Kata politicus tersebar di dalam beberapa tulisan Santo Bonaventura, misalnya dalam Itinerarium, dan terutama dalam karyanya yang terakhir Hexaëmeron. Pandangannya tentang peran pemimpin politik menawarkan pesan yang mendalam. Sebagai bagian dari sistem pemikirannya, tema politik berkaitan erat dengan tema-tema lain, misalnya Filsafat Moral.
Latar belakang Teologi Politiknya dapat dirangkum dalam tiga motif berikut: Pertama, mengikuti alur umum Skolastik, tema politik Bonaventura kurang lebih dipengaruhi gagasan Respublica Plato. Selanjutnya ia memberi visi baru atas pandangan helenistik itu, berupa spirit respublica christiana, kurang lebih dalam arus teologi Santo Agustinus dalam karyanya Kota Allah (cita-cita akan tatanan yang adil sesuai kehendak Allah). Akhirnya ia memberi warna khas spiritualitas Fransiskan dalam pemikiran politiknya.
Dari sudut pandang antropologi, prinsip dasar pemikiran Bonaventura tentang politik ialah pandangan tentang manusia sebagai animal sociale (man is an animal of social nature). Manusia adalah makhluk rasional yang sekaligus memiliki afeksi sosial (affectus socialis). Karena itu ia terdorong membangun relasi dengan sesama. Tujuan akhir dari relasi sosial itu ialah membangun fraternitas universal. Oleh sebab itu, norma dasar Politik itu bukan hanya hukum positif, tetapi juga makna hidup manusia.
Dasar pemikiran yang lebih teologis di balik teologi politik Bonaventura ialah keyakinan akan kasih Allah yang bersifat cuma-cuma/gratis. Segala yang dimiliki manusia: karunia roh/kebajikan, kekayaan materi, dan kekayaan alam, merupakan pemberian gratis (donum) dari Allah, sang Kebaikan Tertinggi. Segala karunia mengalir dari kasih-Nya. Ketika sesuatu yang diterima manusia sebagai donum itu digunakan melulu demi kepuasan egonya, maka ia sedang mengkhianati ciri donum yang dimaksud.
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar tersebut, Bonaventura memandang penting beberapa kualitas utama seorang pemimpin politik. Dalam bahasa Bonaventura, seorang pemimpin perlu memiliki kebajikan-kebajikan politik: Seorang pemimpin politik yang baik hendaknya memiliki kehati-hatian (prudentiae), baik dalam kata-kata maupun tindakannya. Dengan prudentiae, seorang pemimpin mengukur tindakannya. Ia tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ia tidak mudah dipengaruhi hoax. Kehati-hatian itu melibatkan sisi kemampuan lainnya, yaitu rasio, intelek, ketelitian, visi, kepatuhan.
Pemimpin juga hendaknya memiliki kekuatan (fortitudinis). Ciri kedua ini diperlukan agar seorang pemimpin tegar menghadapi ancaman, mengingat perannya menjamin rasa aman bagi warga. Rasa aman merupakan kebutuhan mendasar manusia; sebab dari rasa aman tumbuh kepercayaan antara satu warga dan warga yang lain. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi rasa optimis kepada warganya. Peimpin yang kuat mengutamakan berita-berita positif kepada warga, bukan menabur pesimisme.
Ciri ketiga dari kebajikan politik ialah kesahajaan (temperantiae). Kemampuan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara kuasa sebagai pemimpin dan kewajiban merangkul segenap warga. Pemimpin yang baik mampu menahan diri dari nafsu kuasa, agar tidak memihak dalam mengambil keputusan. Dengan kualitas ini ia mampu menghadapi godaan keserakahan. Kualitas terakhir dari kabajikan politik ialah keadilan (iustitiae). Bonaventura mendefinisikan ‘keadilan’ dengan tegas: “Memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”. Pemimpin hendaknya berlaku adil bagi setiap warga serta memperhatikan kebutuhan mereka dalam beragam aspek kehidupan.
Kedilan merupakan ciri sekaligus tujuan dari peran pemimpin politik. Bonaventura menempatkan politik sebagai hukum moral untuk menciptakan keadilan (iustitia). Dalam tujuan itu Politik berperan mengatur sebuah “bentuk hidup bersama, norma-norma kepemimpinan dan hak berpendapat secara hukum” (Hexaëm.V, 14). Politik menghendaki terwujudnya hukum emas dalam prilaku warga masyarakat: “Jangan perbuat kepada orang lain apa yang engkau sendiri tidak kehendaki”.
Hukum positif diadakan sebagai norma untuk mengatur prilaku warga. Perlu dicatat bahwa cita-cita keadilan tidak hanya ditentukan seorang pemimpin. Keadilan mengandaikan bahwa setiap warga bersikap “sahaja atau rendah hati, dan bekerja dengan giat”. Dengan cara demikian mereka “mewujudkan praksis keadilan” (exercenda iustitia).
Kiranya jelas bahwa nilai utama dari kebajikan politik bukan pada kebajikan itu sendiri melainkan pada manusia. Sebagai animale sociale manusia merupakan tujuan dari kebajikan politik. Bonaventura menulis: “Kebajikan-kebajikan politik memperhatikan manusia, sebab dia adalah makhluk sosial. Orang baik dalam tata pemerintahan mematuhi kabajikan-kebajikan itu, dan bertugas memelihara kota. Kebajikan-kebajikan tersebut mengajar mereka menghormati orang tua, mencintai anak-anak dan meghargai sesama; melalui norma-norma tersebut mereka mengupayakan kesejahteraan masyarakat, melindungi hak milik sesama dengan hati yang jeli, serta mengontrolnya secara bijaksana. Dengan demikian mereka dikenang karena jasa-jasanya” (Hexaëm.VI, 28).
Tentu menarik untuk diperhatikan bahwa sebagai religius Katolik di Abad Pertengahan, Bonaventura memberi makna positif pada kuasa politik. Ia tidak anti politik. Kuasa pemimpin politik itu baik sejauh itu sungguh mewakili kebenaran, dan tidak memihak pada kepentingan sendiri atau segelintir orang. Pemimpin politik yang baik mengupayakan “res publica” (kepentingan publik) dalam arti sesungguhnya. Sebab itu, seorang pemimpin komunitas masyarakat tidak dapat mengambil keputusan tanpa terlibat dalam hidup masyarakat. Sebagai orang Katolik, Bonaventura percaya bahwa ketika seorang pemimpin politik melakukan kebajikannya dengan baik ia memberi kesaksian tentang kehendak baik Allah.
Secara teologis ditegaskan bahwa Allah adalah model pemimpin yang baik. Dalam bahasa Santo Paulus, relasi manusia dengan Allah digambarkan sebagai relasi antara anak dan Bapa. Dalam perspektif ini, tujuan norma politik ialah agar tercipta sebuah tatanan masyarakat yang tunduk pada Allah Pencipta. Tatanan seperti ini mengandaikan dua sikap dasar: innocentia (jangan berbuat jahat terhadap siapapun) dan benevolentia (berbuat baik lah kepada orang lain). Tujuan dari kedua sikap tersebut ialah terciptanya ‘persaudaraan universal’. Terjaminnya hak untuk berpendapat dalam lindungan hukum menjadi dasar bagi tatanan hidup bersama (common life) yang baik.
Sebagai Fransiskan, Bonaventura meyakini bahwa spiritualitas kedinaan Santo Fransiskus Assisi memberi inspirasi yang mendasar bagi cita-cita membangun tata keadilan sosial dalam persaudaraaan semesta. Politik hendaknya mengupayakan keadilan bagi masyarakat, khususnya dalam penggunaan kekayaan bumi. Secara khusus Bonaventura menekankan reformasi sistem privatisasi kekayaan alam, agar tidak dikuasai segelintir orang. Poin ini jelas menyentuh keprihatinan krisis ekologi yang sedang menimpa Ibu dan Saudari Bumi.
Dalam karyanya yang lain, Apologia Pauperum, Doctor Seraphicus menekankan spirit Injili dalam penggunaan kuasa dan kekayaan. Dasar pembelaannya ialah kesadaran bahwa nafsu memiliki merupakan akar dosa dalam diri manusia. Dalam semangat Injili, kepemilikan materi atau kuasa politik harus digunakan secara bijak: Semua itu merupakan pemberian (donum). Maka hendaknya digunakan bukan untuk dominasi dan akumulasi, melainkan untuk damai seturut kehendak sang Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum).
1. Apa latar belakang Bonaventura menulis tentang politik ? Saya baru tahu soalnya.
2. Asumsi saya Bonaventura menulis karena ada masalah dalam komunitasnya(gereja). Kalau betul demikian, makna pemimpin dalam biara(gereja) bukan lagi sebagai gembala tetapi pemimpin. Secara tidak langsung kehilangan makna sebagai gembala. akibatnya pengelolaan di gereja berdasarkan siapa pemimpinnya bukan lagi gembalanya. Ya maaf saja berarti gereja katolik pun sama dgn komunitas diluar sana. Dimana Pemimpin (sudah bukan gembala)ya harus dicari/didatangi (disowani) bukan lagi mencari & menyelamatkan. Mohon tanggapannya. Terima kasih
Menurut pendapat saya pribadi, Katolik tdk mengenal kata gembala tetapi memperlakukan Gereja (baca: umat Allah) sebagai saudara, sahabat sebagaimana eksistensial Yesus menuju Krsistus. At least Thomas A Kempis ada menulis 1 buku yg sering dijadikan rujukan juga oleh denominasi lain, dengan judul “The immitation of Christ”.
Tema artikel ini adalah Teologi politik Bonaventura. Asumsi yg Anda buat itu tdk tepat sasaran, karena Bonaventura berbicara utk para pemimpin politik, bukan pelayan pastoral. Tentu keprihatinanmu itu baik.
Mantap pater atas ulasannya.??
Terima kasih ya
Terima kasih Romo tulisannya tentang Bonaventura, yang dirayakan hari ini. Kita bisa belajar dari gaya kepemimpinannya yang masih berlaku di saat ini.
Berkah Dalem.
Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!
Mantap Pater Andre, St. Bonaventura memang sangat menginspirasi
Dasar pembelaannya ialah kesadaran bahwa nafsu memiliki merupakan akar dosa dalam diri manusia. Dalam semangat Injili, kepemilikan materi atau kuasa politik harus digunakan secara bijak: Semua itu merupakan pemberian (donum). Maka hendaknya digunakan bukan untuk dominasi dan akumulasi, melainkan untuk damai seturut kehendak sang Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum)
Begitu bagus nya filsafat moralnya Santo Bonaventura tentang politik untuk para pemimpin dunia seperti nya tidak didengar oleh para kolonialisme dan para kapitalisme pada saat itu,
bukan?
Lalu bagaimana akhirnya Santo Bonaventura bersikap terhadap mereka2 ini?
Seorang teolog hanya memaparkan tulisannya dan bersikap hidup sebagaimana penghayatan spiritualnya, tetapi tidak menghakimi … sama seperti bapa suci Sri Paus bereaksi sedih (dan berdoa pastinya) terhadap pengambil-alihan gereja menjadi mesjid di Turki … Mungkin ada opini lain? Dipersilahkan …
Menurut pendapat saya pribadi, Katolik tdk mengenal kata gembala tetapi memperlakukan Gereja (baca: umat Allah) sebagai saudara, sahabat sebagaimana eksistensial Yesus menuju Krsistus. At least Thomas A Kempis ada menulis 1 buku yg sering dijadikan rujukan juga oleh denominasi lain, dengan judul “The immitation of Christ”.