Konsili Vatikan II membicarakan agama-agama lain dari perspektif pastoral dengan tujuan membangun dialog mutual. Sikap konsili itu termuat dalam Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, selanjutnya LG), Deklarasi tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen (Nostra Aetate/ NA), Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes/ AG), dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern (Gaudium et Spes / GS).
Poin Utama Pandangan Konsili. Ada tiga tema utama yang termuat dalam dokumen-dokumen tersebut: Keselamatan bagi orang di luar Gereja, nilai otentik agama dan tradisi non-Kristen, dan penghargaan Gereja terhadap nilai tersebut dan para penganutnya. Konsili yakin bahwa berkat penyelenggaraan Ilahi orang yang belum mengenal Allah dapat selamat; apapun yang baik dan benar pada mereka merupakan Persiapan Injil, yang harus diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah (AG 16-17).
Penyelenggaraan ilahi memberi “bantuan untuk keselamatan bagi mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Apapun yang baik dan benar pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil” (LG. 16). Gereja berusaha agar … “segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah,” (17).
Rencana keselamatan Allah mencakup baik apa yang tersembunyi dalam jiwa orang, maupun usaha-usaha objektif keagamaannya. Karena itu dalam misinya, orang Kristen, dengan penuh cinta kasih berupaya agar budaya khas bangsa lain, yang mempunyai tempat dalam Kerajaan Allah itu, disempurnakan (AG 3, 9; LG 17; AG 11).
Rencana Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia terlaksana bukan saja seolah-olah secara tersembunyi dalam jiwa manusia, ataupun melalui usaha-usaha mereka, juga yang bersifat keagamaan..” (AG. 3). Dalam misinya Gereja mengupayakan agara budaya khas bangsa-bangsa itu “bukan hanya tidak hilang, melainkan disembuhkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah.” (AG. 9, 12; LG. 17). Agar misi itu berbuah hendaklah orang-orang Kristen, dengan penuh penghargaan, cinta kasih dan jujur bergaul dan berdialog dengan masyarakat dan budaya setempat (bdk. AG. 11).
Dengan cara pandang yang lebih luas, konsili menyebut dengan hormat agama-agama lain: Hinduisme, Budhisme, Islam, Yudaisme, bahkan agama-agama asli. Konsili menekankan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apapun yang dalam agama-agama itu serba suci dan benar, melainkan membangun dialog dan kerja sama dengan mereka; mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA. 1-4; AG 10; LG 16). Agama-agama tersebut juga menyediakan jawaban untuk masalah-masalah kehidupan dan nilai-nilai keagamaan yang bermutu tinggi (GS.12); menggambarkan kebaikan hakiki manusia dalam ritus dan simbol, dan sungguh merupakan persiapan bagi Injil (LG. 16; AG 9).
Sikap positif konsili terhadap agama-agama lain dirangkum oleh Sekretariat Kepausan untuk orang-orang Non-Kristen begini: Tradisi agama-agama lain mengandung “unsur-unsur yang benar dan baik” (OT. 16), “hal-hal yang berharga”, baik secara religius maupun manusiawi (GS 92), “benih-benih kontemplasi” (AG. 18), “elemen kebenaran dan rahmat (AG. 9), “benih Sabda” (AG. 11, 15), “sinar kebenaran yang menyinari semua orang” (NA 2). Tradisi agama-agama manusia merupakan undangan bagi umat Kristen untuk berdialog (bdk. NA. 2, 3; AG. 11) menyangkut baik hal-hal yang mempersatukan kita maupun perbedaan agama-agama.
Menafsirkan Konsili. Pertama, tafsiran reduksionis. P. Hacker[1] misalnya, setelah membedakan aspek antropologis dan dogmatik agama, menyimpulkan bahwa konsili hanya berhasil mengangkat aspek positif kemanusiaan dari agama-agama dan fakta pencariannya akan Allah. Namun konsili diam terhadap kemungkinan pencapaian keselamatan melalui cara-cara tersebut dan tidak menjawab pertanyaan: apakah mitos, ritus, dan praktek-praktek keagamaan tersebut sesuai dengan kehendak Allah. Jadi tidak ada pengakuan eksplisit bahwa agama-agama lain memiliki nilai keselamatan pada dirinya.
Sedangkan menurut Mikka Roukanen,[2] konisli berpandangan bahwa agama non-Kristen tidak memiliki status independen dalam hal kebenaran dan misteri keselamatan karena selalu bersandar pada Kekristenan. Bahasa konsili sangat simpatik, namun tidak pernah secara terang membicarakan keselamatan yang mengacu pada tradisi agama itu sendiri. Nilai positif agama lain diakui, tetapi nilai itu bersifat netral. Ada pengakuan tentang praksis moral agama lain, namun perihal misteri ilahi, mereka hanyalah pencari kebenaran yang tidak memiliki dimensi supernatural pewahyuan.
Kedua, tafsiran optimistis. Menurut P. Rossano,[3] terlepas dari persoalan apakah peran agama-agama lain menjadi jalan keselamatan atau tidak, konsili sangat eksplisit mengatakan bahwa “rahmat dan kebenaran” dari tradisi lain memasuki hati manusia melalui tanda-tanda nyata dan eksperiensial. Demikian juga menurut K. Kunmumpuran[4], dengan perspektif pastoralnya konsili tidak memperdebatkan status teologis agama-agama, tetapi lebih menekankan eksistensi nilai positif yang terdapat dalam doktrin, ritus dan cara hidup mereka. Dimensi persiapan Injil dalam agama-agama tersebut, bukan sebuah dasar natural- pasif, tetapi bermakna mendalam karena mengarah kepada Kekristenan. Konsili tidak secara eksplisit mempersoalkan apakah Allah menjadikan ritus dan doktrin agama non-Kristen sebagai jalan keselamatan, namun jelas bahwa bagi konsili keselamatan Allah bukan melulu persoalan individual-internal, tetapi sosial-universal (AG. 3).
Ada pula penilaian yang lebih moderat. Bagi Knitter, konsili telah mengeksplorasi petunjuk-petunjuk (directions) yang belum dijangkau kekristenan sebelumnya. Namun “konsili juga sekaligus ingin memastikan bahwa petunjuk-petunjuk itu tidak terlepas dari inti sari Injil dan peran istimewa Yesus Kristus dalam mewujutkan kasih Allah kepada semua”.[5]
Sedangkan menurut K. Rahner,[6] konsili telah melampaui persoalan keselamatan individual non-Kristen, dan mengarah ke relasi positif Kristen dan non-Kristen. Namun kalaupun keselamatan supranatural berupa pemberian diri Allah kepada manusia telah dipandang secara sangat optimis, optimisme yang sama tidak dieksplisitkan ketika membicarakan agama-agama itu sendiri. Jadi kualitas teologis agama lain belum dijelaskan. Belum terang pula, apakah keselamatan agama-agama lain dicapai di luar kehidupan agamanya atau memang ada pada dirinya?
Sebuah Pertimbangan. Tampak jelas apresiasi konsili tentang agama-agama lain tertuang dari satu dokumen ke dokumen lain, dengan bobot yang beragam. Tampak jelas pengakuan bahwa eksistensi tradisi lain merupakan elemen ‘rahmat dan kebenaran’ dan ‘bentuk kehadiran Allah yang tersembunyi’. Di pihak lain, tradisi agama-agama itu tidak diakui secara eksplisit sebagai jalan keselamatan yang legitim bagi penganutnya. Konsili sebenarnya tidak menegaskan secara formal nilai keselamatan agama lain lantaran selalu mengacu kepada Yesus Kristus.
Dengan kata lain: Meskipun Konsili Vatikan II mengungkapkan penghargaan Gereja Katolik terhadap agama lain, Gereja Katolik terus ditantang dengan paradigma-paradigma baru teologi pluralisme agama, terutama karena afirmasi konsili bahwa keselamatan dalam agama-agama lain bersifat partisipatif dalam Yesus Kristus. Kekristenan ditantang untuk menyadari secara baru penyelenggaraan ilahi dalam tradisi lain.
Secara metodologis, dialog antara model teologi Barat (Eropa) dan Timur (Asia) perihal pluralisme agama merupakan upaya penting untuk membangun kesadaran bahwa pluralisme agama merupakan fakta yang harus dihargai sebagai kekayaan manifestasi Allah bagi manusia.
Menurut Jacques Dupuis, pendekatan teosentris dan kristosentris, pneumasentrisme dan logosentrisme, serta soteriosentrisme dan regnosentrisme harus saling melengkapi. Allah yang menyelamatkan adalah Allah Trinitaris. Peran Allah itu tidak dapat direduksi demi metode teologis tertentu. Kepenuhan eskatologis Kerajaan Allah merupakan pencapaian terakhir Kekristenan dan agama-agama lain.
[1] Bdk. Hacker, 1980 (dikutip dalam TCTRP., Op. Cit., hlm. 166-167).
[2] Bdk. Roukanen 1992 (sebagaimana dikutip dalam TCTRP., Op Cit., hal. 167).
[3] Bdk. Rossano 1981a (Ibid. hlm. 167-168).
[4] Bdk. Kunmumpuran 1971 (Ibid., hal. 168).
[5] Lihat Paull F. Knitter, Introducing Theologies of Religions, Maryknoll NY.: Orbis Books, 2002, hlm. 78.
[6] Bdk. Rahner, 1968 (dikutip dalam TCTRP., Op. Cit., hal. 168).
Konsili Vatican II menyadarkan kita bahwa keselamatan itu bersifat universal karena datang dari Allah sendiri. Karena itu, keselamatan itu terbuka bagi orang lain di luar Gereja.