Siapa menyangkal keberadaannya sebagai pribadi? Siapa tidak bangga menjadi diri sendiri, berpikir dan bertindak sebagai pribadi yang bebas? Menjadi pribadi, dan semakin utuh sebagai pribadi, itulah kebanggaan manusia.
Kata pribadi (Latin: persona) menunjuk otonomi dan kebebasan manusia.Eksistensi sebagai person itu begitu berharga, tidak dapat direbut. Secara populer kita menggunakan kata ‘eksis’ sebagai ekspresi dari harga mahal kebebasan diri.
Seiring perubahan zaman, kebebasan pribadi diungkapkan dengan beragam cara. Di awal zaman modern, ketika kebebasan berpikir menjadi kebanggaan manusia, Descartes (1596-1650) berkata: ‘saya berpikir maka saya ada’.
Dalam perkembangan kemudian kebanggan diri manusia dikaitkan dengan rasa puas memiliki sesuatu: ‘I buy therefore I am’. Dan di zaman now, selfie adalah contoh ekspresi populer dari prinsip be your self: ‘I selfie therefore I exist’. Namanya juga ekspresi diri. Ia berkembang searah zaman. Tidak ada yang salah.
By the way, istilah persona memang menarik perhatian banyak orang. Boethius (475-524), seorang filsuf Romawi, pernah membuat definisi terhadap kata itu: ‘Persona merupakan sebuah substansi individual dari kodrat rasional’ (person properly means an individual substance of rational nature).
Boethius menekankan keberadaan manusia sebagai kodrat akali yang berciri khusus,yaitu berdiri sendiri, otonom. Individu merupakan elemen utama dari persona. Dan individu itu adalah makhluk yang mampu berpikir secara rasional.
Sangat mirip dengan Boethius, Thomas Aquinas (1225-1274), teolog Katolik terkemuka, mendefinisikan persona sebagai ‘an individual substance of a rational nature’. Ia pun mengatakan bahwa ‘partikularitas dan individualitas berada dengan cara yang khusus dan sempurna dalam substansi rasional. Makhluk rasional mengendalikan tindakan mereka sendiri, bukan menurut pengaruh pihak lain melainkan oleh inisiatif mereka sendiri…setiap wujud individu dari natura rasional memiliki nama khusus, yaitu ‘person’.
Banyak ahli mengatakan bahwa definisi Boethius dan Thomas ini baru menyentuh sebagian dari makna persona. Saya lebih tertarik dengan definisi yang dibuat oleh Rikard dari St. Viktor († 1173). Baginya persona merupakan sebuah ‘eksistensi yang tersembunyi’ (an incommunicable existence).
Saya katakan menarik karena Rikard menggunakan kata eksistensi. Kata ini berasal dari bahasa Latin, existere, yang terdiri dari kata ex dan sistere. Kata sistere menunjuk keberadaan seseorang; sedangkan ex menunjuk relasi dengan sumber asal keberadaannya itu. Rikard tidak hanya mengatakan bahwa persona itu berada pada dan bagi drinya. Ia menambahkan aspek lain yang sangat menentukan pemahaman makna kata persona, yaitu penyebab awalnya.
Dengan kata lain, Rikard menunjukkan bahwa adanya satu pribadi itu tidak terlepas dari pribadi lain. Apa itu existere kalau bukan berada (sistere) dari (ex) yang lain? Bukan kah itu berarti bahwa keberadaan satu pribadi mengandaikan pribadi lain?
Ketika seseorang mengatakan bahwa dia eksis, ia sedang menegaskan keberadaan orang lain yang menyebabkan dirinya bermakna. Seorang dokter akan lebih dikenal karena kesaksian pasien; seorang profesor menjadi lebih profesional karena para mahasiswa; seorang penulis tak berkembang tanpa para pembaca; sebagus-bagusnya sebuah foto selfie, percuma tanpa ada yang memberi like dan comment.
Persona menjadi utuh melalui komunikasi yang terjalin dengan sesama. Keberadaan satu pribadi mengandaikan orang lain dan sekaligus memungkinkan orang lain menjadi dirinya. Dengan kata lain, ciri relasional itu melekat pada setiap pribadi.
Manusia bukan makhluk cukup diri. Bukan sekedar self, manusia adalah person. Membangun relasi dengan sesama merupakan realisasi dari kodratnya sebagai ciptaan. Melalui realasi itulah pribadi akan berproses terus-menerus menjadi subjek yang semakin utuh. Dari kodratnya, manusia membutuhkan sesama.
Menjadi diri sendiri tidak identik dengan anti-sosial; bukan pula berarti menegasi orang lain. Kepenuhan diri kita dimungkinkan juga oleh pihak lain. Sebagai persona, pertanyaan kepada diri bukan hanya bagaimana saya dapat mengekspresikan diri, tetapi dari mana saya memperoleh martabatku sebagai pribadi, dan pada siapa eksistensi diriku dapat diterima secara utuh.
Dan inilah hal kedua yang menarik dari definisi Rikard: Pahamnya tentang persona tidak hanya menekankan pentingnya relasi antara pribadi, tetapi juga dimensi ‘ketiga’ yang mendasari relasi itu. Pada setiap pribadi tersembunyi rahasia yang mendasari kodratnya sebagai pribadi.
Read,comment, and share…