Ilia Delio, OSF, The Ours of the Universe. Reflections on God, Science, and Human Journey, Maryknoll: Orbis Books, 2021, xvii + 251 hlm.
Seperti beberapa buku Delio yang lain, The Ours of the Universe mengusung tema umum “dialog antara teologi dan sains”. Dalam dunia teologi, Delio tertarik pada teolog Abad Pertengahan, khususnya Bonaventura (1217-1274). Baginya paradigma teologi Bonaventura tampil dalam pemikiran Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), paleontolog Jesuit, yang hidup di antara era Pencerahan dan modernisme, namun tak membaca Teologi Fransiskan.
Delio berupaya memperlihatkan bahwa visi sekolah Fransiskan dan pemikiran Teilhard berjalan bersama dalam paradigma tentang korelasi antara kosmos, Tuhan, dan manusia. Paradigma tersebut bersambung-rapat dengan gagasan terkemuka teolog modern Raimon Panikkar, kosmoteandrisme: kosmos (cosmos), Allah (theos), dan manusia (aner).
Halaman index memperlihatkan bahwa Teilhard paling banyak dibahas, menyusul Bonaventura. Ikon Skolastik lain, Aquinas dan Scotus, serta banyak teolog dan filsuf modern dikutip dan atau disinggung. Dibandingkan dengan karya-karya Delio lain, hal baru dari buku ini ialah figur Paus Fransiskus, serta isu-isu aktual seperti krisis ekologi, pandemi Covid-19, dan dampak ganda teknologi Artificial Intelligence (AI).
Buku ini menarasikan sejarah semesta, yang diibaratkan dengan waktu doa delapan kali sehari dalam tradisi Ibadat Harian Gereja Katolik Roma: matutinum, laudes, prima, tertia, sexta, nona, vesperae, dan completorium.
Matutinum (Bab 1-3). Seperti dikemukakan Robert Grosseteste dalam De Luce, asal mula segala realitas fisik ialah seberkas cahaya. Semesta diperkirakan telah berusia 13, 8 miliar tahun; bumi berkisar 4, 2 miliar tahun; dan ras manusia baru muncul 140 ribu tahun lalu di Afrika. Semesta terus berkembang, terarah, menjadi lebih kompleks, terutama berupa komunitas manusia. Manusia adalah makhluk berkesadaran (consciousness).
Laudes (4-8). Kehidupan di semesta berkembang dari organisme paling sederhana sampai yang paling kompleks. Seperti diyakini Teilhard (dan dikembangkan Moltmann), terdapat energi penggerak evolusi. Energi itu tak murni material (evolusi Darwin), tetapi juga spiritual, dan bersifat dinamis. Itulah tanda kehadiran Pencipta: Ia bukan pengada yang identik dengan materi (pantheisme), tetapi ada dalam wujud-wujud material (panentheisme).
Prima (9-14). Dalam iman Kristiani, Allah dimuliakan karena Ia terlibat dalam suka-duka manusia, bukan karena Ia sempurna pada dirinya. Laudato Sí, terpujilah Engkau Tuhanku, karena Engkau telah menjadikan tanah, air, api, udara; Engkaulah sumber dari kesadaran semesta. Prihatin pada krisis ekologi, Delio berulang kali menegaskan bahwa kosmologisasi alam, cosmologization of nature (p. 39) lebih penting dari pada indoktrinasi agama.
Tertia (15-18). Pada jam ini terang semakin kuat memancarkan cahaya, meskipun belum utuh. Dalam Injil Yohanes, Firman Ilahi identik dengan terang, meskipun tak semua orang menerima Dia. Firman itu terus memancarkan cahaya, lebih cemerlang. Firman pun menjelma sebagai manusia, memiliki kesadaran diri tentang relasi dengan Allah (Abba). Dalam diri sang Firman terpancar sebuah model (exemplar) kesadaran diri manusia.
Sexta (19-22). Terang memancarkan energi kasih. Ia sendiri adalah the core energy of love (p. 127). Bagi Bonaventura, kebaikan ilahi niscaya memancarkan diri, bonum diffusivum sui. Teilhard pada gilirannya berbicara tentang energi kosmos sebagai pusat kesadaran semesta. Kedua tema ini menemukan titik konvergensi dalam gagasan Kristologi-kosmik: Kristus pusat semesta, “dalam Dia kita hidup, bergerak, dan ada” (Kis 17: 28). Gagasan Christus Medium (Bonaventura) dan Christogenesis (Teilhard) saling melengkapi (pp. 43, 63).
Nona (23-29). Dialog agama-sains diperlukan agar agama tidak menjadi fosil, dan sains tidak menimbulkan arogansi kosong. Teilhard meyakini bahwa sains membuka wawasan tentang evolusi Kristiani, di mana Kristus menjadi titik Omega. Kekristenan sesungguhnya bukan melulu institusi dan sistem, melainkan kesadaran diri manusia akan asal-usul serta tujuan akhir hidupnya. Dalam bahasa Bonaventura, kesadaran itu terbentuk ketika manusia mampu membaca “buku ciptaan”, yaitu alam semesta yang adalah visualisasi wahyu ilahi.
Vesperae (30-32). Sejarah hidup akan tiba pada senja. Akan tiba saatnya manusia perlu berdiam diri, mengontemplasikan matahari yang berjalan turun. Ia tak selamanya menjadi pemilik dan penguasa; tiba saatnya ia lepas-bebas dan berjalan turun. Vesperae dilukiskan Delio sebagai time to become ultrahuman (p. 211), saat di mana manusia lebih terbuka bagi Pencipta yang merendahkan diri, membungkuk (bending down) untuk mengangkat ciptaan.
Completorium (33-35). Mati dan hidup adalah bagian dari realitas manusia. Memiliki kesadaran berarti siap menerima kedua realitas itu. Pandemi Covid-19 adalah contoh yang menunjuk dengan jelas kerentanan manusia. Kini ia lebih insaf akan makna pengharapan.
Pada dasarnya manusia adalah sebuah realitas keterhubungan. Manusia bergantung pada ciptaan lain; ia mendambakan jawaban atas pertanyaan tentang makna hidup. Dalam konteks ini relevan lah berbicara tentang kasih. Seandainya Allah ada, dan yang infinitum pada Dia adalah cinta kasih, maka eksistensi-Nya itu relevan bagi manusia (Penutup, pp. 239-242).
Buku ini menginspirasi pembaruan cara memandang tentang Allah, kosmos, dan manusia. Seluruh smesta merupakan unbearable wholeness of being (judul buku lain dari Delio). Dalam hidup menggereja, gagasan pembaruan itu tampak dalam visi katolik Paus Fransiskus, dengan latar belakang spirit “merehab rumah Tuhan” dari Santo Fransiskus Assisi.
Bahasa dan narasi Delio ringan. Gaya menulis semi populer menawarkan ide praktis: “mengawinkan” tema-tema besar dan berbagai disiplin ilmu serta tokoh-tokoh besar dari beragam mazhab; ia tak menyajikan sebuah uraian sistematis-ketat.
Mantap, Pastor!