Krisis iklim memang sangat nyata. Aktivisme manusia yang menggerus energi bumi telah berbalik menjadi ancaman bagi hidup manusia. Karena panas bumi yang semakin tinggi, lapisan gunung es mudah mencair dan menjadi banjir lumpur yang mematikan.
Diberitakan bahwa pada Rabu 28 Mei 2025, Gletser Pegunungan Alpen Swiss runtuh, menyebabkan satu desa terkubur dalam sekejap. Diberitakan bahwa 90 % desa Blatten terkubur dalam sekejap, satu orang hilang dan 300 penduduk dievakuasi.
Runtuhan 1.5 juta mter kubik Gletser itu memuntahkan material berupa es, lumpur, dan batuan besar yang memutus aliran Sungai Lonza, sehingga menimbulkan banjir besar. Desa Blatten yang hijau itu dalam sekejap berubah menjadi lautan lumpur dan puing.
Dengan bencana ini, seruan-seruan Paus Fransiskus terdengar sangat profetik. Tahun 2015 Paus menulis Ensiklik Laudato Si. Delapan tahun kemudian, melalu Seruan Apostolik Laudate Deum, ia menyampaikan rasa prihatin dan penyesalan bahwa krisis iklim belum ditangani dengan baik.
Tahun 2023 Paus telah menulis: bahwa “ada kemungkinan hanya dalam sepuluh tahun kita akan mencapai batas global maksimum yang direkomendasikan yaitu 1.50C […] Gletser semakin menyusut, lapisan salju semakin berkurang, dan permukaan laut terus naik” (LD 12).
Bencana di Swiss itu membenarkan perkiraan bahwa “kelebihan emisi gas rumah kaca sudah mengakibatkan kenaikan suhu global sebesar 1.50 C. Jika suhu udara naik menjadi 2 derajat, ancaman bagi kehidupan di bumi menjadi semakin serius” (LD 5).
Seruan untuk berdamai dengan bumi harus diwujudkan. Perlakuan buruk manusia terhadap bumi adalah ancaman bagi dirinya. Paus telah menegaskan bahwa “manusia yang mengeklaim dirinya menggantikan Allah, menjadi musuh terburuk bagi dirinya sendiri” (LD 73).
Semoga semakin hari kita semakin menyayangi Bumi dan merawatnya dengan baik.