Istilah “kritik” secara lumrah digunakan dalam hidup shari-hari. Secara sederhana (negatif), kritik muncul sebagai bentuk penolakan terhadap suatu cara pandang atau sikap yang sudah ada, namun sekarang dipandang salah, usang, keliru, tidak tepat. Si A mengkritik si B karena A tak setuju dengan cara berpikir atau tindakan si B. Mengkritik dan dikritik terjadi karena memang tak ada manusia yang sempurna. Yang terbatas harusnya saling melengkapi. Karangan bebas saya ini pun terbatas dan terbuka bagi kritikan.
Dalam dunia filsafaf, prinsip dasar sebuah kritik dirangkum dalam tiga kata: tesis, anti-tesis, sintesis. Tesis berarti suatu argumen yang diajukan. Anti-tesis berarti lawan persis dari argumen pertama itu. Akhirnya sintesis, yaitu kesimpulan yang ditarik dari ‘adu argumen’ itu, sehingga ada sebuah kebaruan yang lahir. Tujuan dari sebuah kritik ialah sintesis. Sintesis tentu bukan kebenaran mutlak. Namun jelas bahwa jika hanya ada tesis dan anti-tesis saja, belum ada kebaruan yang lahir dari sebuah kritik. Dalam hal ini kritik lebih luas dari debat. Orang yang suka berdebat, belum tentu mampu berpikir kritis. Kata sifat ‘kritis’ menunjuk kejernihan berpikir. Ciri orang berwawasan luas ialah mampu merangkai argumen, mampu menyampaikan kritik, tetapi juga mampu memahami di mana letak kelemahan atau keselahannya sendiri. Sederhananya: orang yang berpikir kritis terbuka bagi kritik.
Jika saya memosisikan diri sebagai pihak yang mengajukan anti-tesis (pengkritik), pengandaian paling mendasar ialah bahwa saya mengerti baik keseluruhan tesis sebelumnya dan saya mencermati baik sisi yang kuat maupun yang lemah pada tesis itu. Untuk mengkritik sebuah teori, saya perlu mengerti logika berpikir dari teori itu. Misalnya: alasan, konteks, dan tujuan teori atau pemikiran itu. Dalam hal ini kritik tak identik dengan mencela, mencibir, atau sekedar melawan dengan modal asumsi tertentu. Kritik yang otentik harus bersih dari prasangka ataupun ideologi tertentu.
Dalam konteks tersebut kritik adalah sebuah sikap ilmiah: cetusan pemikiran yang jernih dan akal budi yang cerah, bukan letupan emosi sementara yang dangkal, apalagi dengan kepentingan tertentu. Sebagai contoh: kalau orang mau mengkritik sebuah tulisan dalam buku, diandaikan bahwa ia telah membaca buku itu secara keseluruhan, mengertinya dengan baik, dan karena itu mampu menunjuk di mana letak cacat pandangan tersebut. Saya tak pantas mengkritik sesuatu hanya karena saya mendengar orang berbicara tentangnya.
Para cendekiawan di Abad Pertengahan, misalnya di universitas Paris, secara rutin, mengadakan kegiatan ilmiah yang disebut dispute, yaitu debat ilmiah antara mahasiswa tentang suatu tema teologi atau filsafat antara kelompok ‘setuju’ dan ‘tidak setuju’. Hadir pula dalam dispute seorang profesor yang dianggap paling kompeten dalam bidang tersebut. Profesor ini bertugas memberi conclusio (kesimpulan) terhadap argumentasi tesis dan anti-tesis, sehingga pada gilirannya seluruh rekaman dispute itu (yang biasanya ditulis oleh seorang mahasiswa) dapat diterima sebagai sebuah karya ilmiah. Apakah conclusio itu akan diterima semua pihak, itu suatu soal lain, tetapi yang jelas ciri ilmiah dan akademik dijunjung tinggi: Kritik disampaikan secara jernih, dilengkapi data-data, dikuatkan dengan teori berbobot, disampaikan dengan gamblang. Esensi kritik adalah argumentasi baru, bukan simbol atau kiasan. Dalam hal ini kritik argumentatif berbeda dengan dunia seni yang penuh simbol.
Paham tentang kritik terus berkembang seiring dengan perhatian pada kebebasan berpikir sebagai ciri modernisme, berkembangnya sistem demokrasi, dan semakin luasnya ruang kebebasan berekspresi. Hak-hak untuk berpendapat juga dilindungi secara hukum. Dan kemajuan teknologi informasi sungguh menjadi ruang begitu luas untuk menyampaikan cara pandang. Namun pada dasarnya corak ilmiah sebuah kritik tak banyak berubah, apalagi kalau kritik itu datang dari lingkungan akademik, misalnya universitas. Sebuah kritik disampaikan secara ilmiah ketika pihak yang mengkritik sungguh mengerti sebuah cara berpikir yang dianggap lama (bukan mencurigai), lalu mengajukan argumen yang menawarkan kebaruan (disertai data dan teori ilmiah), dan berani berdiskusi untuk menguji argumen. Secara tertentu, cara-cara elegan menjadi faktor penting dalam menyampaikan kritik.
Narasi spontan dan pribadi ini sampai pada kesadaran berikut: Kritik adalah bagian dari dinamika sosial-politik. Namun sikap antipati terhadap seseorang atau satu pihak adalah penghalang bagi kritik ilmiah. Jika pihak pemilik ‘tesis’ dan pihak ‘anti-tesis’ datang dengan rasa curiga, dengan apriori tertentu, atau dengan membawa ideologi tertentu di kepala, sebenarnya kedua pihak hanya bersuara, mereka tak sedang berbicara. Di media sosial, kita sering menemukan pengkritik yang tidak kritis. Di sana, kata ‘mendengarkan’ menjadi teralu sulit untuk dimaknai, dan kata ‘dialog’ menjadi terlalu mahal untuk dihargai.
Gracias Padre, wawasan saya bertambah. Tanya ya Padre, Apakah conclusio itu bisa berpihak atau selalu berdiri sendiri ?
Kalau dalam prinsip ilmiah yang ketat, sebuah concolusio harus berdiri sendiri (independen), tak memihak, karena ilmu selalu terbuka bagi kritik. Dalam hal ini ilmu pengetahuan berbeda dengan iman. Iman berbicara tentang Tuhan sebagai Kebenaran, sedangkan ilmu pengetahuan selalu terbuka.
Gracias Padre, JBU
Saya menduga BEM UI, kurang paham dan tidsk bisa membedakan kritik dng penghakiman, justifikasi tanpa argumen dan dassar yg kuat. Jadi nggal perlu ditanggapi
Terima kasih banyak pater. Semakin tajam dengan pemahaman ttg bahan ini pater. Luar biasa pater.
Terima kasih, akhirnya saya lebih mengeri