Puncak Evolusi ialah Seseorang bukan Sesuatu. Teologi kesadaran Semesta meyakini bahwa evolusi semesta mencapai perwujudan yang utuh dalam diri Yesus Kristus. Jadi, titik kulminasi kesadaran semesta ialah diri atau pribadi, bukan sebuah gagasan abstrak seperti diyakini dalam Metafisika Klasik.
Dalam bahasa Teilhard, puncak evolusi adalah seseorang (someone) bukan sesuatu (something). Dalam Teologi Kristen, yang dimaksudkan dengan seseorang itu ialah diri Yesus Kristus. Yesus adalah personalisasi kosmik atau cosmic personalization [Delio, 2013, 46 dst].
Jika dikatakan bahwa energi asali evolusi ialah kasih, maka dalam hal ini kasih yang dimaksud di sini ialah kasih konkret: Bukan gagasan tentang kasih, melainkan tindakan kasih yang mengarah ke persona juga. Manusia digambarkan sebagai ciptaan istimewa karena memiliki kesadaran sebagai pribadi. Manusia adalah makhluk yang dijadikan Allah sesuai gambar dan rupa Allah sendiri.
Sebagai ciptaan, kesadaran manusia tentu terbatas. Sebagai peziarah di dunia, ia selalu mendambakan kesadaran diri yang lebih utuh. Manusia adalah makhluk yang merindukan dalam dirinya nilai yang lebih mendalam: dari yang baik ia mendambakan lebih baik; dari lebih baik ia mendambakan yang terbaik; dari yang terbaik ia masih mendambakan yang sempurna.
Titik Omega Kesadara Kosmik. Dalam bahasa Teilhard, manusia adalah hasil evolusi yang terus berproses mencari titik Omega. Titik Omega itu ialah diri Yesus Kristus, yang memiliki kesadaran sempurna sebagai Anak Allah. Ia lahir dari Bapa, sama ilahi seperti Bapa. Dalam diri Sang Omega itu, manusia menemukan keutuhan dirinya sebagai pribadi. Maka ketika manusia sampai pada titik batas dirinya yang paripurna, ia mendambakan Kristus sebagai wujud personalisasi kasih ilahi.
Mengatakan bahwa manusia itu citra Allah berarti meyakini bahwa dalam dirinya terpatri ciri intrisik sebagai gambaran diri ilahi. Manusia itu dari kodratnya relasional. Sebab ia adalah citra dari Allah yang relasional. Allah adalah kasih, dan kasih membentuk persekutuan, bukan perpecahan. Dalam hal ini ciri katolik itu bukan sekedar nama agama, melainkan kodrat dasar manusia.
Mengatakan bahwa kasih adalah prinsip pertama berarti meyakini bahwa asal-muasal semesta bukan materi statis, bukan sebuah penggerak yang tidak digerakkan seperti diyakini Aristoteles, melainkan sebuah relasi. Kasih selalu mengalirkan persekutuan antara yang mengasihi, yang dikasihi dan kasih itu sendiri. Dalam konteks ini lah, kesadaran kosmik dimaknai secara teologis.
Benih Sabda Berinkarnasi. Dalam bahasa teologis, dikenal istilah ‘benih Sabda’. Ketika Allah menciptakan semesta dengan bersabda, dapat dikatakan bahwa benih Sabda ditanamkan dalam setiap realitas penciptaan, sehingga ia berevolusi menjadi wujud konkret. Sabda meresapi segenap ciptaan. Karena itu, meskipun makhluk ciptaan itu beragam, semuanya satu dalam Sabda yang sama.
Yesus dari Nazaret adalah penjelmaan Sabda yang paling sempurna. Ia adalah Sabda yang menjadi manusia. Ia adalah titik Omega sesungguhnya dari segenap ciptaan. Hidup, pribadi, dan tindakan Yesus memberi satu kesaksian: Wujud paling luhur dari evolusi semesta ialah kasih. Kasih itu menyatukan: dalam kasih tidak ada kaos atau kekacauan; kasih itu mengampuni: dalam kasih tidak ada kebencian; kasih itu membawa kehidupan: dalam kasih maut dikalahkan.
menyadari sebagai ciptaan istimewa menghantar manusia untuk terus berproses mencari titik Omega dan diharapkan menjadi pelaksana kasih dalam alam semseta.
Terima kasih Pater
God bless you.