Christus Medium
  • Humaniora
  • Teologi
  • Dialog Teologi dan Sains
  • Filsafat
  • Buku
  • Tentang Saya
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
Christus Medium
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
Home Teologi

Dilexi Te dan Natal 2025

Keberpihakan kepada orang miskin adalah identitas diri Gereja Katolik

19 Desember 2025
inTeologi
1
DILEXI TE Seruan Apostolik Paus Leo XIV

Foto dari Vatikan News

Share on FacebookShare on Whats AppShare on Twitter

Seruan Apostolik Paus Leo ke-XIV Dilexi Te [disingkat DT] menyingkap sebuah korelasi yang mendalam antara orang miskin dan Allah. Berbicara tentang orang miskin berarti berbicara tentang Pribadi Allah yang diimani orang Kristiani. Mengapa?

Sebab menjadi miskin adalah cara Allah mengasihi semua ciptaan-Nya. Akar dari seluruh sejarah keselamatan adalah keputusan penuh risiko dari Allah demi menyelamatkan manusia: Ia menjadi miskin secara radikal.

Mengagumi Kasih Allah

Bagi umat Israel, Allah adalah Bapa yang berbelas kasihan. Ia mendengarkan seruan umat-Nya untuk dibebaskan dari tangan orang Mesir (Kel 3: 7-8) [DT 8]. Sosok Allah itu diimani orang Kristiani dalam keyakinan akan misteri Firman menjadi daging.

Daging merupakan bagian paling lemah tubuh manusia; namun yang lemah itu dipilih Allah: Ia datang ke dunia sebagai Mesias miskin, lahir miskin, menjadi pengungsi yang ditolak, anak tukang kayu, menderita, wafat, turun ke alam maut [18-20].

Dasar kecintaan Gereja kepada orang miskin ialah kemiskinan radikal Yesus. ‘Ia menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kita menjadi kaya karena kemiskinan-Nya’ (2Kor 8:9). ‘Ia sama seperti kita dalam segala hal kecuali dalam hal dosa’ (Ibr 4: 15).

BacaJuga

Gereja: Komunitas Pengharapan

Poin-Poin Inti Dilexi Te

Roh Kudus Menurut St Agustinus Hippo

Reformator Anti Bunda Maria?

Yesus Bangkit Atau Dibangkitkan?

Kebangkitan Teologi Harapan

Yesus tidak hanya mengasihi orang miskin. Ia sendiri miskin. Paus Leo mengulang refleksi Paus Fransiskus yang memaknai orang miskin sebagai daging Kristus [49, 110]; yang termiskin dari yang miskin terpelihara di hati Allah [16,17, 39, 76].

Kasih kepada sesama dibalas setimpal, namun kasih kepada yang miskin diperhitungkan Allah sendiri ‘pada hari kebangkitan orang-orang benar’ (Luk 14: 14) [ 27]. Kasih yang sejati adalah rahasia batin yang hanya diketahui dan dibalas oleh Allah.

Mengasihi Jantung Gereja

‘Saya menginginkan Gereja yang miskin bagi kaum miskin’, kata Paus Fransiskus. Artinya cara terbaik Gereja untuk bersaksi tentang kasih Allah ialah merangkul orang miskin: para pengungsi, terpenjara, terpinggir, miskin finansial, tak memiliki akses pendidikan dan kesehatan, tuna karya, dan yang kerdil secara spiritual.

Mereka itu bagian dari Gereja, bukan masalah sosial. Kata diakon Laurensius, orang miskin itu harta kesayangan di jantung Gereja [36, 38,111]. Orang miskin DNA Gereja. Karena itu, iman Gereja yang tidak disertai perbuatan kasih kepada orang miskin adalah iman yang pada hakikatnya mati (Yak 2: 14-17) [29-30].

Orang miskin juga adalah daging Kristus, karena mereka telah mendapat jaminan kebahagiaan kekal dari Dia: “Berbahagialah, hai kamu yang misikin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Luk 6: 20) [21]. Mengasihi orang miskin berarti menemukan previlese yang dibuka Allah menuju Kerajaan-Nya.

Memeluk Kristus Miskin

Santo Ignatius Antiokhia, Polikarpus Smirna dan Yustinus Martir mengajarkan bahwa kasih kepada orang miskin adalah ciri liturgi yang autentik. Yohanes Krisostomus menulis dengan tajam: ‘Orang yang tidak mampu melihat saudaranya yang miskin di depan pintu rumah, tidak layak mempersembahkan pujian di atas altar’ (39-42].

Ambrosius Milan melawan akumulasi harta oleh segelintir orang. Baginya memberi sedekah kepada orang miskin sebenarnya berarti mengembalikan hak mereka. Lebih teologis, Agustinus Hippo merefleksikan bahwa orang miskin bukan hanya orang yang perlu ditolong, melainkan ‘tanda sakramental kehadiran Allah’ [43-44].

Pada abad ke enam belas, dalam Gereja muncul figur yang menjadi pionir bagi pelayanan kesehatan bagi orang miskin. Misalnya Santo Kamilus yang melahirkan para Kamelian dan Vincentius de Pauolo yang menginspirasi karya kasih para Vincentian [50-51].

Hidup monostik yang dimulai Basilius Agung dan Benediktus Nursia juga membentuk cara hidup memeluk Kristus miskin. Para biarawan bekerja tangan untuk membantu orang miskin. Para Benediktin membuka biara untuk menerima para pengungsi. Pelayanan serupa juga dikembangkan oleh Bernardus Clairvaux [55-59].

Di abad ke tiga belas para Fransiskan dan Dominikan menghayati kemiskinan dengan mengemis. Fransiskus Assisi, anak pedagang kaya, memilih menjadi miskin dan hidup bersama orang kusta. Klara Assisi bahkan meminta Privilegium Paupertatis kepada Paus Gregorius ke-IX, yaitu izin agar para suster boleh hidup tanpa jaminan kesejahteraan; dalam hening mereka menjadi pembela orang miskin [63-67].

Membentuk Manusia Utuh

Dilexi Te menegaskan bahwa ‘pendidikan adalah bentuk tertinggi pelayanan kasih’ [68], karena mencerahkan manusia dan mengantarnya kepada kebenaran. Pada abad ke enam belas, Joseph Calasanz dan John Baptist de La Salle menginisasi pendidikan gratis di Eropa. Mereka bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk disiplin diri anak secara integral, termasuk disiplin hidup doa [68-69].

Di abad ke sembilan belas, Marcellin Champagnat membuka akses pendidikan bagi anak-anak, khususnya yang terabaikan; John Bosco mengembangkan metode preventif yaitu pendekatan integral dalam aspek rasio, religiositas, dan kasih. Dalam semangat yang sama, Antonio Rosmini mengembangkan pendidikan dengan tekanan pada spiritualitas kasih untuk pembentuk diri anak secara integral [70].

Pendidikan integral juga dikembangkan oleh para suster Ursulin. Mereka mengutamakan pendidikan bagi anak perempuan di pedesaan. Anak-anak dididik untuk memiliki keterampilan dan karya seni, serta kesadaran diri. Para suster mengutamakan pembentukan nilai kedekatan, kesabaran, dan keberanian [71].

Contoh-contoh karya pendidikan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan bagi orang msikin itu bukan sekedar pilihan, melainkan kewajiban Gereja; dan tujuan pendidikan bukan hanya untuk pekerjaan profesional, melainkan pembentukan diri manusia utuh, agar terbuka pada kebaikan, keindahan, dan kebenaran ilahi [72].

Menerima Pengungsi

Model pelayanan ini dikembangkan di abad ke sembilan belas oleh Jhon Baptist Scalabrini dan Frances Xafier Cabrini. Para Scalabrinian menerima para pengungsi, membuka sekolah, rumah sakit, dan penginapan. Pelayanan kasih bagi kaum marginal juga dilakukan secara konkret oleh Santa Teresa Calcutta (74, 77].

Pelayanan kepada orang miskin juga dilakukan oleh gerakan populer kaum awam. Mereka menunjukkan keberanian melawan kemiskinan struktural. Mereka membangun komunitas yang bersolider. Gerakan populer membantu sesama yang kehilangan pekerjaan, homeless, yang kehilangan tanah, serta yang terabiakan [80-81].

Membela Kaum Buruh

Magisterium Gereja dalam 150 tahun terakhir, sejak Ensiklik Rerum Novarum Paus Leo-XIII, memberi tekanan tentang Gereja yang miskin. Corak Gereja sebagai ibu bagi kaum miskin mewarnai masa pra-Konsili Vatikan II, seperti diserukan Yohanes XXIII dalam siaran radio 11 September 1962. Seruan itu diangkat kembali pada sesi kedua Konsili dan mengerucut dalam Konstitusi Dogmatis Gaudium et Spes [83-86].

Kata miskin menjadi warna baru identitas Gereja Katolik. Dalam semangat ini, Yohanes Paulus II menegaskan pentingnya kerja sebagai ekspresi diri manusia. Baginya Gereja menjadi tanda harapan ketika ia peduli pada Lazarus yang terbaring di gerbangnya.

Paus Benediktus XVI melontarkakan kritik tajam bagi struktur politik yang tidak adil, karena mengutamakan kemajuan global, tetapi mengabaikan martabat pribadi orang miskin. Kritik terhadap sistem politik yang menjadi lahan subur ‘dosa struktural’ diserukan kembali dengan kuat oleh Paus Fransiskus [92-93].

Mengembalikan Kasih Allah

Paparan teologis dan historis di atas menunjukkan bahwa dalam iman akan Kristus yang miskin, Gereja terus bersaksi melalui pelayanan kepada orang miskin. Gereja mengalami bahwa Allah sudah mengasihi dia dengan cara menjadi miskin.

Karena itu Gereja percaya bahwa ‘dalam diam orang miskin menjadi guru baginya’ [100, 108, 110]. Dalam konteks ini Dilexit Te mengundang kita untuk membiarkan diri diinjili oleh rahasia kebijaksanaan yang ‘tersembunyi di hati orang miskin’ [102].

Mengasihi yang miskin berarti menjadi tanda harapan. Kristus Harapan kita: “Aku sudah mengasihi engkau” (Why 3: 9). Firman-Nya membawa harapan bagi orang kecil: “Kekuatanmu tidak seberapa” tetapi “Aku mengasihimu” (3: 8-9) [1, 121].

Makna Sabda Yesus tersebut jelas: Ketika orang mampu bersyukur atas kasih Allah, ia rela mempersembahkan kembali kasih itu kepada sesama. Mengasihi orang miskin adalah tradisi Gereja. Gereja ditopang daging Kristus, esensi Tubuh Mistik Kristus [103-104], maka ia rela mengembalikan kasih kepada orang miskin.

Memberi Sedekah Natal

Natal adalah senyum kesahajaan ilahi bagi dunia. Allah sudah mencintaimu. Ia lahir sebagai Lazarus miskin di depan pintu rumahmu. Ia terbaring di palungan sebagai korban yang dirampok dan ditinggalkan hampir mati [105-107]. Pergilah menjumpai Dia dengan membawa hadiah minyak dan anggur. Berilah Dia penginapan di rumahmu.

Setiap menit, tanpa mencari pun kita menjumpai Lazarus di sekitar kita. Sekarang engkau mengulurkan tanganmu memberikan dia sedekah, kelak ia menjadi pembelamu. Sekarang kita memberinya harta fana, kelak dia menjamin hidup kekal kita [108].

Dilexi Te diakhiri dengan ajakan konkret: memberi sedekah [115-121]. Perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati diakhiri dengan amanat Yesus: ‘Pergilah, dan perbuatlah demikian’ (Luk 10: 37). Aksi nyata berbicara lebih keras dari teori indah.

Di Natal 2025 ini, pergilah memberi sedekah kepada orang miskin. Di saat itu Yesus lahir di hatimu, sebab ‘sesunggunya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku’ (Mat 25: 40).

Tags: Dilexi teDilexit NosGereja Katolik
ShareSendTweet
Artikel Sebelumnya

Seruan Apostolik In Unitate Fidei

TerkaitTulisan

Kebangkitan Teologi Harapan

Gereja: Komunitas Pengharapan

Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV

Poin-Poin Inti Dilexi Te

Roh Kudus Menurut St Agustinus Hippo

Reformator Anti Bunda Maria?

Yesus Bangkit Atau Dibangkitkan?

Kebangkitan Teologi Harapan

Teologi Perdamaian Paus Leo ke-XIV

Kekristenan di Era Posthuman

Komentar 1

  1. sr. Alfonsa SFD says:
    5 menit yang lalu

    Terimakasih Pater, sangat bermamfaat dan menginspirasi dimasa sekarang ini.

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terbaru

  • Dilexi Te dan Natal 2025
  • Seruan Apostolik In Unitate Fidei
  • Gereja: Komunitas Pengharapan
  • Vatikan Mengganti Gelar Co-Redemptrix Bagi Maria
  • Vatikan Menyediakan Ruang Doa Bagi Pengunjung Muslim di Perpustakaan Apostolik

Komentar Terbaru

  • sr. Alfonsa SFD pada Dilexi Te dan Natal 2025
  • Soviani pada Seruan Apostolik In Unitate Fidei
  • Irene pada Gereja: Komunitas Pengharapan
  • Soviani pada Poin-Poin Inti Dilexi Te
  • Soviani pada DILEXI TE Seruan Apostolik Paus Leo XIV

Tag

AllahBonaventuraBunda MariaCorona Viruscovid-19Dilexit NosdisabilitasEkaristiEnsiklik Tutti FratelliFransiskanFransiskus AssisiFratelli TuttiGerejaGereja Katolikharapanhikmat roh kudusimanJean Vanierkarunia Roh KuduskasihLaudato Silogika kasihlogika salibmanusia sebagai citra AllahnatalPaus FransiskusPaus Leo ke-XIVPaus Leo XIVRoh KudussabdaSalibSanta Mariasanto agustinusSanto Agustinus HippoSanto BonaventuraSanto Fransiskus AssisiSanto YusufTeilhard de ChardinTeologiTrinitasvirus koronawaktuwaktu dan kekekalanYesus kristusYohanes Pembaptis
@Christusmedium.com
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
  • Humaniora
  • Teologi
  • Dialog Teologi dan Sains
  • Filsafat
  • Buku
  • Tentang Saya

© 2018 - Andreatawolo.id