesti bertolak dari dimensi kasih Trinitas. Kasih Trinitas itu bagaikan ‘jembatan’ yang mengintegralkan antara ratio dan fides. Integritas dari keduanya itu, niscaya memungkinkan perjumpaan Allah dengan manusia.

    Balas
    • Andre Atawolo says:
      5 tahun yang lalu

      Terima kasih.

      Balas
  9. Simon O. Lebo says:
    5 tahun yang lalu

    Pertanyaan pokok, siapakah manusia di hadapan alam dan sesamanya amat kontekstual dengan situasi sekarang. Berpijak pada pertanyaan ini, refleksi kritis tentang keberadaan manusia di dunia ini amatlah penting. Saya sangat setuju dengan ulasan menarik diatas bahwa manusia sebetulnya hanya maklhuk yang “mampir” di dunia ini. Kata “mampir’ ini mengindikasikan bahwa keberadaan manusia di dunia tidak bersifat abadi, tetapi memiliki batas waktu tertentu. Kata “mampir” ini juga bisa di defenisikan sebagai sebuah perjalanan yang memilik jeda tertentu, yang barangkali dalam “keterjedaan” itu manusia tetap menatap jauh kedepan terutama arah dan tujuan hidupnya.

    Menarik bahwa ulasan tentang manusia hanya “mampir” di dunia ini tidak berhenti pada refleksi “keterjedaan” di dunia, tetapi merupkan sebuah perziarahan panjang. Dengan berpijak pada refleksi kritis dari beberapa filsuf dan tokoh-tokoh penting dalam Gereja seperti Gabriel Marcel, Bonaventura, Agustinus, dan Fransiskus Asisi, Pater Andre Atawolo, OFM mampu menjawab sebuah pertanyaan pokok, siapakah manusia itu? Bahwasanya manusia adalah makluk yang terus mencari dan menemukan makna hidup sesungguhnya adalah sebuah gagasan yang sangat menarik. Dengan gagasan ini, manusia sebetulnya mencari makna terdalam dalam hidupnya yakni Allah sendiri.

    Dengan ( Allah) sebagai tujuan akhir dari perziarahannya, manusia terutama Orang-orang Kristiani mempunyai konsep tersendiri dengan Allah yang diimaninya. Allah yang telah hadir ke dunia menunjukan bahwa Allah mau berbagi, Allah mau merasakan dan Allah ingin tinggal dengan manusia. Maka, pencarian yang sesungguhnya dari manusia Kristiani mesti berdampak dalam kehidupan nyata. Sebagaimana Allah rela turun dari takhta dan kemahakuasaan-Nya, manusia juga mesti memiliki kepeduliaan terhadap sesama di sekitarnya termasuk alam yang menjadi sumber pijakkan. Pertemuan dan perziarahan yang sesungguhnya mencari Allah dapat di lihat dalam alam dan sesamanya.

    Balas
  10. Ferdinandus Lanang Benimaking says:
    5 tahun yang lalu

    Artikel ini sangat menggambarkan suatu kedambaan terdalam yang dimiliki manusia. Manusia mengharapkan sebuah akhir dari peziarahan ini agar hidup tidak menjadi absurd. Keadaan ini diperjelas maknanya dengan penyebaran Covid-19 yang bisa tiba-tiba datang merenggut nyawa manusia. Akan tetapi, manusia modern sekarang ini perlu sebuah kepastian di mana ketakutan akan hidup yang absurd itu gagal. Oleh karena itu, saya mengusulkan untuk melihat tema ini dalam konteks wafat dan kebangkitan Yesus. Dengan kebangkitan, manusia modern mendapat sebuah kepastian.
    Saat menghadapi salib, yang mendatangkan kematian itu, Yesus tetap percaya pada Allah. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan-Nya masa depan yang lebih luas. Harapan itu tidak sia-sia. Allah membuktikan harapan Yesus itu dengan kebangkitan-Nya yang umat kristiani rayakan pada Hari Raya Paskah.
    Menurut refleksi saya, bukanlah sebuah kebetulan Covid-19 ini menyerang kita pada masa prapaskah. Dengan adanya virus ini, umat kristiani diajak untuk mempersiapakn diri dan tetap berharap pada Allah. Harapan itu tidak akan sia-sia belaka pada saat kita merayakan paskah nanti di mana Allah membangkitkan Yesus. Hal inilah yang menjadi kepastian bahwa harapan itu manusia tidak sia-sia.

    Terima kasih

    Balas
  11. Marselus A. Tendor says:
    5 tahun yang lalu

    Terimakasih Pater untuk ulasannya yang menarik ini. Saya terinspirasi dengan gagasan inti dari artikel ini bahwa kita di bumi ini hanya “mampir”. Ketika saya jalan-jalan, entahlah tujuannya ke mana, “mampir” menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mampir untuk meneguk segelas air sembari melepaskan dahaga, mampir untuk menikmati segelas kopi, sebatang rokok, atau untuk selfie, khas gaya milenial. “Mampir” mengandaikan bahwa saya berjalan tidak terburu-buru, tak dikejar oleh waktu. “Mampir” berarti saya rileks dengan yang namanya perjalanan. Pesannya bahwa ada harapan dalam diri saya bahwa saya tetap tiba di tempat tujuan meskipun saya “mampir”. Karena itu, satu pesan tersirat yang saya dapat dari artikel ini, yakni pentingnya rileks, mengambil waktu untuk rehat, dan mengambil kesempatan untuk senyum dalam hidup. Pengandaian dari kata “mampir” adalah ada harapan. Harapan akan hari esok tetap baik, masa depan tetap “ok”, tetap sampai pada tujuan karena kita hanya “mampir”. Mampir. Ya, kita hanya mampir.

    Balas
  12. Lusi Sinurat says:
    4 tahun yang lalu

    Gracias Padre

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terbaru

  • Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV
  • Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat
  • Kekristenan di Era Posthuman
  • Mukjizat Pada Seorang Swiss Guard
  • Ensiklik Mense Maio untuk Bulan Maria

Komentar Terbaru

  • Agus Pati Uban Atakowa pada Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV
  • Theresia Ina Duran pada Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV
  • Agus Pati Uban Atakowa pada Kekristenan di Era Posthuman
  • Agus Pati Uban Atakowa. pada Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat
  • Sr. Alfonsa SFD pada Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat

Tag

AllahBonaventuraBunda MariaCorona VirusdisabilitasdoaEkaristiEnsiklik Tutti FratelliFransiskanFransiskus AssisiFratelli TuttiGerejaGereja Katolikharapanhikmat roh kudushomo digitalisimanIman dan WahyuJean Vanierkarunia Roh Kuduskasihlogika kasihlogika salibManusiamanusia sebagai citra AllahnatalPaus Benediktus XVIPaus FransiskussabdaSalibSanta Mariasanto agustinusSanto BonaventuraSanto Fransiskus AssisiSanto YusufselfieTeilhard de ChardinTeologiteologi selfieTrinitasvirus koronawaktuwaktu dan kekekalanYesus kristusYohanes Pembaptis
@Christusmedium.com
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
  • Humaniora
  • Teologi
  • Dialog Teologi dan Sains
  • Filsafat
  • Buku
  • Tentang Saya

© 2018 - Andreatawolo.id