Logika perang adalah: merebut untuk saya. Sebaliknya logika damai adalah mengulurkan tangan untuk memberi. Tentu menciptakan damai pun beresiko. Tapi lebih beresiko perang daripada damai. Di balik perang sebenarnya ada hal yang memalukan: bisnis jual beli senjata.
Paus Fransiskus: “Seorang ahli ekonomi mengatakan kepada saya bahwa di zaman sekarang ini, salah satu investasi yang paling banyak menghasilkan uang ialah pabrik senjata: berinvestasi untuk membunuh. Ini kenyataan. Saya tidak sedang membual. Ini kenyataan.”
Wartawan (Fabbio): “Bapa Suci, Anda adalah otoritas moral di muka bumi ini. Setiap hari Anda bertemu dengan para pemimpin dunia. Anda mengenal mereka, berbicara dengan mereka. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang merancang dan mengadakan perang? Bukankah mereka manusia seperti kita. Apa tujuan mereka”?
Paus: “Saya pikir tak mudah menemukan sebuah alasan yang umum. Ada yang punya alasan petariotisme; yang lain karena kepentingan ekonomi; dan ada pula yang mau membangun imperalisme untuk melanggengkan kekuasaan. Masing-masing orang punya alasan.
Meski demikian perang itu jelas mengancurkan. Selalu begitu. Lihatlah kenyataan dampak perang sekarang: lihat jalur Gaza, lihat lah, lihat Ukraina. Hancur.
“Hari Rabu dua minggu lalu, saya mendapat kunjungan sekelompok anak-anak dari Ukraina. Ada perwakilan orang tua yang menemani mereka. Anak-anak ini ikut melihat peristiwa-peristiwa perang. Saya mau katakan ini kepadamu Fabbio: tidak ada dari mereka yang tersenyum. Anak-anak seharusnya spontan tersenyum. Saya membagikan permen coklat kepada mereka, namun tidak ada yang tersenyum. Mereka telah melupakan senyum. Ketika seorang anak melupakan senyum, ini adalah kriminal. Ini karena perang. Mimpi buruk.”
“Setiap hari saya berkomunikasi dengan paroki di wilayah Gaza. Mereka menceritakan semua yang terjadi. Perang itu mengerikan. Banyak orang Arab mati. Banyak orang Israel juga mati. Dua umat yang dipanggil menjadi saudara satu sama lain justru saling menghancurkan. Inilah perang: membawa kehancuran.”
Wartawan: “Sering kali kata ‘damai’ itu terkesan hanya kata kosong dalam pikiran manusia. Sebab diyakini bahwa perang itu pasti selalu terjadi. Ini sesuatu yang alami pada manusia. Apakah Anda, Bapa Suci, setuju dengan pandangan ini, bahwa ini hal manusiawi?
“Perang mulai di awal sejarah manusia, dalam kisah Kain dan Abel. Di sana mulailah kebencian. Lalu perang terus terjadi dalam sejarah. Perang itu aksi egoistis: merebut bagi diri. Sebaliknya damai berarti mengulurkan tangan untuk membantu, memberi, menolong”.
Perang menghancurkan generasi. Ketika anak tumbuh dewasa di usia duapuluhan tahun, sering kali mereka dipenjarakan karena kelakuannya. Lalu kita mengatakan ini generasi buruk. Ini salah: justru sistema sosial yang sudah membentuk mereka. Perang itu skandal. Aksi kriminal.
Semoga semakin banyak insan yang memilih Damai. Terimakasih Pater