Peran kehendak bebas manusia di hadapan Allah dalam pandangan Duns Scotus, dapat dimengerti berdasarkan gagasannya tentang eksistensi Allah sebagai Pencipta yang sungguh bebas dan martabat manusia sebagai persona (pribadi).
Keluhuran martabat manusia dimaknai oleh Scotus dalam kerangka pikir kristologis, yaitu bahwa Yesus Kristus itu satu pribadi dengan dua kodrat: Ia adalah sungguh Allah sungguh manusia. Pewahyuan Yesus Kristus sebagai manusia yang ditinggikan, homo assumptus, adalah kunci hermeneutik untuk mengerti keberadaan dan tujuan manusia.
Seorang Yesus dari Nazaret itu adalah manusia utuh sebagaimana dikehandaki Allah. Dengan peristiwa Logos ilahi menjadi manusia (pada Yesus), martabat manusia ditinggikan ke tingkat yang paling luhur sebagai ciptaan, bahkan lebih luhur lagi oleh karena daya rahmat ilahi.
Scotus memahami manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa dan tubuh. Kedua dimensi itu merupakan satu-kesatuan. Forma corporeitatis adalah ungkapan jiwa manusia. Jiwa bersifat imortal (dapat ada tanpa tubuh).
Namun tubuh bukan sekedar tambahan penting pada jiwa, melainkan dimensi konstitutifnya. Tubuh adalah tempat yang pantas bagi jiwa. Kesatuan kedua dimensi ini membentuk manusia sebagai ens per se, individuum. Setiap individuum, sebagai yang unik, merupakan gambaran dari misteri Sabda-menjadi daging.
Scotus menggunakan istilah bahasa Latin haecceitas (bahasa Inggris: thisness, yang kira-kira dapat diterjemahkan menjadi ke-ini-an) untuk menjelaskan partikularitas setiap individu di hadapan Tuhan. Haecceitas mendeterminasi manusia (ini) secara eksklusif, membendakannya dari manusia lain. Haecceitas mencirikan manusia sebagaimana adanya dia, hanya dia saja; itulah ciri otentiknya. Ia tidak dapat dibandingkan dengan orang lain, baik substansi material maupun spiritualnya. Setiap manusia adalah wujud partikular pada dirinya dan tak tergantikan; ia merupakan suatu ke-ini-an(Freyer, Homo Viator, 106).
Scotus mendefinisikan kata itu sebagai “suatu bentuk spesies yang terdiri dari potensi dan aktus; setiap orang adalah suatu ‘ini’ (haec) berdasarkan bentuk individual” (Ingham, The Harmony of Goodness, 13). Prinsip haecceitas mendasari prinsip individuasi: Segala sesuatu dijadikan oleh sang Khalik secara intrinsik dan unik. Kriteria keluhuran martabat manusia ialah adanya dia di hadapan Allah. Setiap manusia dikasihi Allah seturut kriteria Allah.
Setiap persona adalah sesuatu partikular di hadapan Tuhan. Dalam setiap diri terdapat unsur misteri yang menjadikannya definitif dan tak terbandingkan (incommunicabilis existentia) dengan pribadi lain. Untuk menekankan partikularitas persona ini Scotus berbicara tentang “kesendirian akhir” (ultimate solitude) manusia. Penegasan identitas manusia sebagai persona mengandaikan penyangkalan akan dependensi terhadap pihak lain. Ad personalitatem requiritur ultima solitudo (Ord. III., d. 1, q. 1, n. 17; Todisco, Giovanni Duns Scoto, 60).
Menarik bahwa prinsip menegasi dependensi (neagatio dependentiae) yang terkesan negatif ini dimaknai Scotus secara positif. “Sebuah negasi tidak dapat terjadi bagi dirinya, tetapi mengandaikan sebuah afirmasi yang mengekspresikan corak dari persona. Persona telah terbentuk oleh sebuah afirmasi, sebelum ada negasi (Todisco, Giovanni Duns Scoto, 61).
Ultima solitudo merupakan perjumpaan mendalam keberadaan manusia dengan dan dalam dirinya sendiri; sebuah perjumpaan yang membuka pintu dependensi. Dalam perjumpaan inilah ia mengalami misteri dari keberadaannya sebagai manusia. Pada titik terjauh horizon dirinya manusia menemukan bahwa kesendirian merupakan momen keterbukaan; ia sudah sampai pada titik batas dirinya. Pada titik ini, persona tidak lagi berhenti pada independensi total, melainkan, secara positif, sebagai auto-transendensi diri. Pada ultima solitudo manusia menemukan ketergantungan yang radikal pada Allah, dan justru dengan melalui tahap itulah keberadaanya sebagai persona terealisasi secara penuh (Freyer, Homo Viator, 106).
Keluhuran manusia terletak pada hakikatnya sebagai makhluk yang menerima pewahyuan diri Allah dalam dirinya, dan dengan demikian terarah kepada relasi yang lebih intens dengan Penciptanya. Sebagai ciptaan, kebebasan manusia bersifat kontingen (terbatas).
Kontingensi itu tampak misalnya dalam kenyataan bahwa ia dapat menolak sesuatu yang ditawarkan dari luar dirinya dan melakukan tindakan lain sesuai keputusan dari dalam dirinya. Dan inilah saat realisasi kebebasannya. Kebebasan dimaknai bukan sebagai independensi total saja, tetapi juga kesadaran akan keterbatasannya, dan karena itu mau terbuka untuk berkomunikasi. Bagi Scotus kebebasan manusia menjadi lebih utuh dalam keterarahan kepada Allah.
Teori haecceitasmemberi tekanan bahwa setiap individu adalah partikular; keberadaan suatu inividu lebih sebagai ini dan bukan itu; dia sungguh-sungguh partikular. Implikasi radikal dari ke-ini-an suatu pribadi ialah bahwa ia tidak terdefinisikan secara tuntas; merupakan an ultimate reality of being sehingga hanya dapat dideskripsikan dengan bahasa, namun tidak dapat dinegasi atau diabaikan. Haecceitas menjadikan persona sebagaimana adanya dia, demikian otentik sehingga tidak dapat diserap dalam generalisasi.
Dengan dokrtinhaecceitas, Scotus menentang prinsip umum filsafat alam yang mengatakan bahwa terdapat materi pertama yang memungkinkan penciptaan. Scotus memberi penekanan bahwa realitas kontingen sebuah ciptaan berkaitan erat dengan pilihan bebas kehendak ilahi sendiri. Tidak ada sesuatu di luar diri Allah yang menjadi penyebab bagi-Nya.
Allah menghendaki apa yang dikehendakinya (Deus vult quia vult). Segala sesuatu dalam diri Allah identik dengan-Nya. Pengetahuan Ilahi tidak bergantung pada unsur lain di luar dirinya, melainkan melekat pada esensi dan kehendak-Nya. Allah itu kekal, tidak terhingga (infinitum). Ia adalah De Primo Principio (Cross, Duns Scotus, 47-48). Haecceitas merupakan paham sentral untuk memandang realitas dalam visi yang menjunjung kebebasan sebagai visi dasar dalam membangun relasi dengan Allah, sesama dan alam semesta.
Tks Romo. Teruslah semangat menulis dan membaginya. Berkat Tuhan memberkati. ?
Terima kasih telah membaca artikel ini, semoga berguna, pax te cum…
Terima kasih…pater…tulisannya.