Ahmad Muhammad al Tayyeb, Imam Besar Al–Azhar, pada hari-hari kehadirannya di Roma untuk berpartisipasi dalam beberapa acara penting bersama Paus Fransiskus dan para pemimpin agama lainnya, mengunjungi studio Radio Vatikan dan Vatikan News dan menjawab beberapa pertanyaan tentang hubungannya dengan Paus, satu tahun setelah penerbitan ensiklik Fratelli Tutti.
Bolehkah Anda ceritakan bagaimana persahabatan Anda dengan Paus Fransiskus lahir dan berkembang? Apa arti persahabatan ini bagi Anda?
Asal-usulnya dapat ditemukan pada awal hubungan Islam dengan Kristen, ketika Nabi Muhammad dikirim ke Abyssinia, di mana raja Kristen Negus memerintah para sahabat dan pengikutnya yang tertindas dan miskin yang telah menderita siksaan kejam oleh orang-orang kafir di Mekah. Raja ini menyambut kaum Muslim, memberi mereka penjagaan dan perlindungan, dan mereka kembali ke jazirah Arab hanya setelah masyarakat Muslim memperoleh kekuatan.
Karena itu, sulit, jika bukan tidak mungkin, bagi mereka untuk menderita siksaan atau meninggalkan agama mereka. Hubungan antara Kristen dan Islam ini telah berlangsung selama sepuluh abad, dengan pasang surut, tetapi juga di saat-saat tergelap, seperti perang dan konflik bersenjata, dan telah terjadi dialog. Filosofi Abad Pertengahan kaya akan warisan ini.
Sekarang ada sebuah komisi untuk dialog dengan Tahta Suci telah dibentuk di Al-Azhar, yang terus bertemu satu tahun di sini di Vatikan dan kemudian tahun berikutnya di Al-Azhar. Kegiatan komisi ini terputus untuk jangka waktu sekitar enam atau tujuh tahun, dan dimulai lagi setelah pemilihan saudara terkasih Paus Fransiskus. Al-Azhar berinisiatif untuk mengucapkan selamat kepadanya dan kami menerima respon yang baik dari Fransiskus. Sebuah jawaban yang mendorong kami untuk memulai hubungan lagi.
Oleh sebab itu saya memutuskan untuk mengunjungi Paus di Vatikan, pada Mei 2016. Selama kunjungan ini, masing-masing dari kami menemukan keselarasan yang besar baik pemikiran maupun spirit, terhadap krisis yang menimpa manusia saat ini dan khususnya terhadap orang miskin, yatim piatu, yang lemah, yang janda, korban perang dan tunawisma. Keharmonisan antara dia dan saya dapat menawarkan banyak hal untuk meringankan krisis ini.
Sejak saat itu, tidak ada lagi keraguan. Secara pribadi, saya tidak ragu untuk mengulurkan tangan. Sejak menit pertama pertemuan kami dengannya, saya sudah memiliki kayakinan bahwa dia adalah orang yang damai dan manusiawi. Segalanya berjalan dengan baik dan hanya dalam tiga tahun kami memiliki enam hasil kesepakatan.
Lima di antaranya kami menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Manusia. Detail tentang topik ini dapat ditemukan dalam buku Imam, Paus, dan Jalan Berduri, yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Italia, yang ditulis oleh murid dan putra saya, Hakim Mohammad Abdelsalam.
Mengapa Anda ingin terlibat secara pribadi dalam alur ini, yang belum pernah terjadi sebelumnya ini?
Berkat formasi studi saya di Al Azhar dan juga berkat tumbuh di kota wisata Luxor, sejak kecil saya menjadi sadar melalui temuan arkeologi para firaun bahwa agama bercampur dengan sains dan peradaban dengan cara yang mengejutkan. Jadi saya tumbuh dengan keyakinan, yang sampai hari ini mengalir di nadi saya, tentang pentingnya agama dalam membangun peradaban dan perkembangan material dan spiritual. Dan juga tentang peran agama dalam menjaga pencapaian peradaban tersebut, agar tidak menyimpang dan menjadi kejahatan bagi manusia, dan tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi hewan, tumbuhan bahkan batu.
Kemudian kesadaran penuh akan pentingnya agama tumbuh dalam diri saya dengan studi saya tentang ilmu-ilmu Islam dan spesialisasi di fakultas teologi Al Azhar. Saya menyadari bahwa pesan agama dapat menghasilkan buah yang diinginkan hanya jika diwartakan oleh orang-orang beriman yang beriman, terlebih dahulu didamaikan di antara mereka sendiri.
Di antara mereka yang membawa pesan ini kepada manusia harus ada perdamaian, harmoni dan kerjasama. Karena jika perpecahan dan konflik merajalela di antara mereka, mereka tidak dapat menyampaikan pesan perdamaian kepada rakyat. Kita tahu pepatah terkenal yang mengatakan: Siapa pun yang tidak memiliki sesuatu, tidak dapat memberikannya.
Inilah alasan mengapa saya berpikir bahwa Al Azhar harus mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan perwakilan agama untuk mencapai perdamaian di antara mereka dan kemudian pergi ke dunia untuk mengumumkan pesan perdamaian.
Saya mengerti bahwa agama-agama monoteistik yang muncul sepanjang sejarah hanya memiliki satu sumber, Tuhan, Yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi. Kami memiliki teks-teks yang jelas dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa apa yang diturunkan oleh Tuhan kepada Muhammad adalah sama dengan apa yang diturunkan kepada Abraham dan Musa dan Yesus. Ada satu sumber.
Semua itu yang bermanfaat bagi kemanusiaan seperti nilai-nilai, ajaran dan perintah, yang tidak berbeda antara satu agama dengan agama lainnya. Inilah yang membuat saya pergi dan menempatkan diri saya di samping saudara-saudara dan rekan-rekan saya yang mewakili agama, untuk menemukan hal-hal umum ini, dan syukur kepada Tuhan kita diperdamaikan dengan orang-orang, berharap ini akan membantu meringankan rasa sakit manusia hari ini.
Apa kontribusi ensiklik Paus Fransiskus Fratelli Tutti yang Anda anggap paling signifikan? Apakah ini pesan yang juga menarik minat umat Islam?
Ensiklik ini tentu sangat penting, terutama saat ini, baik bagi umat Islam maupun non-Muslim. Saya dapat mengatakan bahwa Ensiklik ini cocok dengan kerangka pertemuan kami dan terinspirasi olehnya. Paus sendiri menyebutkannya, saya percaya pada kata pengantarnya.
Ensiklik itu menuju ke arah yang sama, yaitu dialog dan koeksistensi di antara manusia: singkatnya, seruan untuk menerapkan prinsip-prinsip moral agama untuk menciptakan persaudaraan sejati di mana tidak ada ruang untuk diskriminasi atas dasar perbedaan agama, keyakinan, ras, jenis kelamin, atau bentuk intoleransi lainnya. Ensiklik ini bermanfaat bagi umat Islam dan sekaligus bermanfaat bagi orang lain, karena dikatakan bahwa kita semua bersaudara.
Dan Alquran berkata kepada umat Muslim: Anda memiliki saudara dan Anda setara dalam kemanusiaan. Kami mengatakan bahwa manusia serupa atau setara dengan saya dan saudara saya dalam kemanusiaan. Dia bisa menjadi saudara seagama, tetapi dia juga bisa menjadi saudara kemanusiaan bagi saya. Ini adalah pusat dari Ensiklik Fratelli Tutti.
Apa yang bisa dilakukan agama secara konkrit untuk menyebarkan perdamaian, rasa hormat, saling pengertian, dan melawan fundamentalisme yang menghujat nama Tuhan melalui kebencian dan terorisme?
Agama didasarkan pada prinsip saling melengkapi pengetahuan, pengertian dan kerjasama antara manusia, serta untuk menghindari kebencian, konflik dan perang bila memungkinkan. Di dalam Al-Qur’an ada seruan yang mengikat, tidak hanya untuk umat Islam tetapi untuk semua orang, karena ayat dimulai dengan ‘Hai manusia’: “Hai manusia, kami menciptakan kamu sebgai seorang pria dan seorang wanita dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal”. Tujuan penciptaan dan keragaman yang ada di dalamnya, adalah untuk saling mengenal.
Nasihat ini adalah salah satu poin umum di antara semua agama monoteistik. Mari kita bayangkan sebuah dunia yang menghargai petunjuk ilahi ini, dan didasarkan pada prinsip kerja sama dan pengetahuan timbal balik dengan menghormati keragaman sebagai hukum ilahi di mana Tuhan menciptakan manusia.
Saya sangat percaya bahwa masyarakat yang menerapkan prinsip ini dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dipaksa kapan pun untuk terlibat dalam konflik atau perang dengan orang lain. Mengatakan bahwa agama-agama yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi telah menjadi penyebab peperangan dalam sejarah adalah tidak tepat, karena apa yang disebut konflik atas nama agama sebenarnya adalah konflik politik yang mengatasnamakan agama, sehingga tafsirannya yang benar disalahgunakan demi penaklukan dan kepentingan duniawi, yang sebenarnya tidak ada hubungannya, bahkan yang bersifat jauh sekalipun, dengan agama yang benar.
Saya harus mengatakan bahwa mereka yang hari ini menyebarkan kebencian di antara orang-orang, dan mempraktekkan kekerasan dan pertumpahan darah atas nama agama atau Tuhan, adalah pembohong dan pengkhianat terhadap agama-agama yang panji-panjinya mereka kibarkan, apapun agama atau doktrin ini, atau pengakuan atas nama siapa mereka berbicara.
Deklarasi Abu Dhabi tentang Persaudaraan Manusia berbicara tentang mengupayakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan martabat perempuan. Ada tanda-tanda mengkhawatirkan yang menunjukkan kebangkitan fundamentalisme yang tidak menghargai martabat ini. Bagaimana ini bisa dilawan?
Saya ingin mengklarifikasi terlebih dahulu bahwa apa yang dideklarasikan oleh Dokumen Persaudaraan Manusia adalah apa yang ditetapkan oleh Islam berkenaan dengan penghormatan terhadap perempuan dan penghormatan penuh terhadap hak-haknya. Saya juga menegaskan bahwa tidak ada yang bisa merampas hak-hak seorang wanita, sekalipun hanya salah satunya; bahwa hal ini diajarkan oleh nabi Islam Muhammad, dan yang ditemukan dalam kalimat yang jelas dan ringkas: “Perempuan sama dengan laki-laki”.
Tidak ada yang bisa melakukan ini ketika kita umat Islam, dari Marrakesh hingga Jakarta, bahkan anak-anak kita di sekolah pun tahu, bahwa para wanita pergi sholat dengan nabi di masjidnya, melihat nabi dan dia melihat mereka, dan bercakap-cakap dengannya tentang iman dan dunia. Aisha, istri nabi, ibu orang beriman, berpartisipasi dalam pengajaran dan politik: dia mengoreksi apa yang tampaknya salah dalam pemahaman beberapa hukum Syariah oleh beberapa sahabà, teman-teman nabi. Ini adalah fakta yang didokumentasikan, yang telah kami pelajari dan ajarkan kepada siswa kami di Al Azhar.
Maksud saya, dihadapan kebenaran ini, tidak ada seorang Muslim pun yang beriman pada akidahnya dapat mengambil dari wanita hak-hak yang dijamin oleh Islam. Kita harus mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi sekarang ini tidak lebih dari sebuah kemenangan dari kebiasaan-kebiasaan kuno di masa lalu, yang merusak hukum Islam dan aturan-aturannya.
Namun, sejujurnya, berbicara tentang topik ini, saya juga mengatakan bahwa kita harus waspada dan membedakan – dalam ungkapan “hak-hak perempuan” – antara hak-hak yang dibentuk oleh peradaban kontemporer yang mengabaikan moralitas agama dan perasaan kodrat manusia, dan hak-hak lain yang dirumuskan dalam masyarakat di mana agama merupakan dasar yang kokoh untuk membangun budaya dan gaya hidup mereka.
Siamo tutti Fratelli..
Terima kasih Pater