“Objections to the possibility of resurrection take their origin in philosophy and science and not in exegesis, which is our task” [Raymond Brown].
Apakah Yesus sungguh bangkit? Apa bukti bahwa Ia sungguh bangkit? Kira-kira demikian pertanyaan-pertanyaan yang paling sering diajukan terkait Perayaan Paskah. Jawaban-jawaban versi Injil Sinoptik dan Yohanes kiranya sudah sering disimak. Tanpa mengurangi semua itu, refleksi kali ini berdasarkan sebuah kutiban dari St. Paulus – merujuk artikel Andreas Lindemann, “The Resurrection of Jesus” dalam ETL 93/4 (2017), 557-579.
Kesaksian Paulus demikian: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya” (1 Kor 15: 3-8).
Untuk menunjukkan kewibawaan-nya sebagai Rasul, Paulus meyakinkan jemaat bahwa kesaksiannya tentang kebangkitan telah ‘ia terima sendiri’ dari Tuhan. Paulus sendiri sudah percaya akan kebangkitan, sehingga ajarannya ini merupakan sebuah peneguhan bagi jemaat. Tentang kematian Kristus tidak digambarkan bagaimana terjadinya. Namun alasannya jelas dikaitkan dengan motif keselamatan, yaitu untuk menebus dosa manusia. Kata ganti plural (dosa kita) memberi kesan sebuah ungkapan iman orang-orang yang mengetahui tentang kematian Yesus dan percaya bahwa kebangkitan-Nya membawa keselamatan. Dikatakan bahwa peristiwa kematian Yesus itu sesuai dengan Kitab Suci, meskipun tidak disebut Kitab mana yang dimaksud, tak ada pula teks spesifik yang ditunjuk.
Kebangkitan Kristus diungkapkan dalam bentuk pasif (he was rised). Ini menunjukkan bahwa kebangkitan itu bukan sekedar peristiwa sejarah melainkan tindakan Allah. Jadi merupakan sesuatu yang jauh dari nalar manusia.
Dikatakan bahwa kebangkitan Kristus terjadi pada hari ketiga, tanpa ada keterangan perihal apa yang terjadi antara kematian dan kebangkitan. Dan seperti tentang kematian, kebangkitan juga sesuai dengan Kitab Suci, tanpa disebut teks tertentu. Namun kebangkitan itu diteguhkan dengan penampakan Yesus kepada Kefas dan dua belas murid. Penyebutan ‘dua belas murid’ mengindikasikan bahwa tradisi yang memengaruhi Paulus ini lebih tua, tidak mengenal tradisi tentang Yudas Iskariot yang telah meninggalkan kelompok dua belas. Keterangan tentang penampakan Yesus kepada lima ratus saudara (ada yang masih hidup, yang lain telah meninggal), kiranya tekanan Paulus untuk meyakinkan jemaat bahwa semua orang beriman, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal disatukan dalam Kristus. Keyakinan ini diwartakan pula kepada jemaat di Tesalonika:
“Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (1 Tes 4:14).
Tampak bahwa Paulus tidak sedang memberi bukti sejarah kebangkitan Yesus. Berdasarkan iman akan kebangkitan, ia mau meyakinkan jemaat tentang adanya kebangkitan bagi orang mati. Kebangkitan Yesus merupakan dasar bagi jemaat agar tetap berharap – sekalipun di hadapan maut. Untuk meneguhkan jemaat ia menunjuk penampakan yang dialami baik oleh kelompok ‘Kefas dan dua belas murid’, maupun ‘Yakobus dan semua rasul’. Sebaliknya ia mengkritik pandangan beberapa orang yang tidak percaya akan kebangkitan orang mati: “Jadi, bilamana kami beritakan bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati?” (1 Kor 15:12).
Untuk menguatkan kembali kesaksiannya, Paulus berbicara tentang pengalamannya sendiri: “Ia (Yesus) menampakan diri juga kepadaku” (1 Kor 15: 8). Dauhulu Paulus adalah pembunuh pengikut Kristus, namun setelah mendapat sebuah visiun akan Kristus dalam perjalanan menuju Damaskus (bdk Kis 9: 3-9), ia bertobat menjadi seorang pewarta Injil yang handal: “Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan Kita?” (9: 1).
Paulus juga mengidentikkan dirinya sebagai ‘yang paling akhir’, karena dahulu ia pendosa, tidak layak disebut rasul (bdk 15: 9), tetapi sekarang menjadi pembela iman Kristen, karena “kasih karunia Tuhan” (ay 10) yang bekerja dalam dirinya. Bersama rasul lain, ia mewartakan ‘kabar baik’ kebangkitan bagi orang mati.
Kesaksian Paulus berbeda dengan narasi Matius, Markus, Lukas, Yohanes, misalnya tentang kubur kosong, penampakan Yesus, kain kafan, pengutusan para murid. Apologia semacam itu perlu, tetapi bukan yang esensial bagi Paulus. Ia tampak tidak tertarik dengan ‘bukti’ kebangkitan. Sebagai pembaca kita pun tidak tahu bagaimana Paulus sampai pada kayakinan bahwa Yesus telah menampakkan diri kepadanya. Meski demikian jelas bahwa dampak dari iman akan kebangkitan begitu jelas dalam hidup Paulus: Ia bertobat dari pembunuh menjadi pembela jemaat Kristus, dan terus menjadi pewarta kebangkitan Kristus. Kesaksian akan kebangkitan juga mengubah hidup rasul Petrus, dan ia pun terus memberi kesaksian tentang Yesus Kristus.
Kesaksian iman Paulus mungkin saja tidak menarik bagi orang ‘zaman now’ yang terbiasa dengan cara berpikir ‘mencari bukti’. Dan ketika tidak menemukan jawaban memuaskan tentang kebangkitan, orang dengan mudah meragukan kebangkitan. Namun refleksi Paulus bukan kata-kata dangkal. Cara berpikirnya menyentuh pemaknaan hidup, yaitu pertanyaan manusia tentang hidup baru setelah ziarah hidup di dunia fana. Manusia selalu mencari jawaban pasti bukan untuk hal-hal sementara saja, tetapi terutama untuk makna hidupnya setelah peristiwa menakutkan yaitu maut. Dalam masa krisis akibat virus korona ini, kematian terasa begitu kejam dan menakutkan. Terhadap pertanyaan dan ketakutan manusia itu, kesaksian tentang kebangkitan Yesus sungguh bermakna.
Kalaupun kita dapat meragukan, bahkan menolak kebangkitan Kristus, kita seharusnya jujur mengakui adanya kerinduan di lubuk hati akan sebuah kehidupan yang tidak absurd . Justru ‘kabar gembira’ yang hendak disampaikan pada Hari Raya Paskah ialah bahwa, oleh kebangkitan seorang Yesus dari Nazaret, seperti jemaat di Korintus, saya memiliki dasar untuk berharap akan hidup baru di mana kebahagiaan tidak lagi fana.
Dari kesaksian Paulus tentang kebangkitan Kristus, yang menjadi poin penting adalah dampak dari keyakinannya tersebut. Dia mengalami transformasi eksistensial, sebuah proses ‘keterbalikan’, dari seorang pembunuh menjadi pewarta paling setia dan radikal akan iman kepada Yesus Kristus. Nilai kebenaran dari pewartaannya justru terletak pada bagian ini. Dengan luar biasa, Paulus mewartakan apa yang diyakini dan pewartaannya itu terus hidup dan bertahan hingga saat ini. Demikian juga pewartaan para murid lainnya. Bukti kubur kosong, kain kafan, ataupun kesaksian para murid mungkin saja bisa direkayasa atau hanya omong kosong belaka. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah efek atau dampak lanjutan dai isi pewartan tersebut. Keyakinan mereka telah membuat mereka dengan teguh membentuk jemaat dan memegang teguh imannya serta bertahan dan akhirnya berkembang. Hal ini menunjukan bahwa pewartaan dan kesaksian mereka mempunyai roh (daya) yang mengindikasikan bahwa kesaksian tersebut benar adanya.
Peristiwa kebangkitan Kristus merupakan peristiwa yang mengungkapkan jati diri-Nya sebagai anak Allah. Kebangkitan Kristus menjadi sebuah bukti yang kemudian mengubah cara pandang para murid tentang diri-Nya. Para murid sadar akan siapa Yesus yang sesungguhnya. Selain itu, pengalaman pertobatan yang dialami oleh Rasul Paulus menjadi titik tolak atas keyakinannya akan Kristus sungguh bangkit. Kesaksian kebangkitan Kristus yang dialami Paulus dan kesaksian-kesaksian lainya kiranya menjadi bukti kebenaran bahwa Kristus sungguh bangkit. Kemudian pertanyaan kebangkitan di zaman modern, tentang kehidupan sesudah kematian bukan suatu pertanyaan yang mudah dijawab. Orang-orang modern membutuhkan suatu bukti tentang kehidupan setelah kematian. Paulus menawarkan refleksi yang kiranya dapat menyentuh pertanyaan tersebut yakni pengharapan. Baginya pengharapan adalah suatu jawaban kegembiraan yang kiranya menjadi titik tolak kehidupan setelah kematian yang berbeda dengan rasa optimisme.