Setelah kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Asia, Vatican News menyoroti tujuh tanda kenangan tak terlupakan dari lawatan terpanjang yang pernah dilakukan Paus itu.
Pertama, terowongan persahabatan yang menghubungkan Katedral Katolik dan Mesjid Istiqlal Jakarta. Paus berkesemaptan melewati terowongan ini untuk berjumpa dengan imam besar Mesjid yang menyambutnya penuh kehangatan dan persaudaraan.
Perjumpaan keduanya merupakan simbol mendalam: terowongan yang menghubungkan dua rumah ibadat adalah tanda persaudaraan terutama antara Katolik dan Islam di Indonesia. Dialog bermula dari perjumpaan secara fisik melalui terowongan dialog.
Kedua, di Papua New Guinea: Dengan bantuan kendaraan militer, Paus Fransiskus berhasil mengunjungi Vanimo, daerah perbatasan paling luar di PNG, di mana ada tiga misionaris Argentina yang hidup bersama orang-orang miskin di daerah ini.
Ketiga, pada hari pertama kunjungannya di Timor Leste, dalam perjumpaan dengan presiden Republik Timor Leste. Di akhir perjumpaan, Presiden sendiri mau membungkuk untuk memperbaiki kursi roda Paus agar bisa meletakkan kakinya dengan nyaman. Ini merupakan simbol realasi antara Gereja dan institusi negara Timor Leste.
Keempat, di Timor Leste Paus bertemu puluhan anak-anak disabilitas di sebuah sekolah disabilitas. Sungguh tak terlupakan: tidak ada pesan tertulis yang ia baca, namun ada bahasa tubuh yang indah: ia memeluk dan merangkul mereka. Kata-kata Paus sangat menyentuh: anak-anak ini mengajarkan kita untuk belajar membiarkan diri dirawat oleh Tuhan.
Kelima, misa kudus di Timor Leste yang dihadiri lebih dari 600.000 orang (700.000?). Sungguh mengagumkan: lautan manusia dengan payung putih-kuning, anak-anak, orang muda, orang tua berkumpul. Praktis ini adalah misa yang mempertemukan umat dari dua negara.
Lautan manusia, di bawah terik matahari rela menunggu berjam-jam untuk dapat berdoa dan merayakan Ekaristi dengan Paus. Hampir tidak ada lagi tempat, selain lorong kecil untuk prosesi Paus. Begitu banyak anak dan orang muda, begitu banyak senyum dan tawa di sana.
Tanda ini sungguh menyentuh hati Paus Fransiskus. ‘Saya mau katakan satu hal: ‘Saya sudah jatuh cinta dengan Timor Leste’, kata Paus di selah-selah khotbanya.
Keenam, keragaman di Singapura. Negara kecil yang super-maju ini dihuni beragam umat beragama. Ini merupakan simbol kesatauan dalam keberagaman di Gereja Asia. Corak multikultaral di Singapura merupakan kesempatan untuk membangun damai di dunia. Dunia membutuhkan perdamaian.
Akhirnya tanda ketujuh yang tak kalah menarik, yaitu Paus sendiri. Di luar dugaan Paus yang sudah berusia 88 tahun dan duduk di kursi roda, kondisi kesehatannya justru membaik selama 12 hari perjalanan Apostolik. Paus sendiri mengalahkan tantangan berat. Meski harus mengikuti banyak acara, menulis teks, berjumpa dengan banyak orang, berdialog dengan orang muda, menyapa umat di jalan, ia justru menjadi lebih kuat dari hari ke hari.
Terimakasih Pater
Terima kasih pater..Semoga bapak Paus sehat selalu..Salam dan doa, semoga pater sehat selalu dan senantiasa dalam perlindungan TUHAN.