Gereja berciri Satu, Kudus, Katolik dan ciri Apostolik. Dari ciri-ciri tersebut, dapat dibedakan (tanpa dipisahkan) antara dimensi teologis dan historis Gereja.[1]
Dasar teologis dari tiga ciri tersebut itu ialah kesatuan, kekudusan dan kekatolikan (universalitas) Bapa, Putra dan Roh Kudus. “Yang menjadikan Gereja (eklesiologi) itu indah dan kudus ialah relasinya dengan Allah Bapa, dengan misteri penjelmaan Firman, dan dengan karunia Roh (teologi); Gereja tak indah dan kudus dari dirinya sendiri.”[2]
Konsili Vatikan II memaknai Gereja sebagai pengungkapan persekutuan Allah Trinitas. Dengan mengutip kata-kata Santo Siprianus Kartago († 258), Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) mengajarkan bahwa “seluruh Gereja tampak sebagai ‘Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putra dan Roh Kudus” (LG. 4).
Gereja merupakan communio fidelium yang dibaptis ‘dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus’. Gereja adalah umat Allah Bapa. Semua anggota Gereja adalah anak-anak dari satu Bapa. Bapa mengasihi umat-Nya secara radikal. Kasih-Nya itu terungkap dalam penjelmaan Firman menjadi daging. Inkarnasi adalah bahasa diri Allah yang konkret bagi manusia.
Firman yang telah menjelma memungkinkan manusia ikut serta dalam kasih Bapa. Hal ini tampak dalam doa Yesus bagi para murid-Nya: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:21).
Ensiklik Paus Pius XII, Mystici Corporis (1943) menekankan bahwa Gereja yang adalah umat Allah, hidup oleh misi Kristus dan Roh Kudus (MC. 67). Sebagai sebuah persekutuan, Gereja dikepalai Kristus. Setiap jemaat diperkenankan untuk ambil bagian dalam Kristus[3]. Refleksi tentang Gereja (Eklesiologi) tidak terlepas dari dimensi Kristologi.
Ajaran Paulus mendasari corak pneumatologis pada Gereja: Gereja terdiri dari banyak jemaat, namun dipadukan oleh Roh yang sama: “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang” (1 Kor. 12: 4-6).
Setiap pribadi disatukan sebagai sebuah jemaat; dan setiap Gereja lokal berada dalam persekutuan dengan Gereja universal; dan Kristus sebagai kepala Tubuh: satu tubuh, dan satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan; satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua (bdk. Ef. 4: 4-6).
Umat Allah dipersatukan oleh Allah Bapa melalui Putra dalam Roh Kudus. Sabda merupakan norma bagi Gereja: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14: ); dan oleh daya Roh Kudus, Sabda meresapi setiap anggota Gereja, serta menjadi penuntun dan model hidupnya.
Dengan demikian setiap jemaat dapat berkata: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2: 20). Peran Sabda dan Roh Kudus menjadikan Gereja sebagai ‘baid Roh Kudus’ (pneumatologis) dan ‘Tubuh Kristus’ (kristologis). Dua dimensi ini secara bersama menampilkan Gereja ikon Trinitas[4].
Ibarat Tiga Pribadi Ilahi itu, tiga ciri Gereja itu saling meresapi: ‘satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua’ (bdk. Ef. 4: 6).
Allah Bapa itu super omnes: sumber pertama segala realitas. Allah Putra itu per omnia: dalam Dia segala sesuatu dijadikan, dan dengan perantaraan-Nya segala ciptaan bersatu dalam Bapa.
Allah Roh Kudus adalah in omnibus: Ia wujud ilahi yang imanen dari Bapa, ungkapan kasih timbal balik Bapa dan Putra. Ia adalah ‘kita’ dari Pribadi-Pribadi Ilahi. Melalui Roh mengalir segala realitas, dan oleh Dia segala realitas dibarui dalam sang Pencipta.[5]
[1] Osborne, The Theology of the Church for the Third Millennium, 111.
[2] Osborne, The Theology of the Church for the Third Millennium, 126.
[3] E Durand, “Perichoresis”, 190-191.
[4] Greshake, Il Dio Unitrino, 431-433, 482.
[5] Greshake, Il Dio Unitrino, 581-587.
Terimakasih Pater