Beberapa konsep utama kebudayaan Yunani turut memengaruhi cara pikir Teologi Kristen di dunia Latin. Relasi antara kedua budaya ini tercermin misalnya pada sebuah istilah teknis dalam Ilmu Teologi, yaitu ekonomi keselamatan atau lebih umum disebut tata keselamatan. Apa latar belakang dan makna kata ekonomi dalam dunia Teologi?
Budaya Yunani tidak mengenal tradisi kepercayaan akan Allah sebagai wujud pribadi historis sebagaimana dalam Yudaisme. Sebagai sebuah kebudayaan yang kaya akan mitologi-mitologi, bagi orang Yunani, menemukan prinsip penentu keseimbangan alam semesta adalah hal yang sangat fundamental, sebab akan membuka tabir rahasia alam semesta, dan dengan demikian pencarian manusia akan rahasia itu terjawab. Budaya Yunani meyakini peran penting logos sebagai titik keseimbangan tata ‘ekonomi’ semesta (oikonomia).
Lebih dari sekedar sebuah term, istilah logos menjadi semacam leksikon sebab mengandung beragam arti: berbicara, berpikir, menimbang. Sebagai istilah teknis dalam Filsafat dan Teologi, logos berarti pemikiran, ide, gagasan, diskursus, konsep, intuisi. Dalam seluruh Filsafat Yunani Kuno, istilah tersebut menjadi reprsentasi jawaban atas pencarian para filsuf alam tentang prinsip awal realitas (arche), penentu keseimbangan dan keharmonisan kosmos. Cara pikir dunia Filsafat Alam tidak memiliki kaitan langsung dengan teologi penciptaan. Meski demikian, tema tersebut memberi insipirasi menarik bagi refleksi teologis .
Sebagaimana dikemukakan Marian Hillar[1], Phytagoras dari Samos (570-495 SM), pada sekitar 540 SM mengembangkan sebuah Sekolah yang mengutamakan studi Filsafat, Matematika (aritmetika, geometri), Musik dan Astronomi. Aliran Sekolah ini meyakini bahwa penuntun mereka adalah Dewa Apollo. Plutarkos (45-125 SM), salah seorang murid Pythagoras mengindentikkan nama Apollo dengan prinsip “yang Satu” (the One): Dalam bahasa Yunani, a = tidak, dan pallon = banyak. Baginya Apollo lah satu-satunya dewa alam semesta.
Intuisi filosofis Phytagoras yang menarik untuk tema teologi ialah tentang dimensi triadik keseimbangan kosmos, yaitu Monad, Diad dan Harmoni. Monad merupakan yang Satu, identik dengan sebab awal mula. Monad terkait erat dengan sumber awal yang darinya terjadi emanasi, yaitu mengalir atau keluarnya sesuatu. Angka satu dalam Matematika diibaratkan dengan prinsip awal, elemen pertama yang tidak bergantung pada elemen lain, tidak berubah dan tersembunyi. Diad identik dengan perbedaan atau keberagaman dalam kosmos.
Dalam keberagaman realitas terjadi pertemuan antara subjek dan objek yang mendatangkan realitas ketiga, yaitu Harmoni. Realitas yang ketiga ini merupakan hasil relasi yang proporsional antara satu hal dan hal lain; dengan demikian terbentuk lah sebuah pola triadik dalam realitas. Sebagai prinsip keseimbangan antara hal-hal yang ekstrim, dimensi ketiga ini dikaitkan dengan logos atau rasio (alasan yang menjelaskan adanya realitas).
Dalam dunia kosmologi, keseimbangan triadik tersebut dikaitkan dengan tiga ciri realitas: Monad identik dengan realitas yang utuh dan tetap; Diad terkait dengan keberagaman yang tidak terbatas pada realitas (diferensiasi atau multiplitas); sedangkan Harmoni berkaitan dengan sebuah kekuatan yang menjaga keseimbangan secara menyeluruh.
Prinsip relasi proporsional antara elemen-elemen yang beragam juga tampak misalnya dalam hubungan antara angka-angka dalam Matematika, bentuk-bentuk bangunan geometris, maupun harmonisasi suara dalam nada musik. Tiga prinsip metafisik dalam kosmos ini koresponden dengan prinsip kebenaran (yang dimengerti berdasarkan kemampuan intelek maupun inderawi), kebaikan (prinsip moral yang menekankan kesesuain antara tubuh dan jiwa), serta keindahan (seni atau ketertataan baik pada level psikologis maupun sosial).
Dalam dunia kosmologi, rumus atau sistem Pythagoras menjelaskan gerak awal dan akhir alam semesta dengan sistem numerik yang dikenal sebagai tetragram. Skema ini diamaksudkan untuk menggambarkan keharmonisan kosmos: Nomor satu ditampilkan dengan satu titik awal, dua titik membentuk garis, tiga titik membentuk segi tiga, dan akhirnya empat menampilkan sebuah tetradron, yaitu keseluruhannya, dengan angka sepuluh. Dengan demikian skema tetragaram ini dibaca sebagai sebuah proyeksi keseimbangan atau keharmonisan.
·
· ·
· · ·
· · · ·
Pada gilirannya term benar, baik dan indah, direfleksikan secara teologis dalam alam pikir Teologi dan lazim dikenal sebagai term-term transendental, yaitu unum (satu), bonum (baik), verum (benar), pulchrum (indah). Disebut term transendental karena disinkronkan dengan ciri-ciri dari suatu wujud adikodrati, bahkan diklaim sebagai analogi tiga Pribadi Ilahi dalam Allah Trinitas. Gagasan tentang keseimbangan titik temu antara realitas ekstrim berpengaruh dalam pandangan Agustinus[2] tentang musik dan antropologi. Teolog Abad Pertengahan seperti Santo Bonaventura[3] mengadopsi gagasan ini dalam pandangannya tentang martabat manusia. Baginya manusia adalah ‘makhluk tengah’ antara wujud material dan spiritual. Manusia adalah mikrokosmos, yaitu makhluk yang memiliki baik dimensi jasmani maupun rohani.
Dalam Filsafat Yunani dikenal juga model triade pemikiran Neo-Platonis, yaitu Satu (One) – Prinsip inteligensi (Nous) – Jiwa (Psichē). Yang Satu adalah prinsip pertama yang absolut. Psichē adalah rangkaian besar inteligensi, sebuah realisme forma pengetahuan. Psichē merupakan tingkatan di bawah dunia pengetahuan, berupa fenomena dan realitas indrawi (senses). Psichē merupakan tingkatan antara intelek dan dunia material.
Dinamika korelasi antara tiga elemen tersebut terdiri dari dua arak gerak, yaitu gerak keluar (exitus proödos, emanasi) dan kembali (epistrophē, reditus). Dari semula inteligensi lahir dari Yang Satu, dan inteligensi atau Nous melahirkan Psichē. Dari prinsip pertama yang paling sederhana (simpel) lahirlah keberagaman. Gerak kedua ialah kembalinya realitas kepada Yang Satu (reintegrasi). Dalam Teologi, prinsip Yang Satu dikaitkan dengan kebaikan ilahi[4].
Gerak kembali kepada prinsip Yang Satu dalam bahasa kosmologi Plotinos ini memengaruhi skema pemikiran teologis Agustinus dan Bonaventura. Dua tokoh yang terakhir ini berbicara tentang keterbukaan jiwa manusia menuju sagn Pencipta (Agustinus dalam Pengakuan-Pengakuan, Bonaventura dalam Perjalanan Jiwa Menuju Tuhan). Para teolog meyakini martabat manusia sebagai citra Allah (imaga Dei): Manusia datang dari Kebaikan Tertinggi (exitus) dan berjalan kembali (reditus) untuk bersatu dengannya.
Jika dalam kosmologi Plotinos, gerak kembali itu bersifat alami, dalam kekristenan gerak itu dimungkinkan oleh rahmat ilahi. Dengan kata lain, skema triade Plotinos merupakan nukleus cara berpikir tentang ekonomi keselamatan, yaitu refleksi iman akan Allah sebagai Pribadi Ilahi yang memiliki kesadaran dalam diri-Nya, yang oleh karena kasih-Nya telah menciptakan, menyelamatkan dan menyempurnakan segenap rumah dunia (eukonomia)[5].
Berdasarkan pemahaman tentang pertemuan antara budaya Yunani dan Kekristenan, seorang teolog perempuan, LaCugna, mengemukakan tesis bahwa perjumpaan antara helenisme dan kristianisme merupakan perjumpaan antara “oikonomia dan theologia”[6]. Oikonomia memuat gagasan penataan ekonomi rumah tangga dengan sebuah perencanaan yang baik. Gagasan itu diterapkan pada penataan bumi sebagai sebuah rumah tangga. Para pemikir Kristen lalu memaknai oikonomia secara baru, yaitu pandangan tentang tata keselamatan dalam sejarah yang terwujud oleh pelayanan Pribadi Ilahi, sehingga disebut teologi. Istilah teknis ‘ekonomi keselamatan’ merupakan sintensi perjumpaan antara kedua budaya tersebut.
Pemaknaan ekonomi alam semesta secara teologis tampak misalnya dalam refleksi Paulus. Ef 1: 3-14 menampilkan gagasan a Patre ad Patrem: segala sesuatu berasal dari Bapa dan kembali kepada Dia. Ayat 9-10 menekankan bahwa tata keselamatan itu merupakan misteri ilahi yang terwujud dalam Yesus Kristus: “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan (oikonomia) kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi”.
Gagasan oikonomoia tampak pula misalnya dalam pemikiran Sirilus dari Alexandria dan Basilius. Dengan gagasan dan metode serupa (exitus-reditus), Santo Ireneus berbicara tentang ‘rekapitulasi’, maksudnya penyatuan kembali segala sesuatu dalam Allah Bapa. Semua ciptaan berasal dari Bapa Pencipta dan akan kembali menyatu dan disempurnakan oleh Dia.
[1] Bdk. Marian Hillar, From Logos to Trinity. The Evolution of Religious Beliefs from Pythagoras to Tertullian, Cambridge University Press, Cambridge, 2012, 6-10.
[2] Alexander Schaefer, “The Position and Function of Man in the created world According to Saint Bonaventure”, dalam Franciscan Studies Vol. 21. no. 3-4 (1961), hlm. 278: “With this Pythagorean origin in mind, we now understand that intimate connection between real things and numbers which we observed in St. Augustine’s development of the first and basic ternary; for Pythagoreans were strongly inclined to consider everything under the aspect of numbers and to find the essence of all things in numbers. In the light of St. Augustine’s explanations and on the background of the Pythagorean doctrine, the number three contains and fulfills the idea of completion, harmony, and perfection”.
[3] A. Schaefer, “The Position and Function of Man in the created world According to Saint Bonaventure”, 256-7: “The detailed analysis of the preceding Aristotelian texts, to which St Bonaventure himself or at least the Quaracchi edition refers… bought us into contact with some definite other sources. … and the first text we examined even mentioned the Pythagoreans by name. Here we reached the real sources, which contain the main elements of St. Bonaventure’s principle and have been the basis for its development”.
[4] Bdk. LaCugna, God For Us, hlm. 91-93.
[5] LaCugna, God For Us, hlm. 95-96: “The cyclic schema taken over from Plotinos governs the latter of the De Trinitate. First of all, there the cycle of emanation and return; the soul is created in the image of God and the soul returns to God. Second, there is the reflexive cycle within the soul; the soul remembers, knows and loves itself. Third, there is the cycle within the divine Trinity: God knows and loves Godself in the generation of the Word and the procession of the Spirit.
[6] LaCugna, God For Us, hlm. 91, 94, 99, 104.