Sejak awal kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo, istilah “retret” menjadi cukup populer. Para Menteri Kabinet terpilih telah mengadakan retret sebelum memulai tugas mereka. Kini para bupati terpilih mengadakan retret setelah dilantik, sebelum memulai tugas mereka.
Salah satu media utama di Indonesia misalnya menulis “Retret Kepala Daerah di Magelang Habiskan Anggaran Rp 13 Miliar”. Kita percaya bahwa retret para Kepala Daerah itu merupakan kesempatan untuk menegaskan komitmen, bukan sekedar menghabiskan anggaran.
Di tengah isu perampingan anggaran yang diusung dalam kepemimpinan Bapak Prabowo, semoga retret para pemimpin kita menghasilkan buah nyata dalam bentuk semangat etos kerja yang lebih efisien dan efektif, serta gaya hidup yang mencerminkan jiwa seorang pemimpin yang mau melayani.
Apa sebenarnya retret itu? Retret merupakan kegiatan menarik diri dari keramaian atau rutinitas untuk memulihkan diri secara spiritual agar dapat mengawali atau memulai kembali rutinitas dengan semangat baru. Setelah retret hidup sesorang seharunya menjadi lebih baik.
Penggunaan istilah retret untuk suatu kegiatan di kalangan para pemimpin politik, terasa menarik. Orang yang telah mengadakan retret biasanya kembali dengan ‘buah-buah’ retret, yaitu semangat baru dan komitmen yang lebih baik untuk tugas yang ia emban.
Pilihan menggunaka istilah retret juga menarik, karena retret lebih dikenal dalam tradisi Katolik pada umumnya, dan khususnya di kalangan orang yang menjalani Hidup Bakhti (imam, biarawan, biarawati) – meskipun bukan praktik yang eksklusif di kalangan Katolik.
Dalam Injil dikisahkan bahwa Yesus dari Nazaret, sebelum memulai pelayanan-Nya, ia berada di padang gurun untuk berdoa dan berpuasa. Di sana Ia digoda iblis. Namun demi ketaatan-Nya pada kehendak Allah dan komitmen-Nya pada pelayanan, Ia mengalahkan kuasa iblis.
Diceritakan pula bahwa setelah suatu masa pelayanan yang melelahkan, Yesus menarik diri ke tempat yang hening. Di sana Ia berdoa semalaman. Dengan keheningan dan doa itu Ia menegaskan komitmen-Nya untuk melayani semakin banyak orang di lebih banyak kota.
Yesus mengadakan ‘retret’ dengan tujuan menegaskan komitmen-Nya untuk melayani, bukan mendapat kekuasaan. Orang mencari Dia untuk menjadikan Dia Raja mereka, tetapi Ia menolaknya, karena Ia ingat bahwa pelayanan-Nya bukan demi kepentingan-Nya.
Para rahib menarik diri ke padang gurun karena mereka yakini bahwa dalam kehingan, mereka mendengar suara Tuhan, dan mendapat kekuatan spiritual-batiniah untuk memulihkan hidupnya dan memberi kesaksian yang lebih baik tentang relasi dengan Tuhan.
Tradisi ini dilanjutkan dalam kehidupan para imam dan biarawan-biarawati. Mereka mengadakan retret secara rutin, misalnya setiap tahun, untuk memulihkan hidup spiritual, atau juga untuk mengambil suatu keputusan penting untuk seluruh hidupnya.
Orang yang mengadakan retret itu masuk dalam keheningan. Ia perlu berbicara dengan dirinya sendiri. Ia perlu mendengar suara Tuhan. Maka ia menjauh dari keramaian. Paling penting, ia kembali membawa “pertobatan”. Itulah harapan kita kepada para peserta retret di Magelang.