Buku kumpulan puisi-puisi Vincent Mario ini berkisah tentang kasih. Kasih yang bermula dari ‘Malam’ dan berakhir di ‘Completorium’. Malam adalah saat untuk bermimpi. Saat ketika kakek atau nenek mendongeng sambil mengusap kepala cucu. Itulah saat penutup (completorium). Terasa seperti berkat: yang sudah lemah mengalirkan cita-cita ke pundak yang muda belia.
Pusi-pusi ini merupakan sebuah untaian kisah kasih yang istimewa: tentang perempuan yang mengasihi anaknya. Ia telah tiada, namun kasihnya tak redup. Pemuda Mario belum lama kehilangan ibunya. Pusi-puisi ini adalah untaian kenangan dan doa tulus seorang anak. Sedih itu perasaan lumrah. Tapi ia ditopang oleh harapan. Ini bukan kisah tangis. Ini juga cita-cita.
Puisi-puisi ini menggemakan satu nada: Kasih bukan romantisme dangkal. Ia dialami dalam suka dan duka, cerah ceriah maupun redup. Hidup penuh dengan mimpi. Ancaman atau anugerah terus bertaruh; kutukan dan berkat; matahari dari timur dan ‘lampu senter yang redup’. Di antara semua itu Mario mau berdiri teguh: “diriku terbuka, separuh yang lain menghilang”.
Seperti kisah semua anak manusia, ia berkisah tentang hidupnya, tentang orang-orang yang dikasihinya, masa kecilnya, kampung halaman dan tanah rantau. Ada suka dan duka. Semuanya termaktub dalam waktu, bukan sekedar untuk dikenang dalam kepala, tetapi dimaknai dalam hening. Mengesankan: Mario berbicara tentang silentium. Istilah ini mungkin asing bagi banyak orang muda. Namun maknanya mendalam: Kita mengais makna dalam keheningan.
Puisi-puisi ini melukiskan harapan seorang pemuda. Harapan bukan sekedar rasa optimis. Harapan berakar dalam diri, tak pernah tenggelam dalam keramaian dunia. Mario melukiskan pengalaman di ‘2019’ dengan sebuah ekspresi kebajikan: ‘Takut akan Tuhan’. Barisan puisinya menghentak kenyamanan kita: “Manusia adalah sekumpulan Rencana yang hanya menambah Keramaian sejarah”. Karena itu takutlah hanya pada Dia! Itulah hikmat sejati.
Harapan bukan pasrah. Ia adalah sebuah kebajikan. Puisi-puisi Mario menyadarkan para pembaca bahwa hidup itu kisah konkret. Kisah sehari-hari. Kisah tentang wajah sesama, tentang tubuh yang fana, tentang kampung halaman, tentang kembali ke rumah. Ya, “rumah adalah tempat paling indah untuk berakhir sebagai kata pertama yang timbul di mulut bayi”.
Hidup adalah sederetan pengalaman untuk diselami. Satu saat ia hadir bagai ibu yang penuh kasih, membelai dan memanjakan. Saat lain ia seperti cambuk. “Derita dan cambukmu mesti kupelajari dengan berbagai alasan serius”, demikian penulis bernarasi. Belajar. Kata ini padat makna. Belajar untuk pandai? Bukan! Itu kuno. Belajarlah agar mengerti makna berbagi.
Ibu kita adalah contoh dari semua yang kita kagumi dan kita banggakan dengan sebutan cinta kasih. Kasih identik dengan berbagi. Cinta yang tidak memberi itu sama dengan egoisme belaka. Sungguh mendalam makna di balik ekspresi Mario: “Cinta pun kaubelah menjadi tiga bagian. Satu untukku Satu untukmu. Dan satu untuk segenap tentara yang menjaga”.
Dunia kita sekarang adalah dunia digital. Generasi ini tampak lebih berjarak dari alam. Namun puisi-puisi ini memuat rasa kagum pada semesta: matahari, air, angin, api. Dunia now terkesan sinis pada agama. Namun itu bukan untuk seorang Mario: Ia memaknai simbol keagamaan. Ia menyebut Kitab Suci dan Malaikat. Ia mengajak orang muda untuk menghargai saat silentium. Di daerah seperti Ganjuran, Mario tampaknya pernah merasakan ketenangan bersama sang Bunda. Di biara Sanctissima Trinitas Hokeng, ia mengalami hiburan batin nan sejuk.
Ziarah batin Mario adalah sebuah refleksi bagi para pembaca budiman: Manusia yang sungguh mencintai kehidupan adalah dia yang tahu memaknai kematian. Pengembaraan yang bermakna itu memiliki tujuan. Mario mengajak kita berjalan sampai akhir. Semua kita akan tiba pada ‘hari terakhir di bumi’. Di saat itu kita akan mengerti bahwa ciptaan bernama manusia itu “telah mencatat dan menerima segala sebagaimana cintanya kepada kematian itu sendiri”.
Mario mengakhiri untaian puisinya dengan simbol yang bagiku mengesankan: completorium, doa malam sebelum beristirahat, ungkapan syukur akan kasih Tuhan yang melimpah.
Selamat kepada saudara Mario atas buku kumpuluan puisi ini. Karya ini dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca untuk memaknai hidup sehari-hari sebagai sebuah ziarah penuh makna.
Dari Jembatan Serong, 27 November 2019
Bagus sekaliiii
Thank you
Merinding Pater bacanya….bener2 ‘menelanjangi’ n menyadarkan kita sebagai manusia lemah…terima kasih ???