Filsafat moral Duns Scotus memberi tekanan pada pada tema kehendak bebas (free will). Baginya kehendak memiliki keluasan yang radikal, menentukan pilihan secara intrinsik. Dengan kehendak bebasnya manusia dapat memiliki horizon pilihan yang luas.
Pandangan Doctor Subtilis tentang perbedaan antara kehendak dan intelek menarik untuk dipahami. Kehendak dimaknainya sebagai sebuah penyebab bebas (a free cause); yang kedua sebagai penyebab yang niscaya (a necessary cause). Sering kali intelek disebut sebagai natural power, sedangkan kehendak adalah free power.
Bagi Scotus kehendak memiliki kemampuan determinasi dan kontrol diri secara rasional (sui generis cause), dan karena itu lebih tinggi dari intelek: “the nature of the will as a free cause superior to the intellect and capable of rational self-determination….. “The will is a rational, and therefore free, desire. Since the will is the only faculty which collaborates with reason, it alone, not the intellect, is the faculty proper to human persons.” (Ingham, The Harmony of Goodness, 39,41). Bagi Scotus peran kehendak bersifat “voluntaristik:” kehendak merupakan kebebasan radikal, sebab ia merupakan penentu pada dirinya (Cross, Duns Scotus, 89).
Scotus menunjuk tiga hal yang membedakan kehendak dari intelek: Pertama, kehendak merupakan potensi yang tidak dibatasi (indetermined). Kedua, pada kehendak terkandung potensi untuk mengharmoniskan dua perisnip yang bertentangan. Kehendak merupakan daya bebas yang memiliki daya gerak internal dalam dirinya (self mover) dan penyebab yang efisien dari dirinya untuk setiap tindakannya. Ketiga, kehendak dapat menegasi sebuah tindakan kalaupun segala kemungkinan tersedia untuk terjadinya tindakan tersebut.
Seorang perokok berada di ruang bebas merokok, dan terdapat perokok lain yang sedang merokok. Ada alasan logis baginya untuk dapat merokok. Meski demikian ia dapat membuat keputusan lain oleh karena daya kontrol kehendaknya. Ia dapat memutuskan dengan bebas untuk tidak merokok. Misalnya dengan pertimbangan kesehatan dan alasan ekonomi.
Atau dengan katageri lain, seorang pendosa berat, oleh karena kehendak bebasnya, memiliki kesempatan tidak terbatas untuk dapat bertobat; dan sebaliknya seorang saleh dapat jatuh dalam dosa karena memilih untuk berpaling dari rahmat Allah. Rasionalitas kehendaklah yang memungkinkan adanya pilihan-pilihan moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Indikasi kebaikan moral dapat dikenal dari pilihan-pilihan tersebut.
Tujuan dari pengetahuan adalah memahami/ mengerti. Memahami merupakan pencapaian akhir dari kemampuan kognitif manusia, yaitu ketika subjek menangkap sebuah realitas dengan jelas. Sadangkan tujuan dari mencintai ialah communio. Dambaan tertinggi rasionalitas kehendak ialah bahwa saya mencintai yang dicintai oleh karena nilai intrinsiknya, bukan karena keuntungan yang akan saya peroleh darinya (prinsip pamrih). Kesatuan antara kedua dimensi ini dalam diri manusia akan mengarah kepada satu situasi keharmonisan dalam diri manusia, meskipun masing-masing bentuk pengungkapannya berbeda.
Tindakan mengetahui dapat dianalogikan dengan memasukan air laut ke dalam sebuah gelas (ingat ilustrasi Santo Augustinus mengenai seorang anak yang mau memasukan air laut dalam libang kecil, untuk menjelaskan keterbatasan pikiran manusia dalam memahami misteri Allah Trinitas: when the glass is full, the glass is full!). Dalam tindak mengetahui, seseorang berusaha menampung pengetahuan ke dalam nalarnya. Ketika kemampuan intelek seseorang tidak dapat menampung sebuah realitas pengetahuan secara utuh, kelebihan atau keluasan realitas pengetahuan itu masih berada di luar jangkauan pemahamannya.
Sebaliknya dalam tindakan mencintai, kesatuan yang mau dicapai bersifat ecstetic, keluar dari diri si pencinta. Tujuan terjauh dari mencintai adalah kesatuan. Ketika saya mencintai seseorang dalam arti sesungguhnya, saya tidak mengobjeknnya. Cinta yang sempurna bukanlah memiliki semata-mata (posesif), melainkan transendensi diri dan relasi yang kreatif; yang mencintai keluar dari dirinya untuk bersatu dengan yang dicintainya. Dalam kesatuan itu terjadi relasi kasih yang timbal balik. Semakin dinamis relasinya, cinta itu semakin mendalam. Itulah rasionalitas dan kebebasan sesungguhnya.
Rasionalitas dalam pemahaman Scotus, bukan sekedar kemampuan analisis memecahkan sebuah persoalan. Baginya rasionalitas mencakup kesadaran akan kepantasan intrinsik, nilai dari sebuah relasi, dan dimensi estetis dari sebuah realitas. Rasionalitas (kasih) lebih sebagai proses sintesis dari pada analisis; lebih berdimensi integral dari pada fragmentaris.
Bagi Scotus, ada tiga bentuk tindakan dengan kehendak bebas: Pertama, kebebasan terhadap pilihan-pilihan tindakan yang bertentangan. Orang menentukan: atau bertindak atau mengabaikan sesuatu (atau velle atau non velle). Misalnya, mau berbicara atau diam saja; terus menulis atau berhenti. Kedua, kebebasan terhadap objek yang beragam (velle atau nolle). Misalnya, memilih buah apel untuk dimakan dan mengabaikan makanan lain. Ketiga, kebebasan terhadap efek yang beragam dari sebuah pilihan tindakan. Misalnya, memilih antara mengkonsumsi makanan bergizi sehingga menyehatkan badan atau mengonsumsi apa saja sesuai selerah (Shannon, The Ethical Theory of John Duns Scotus, 30).
Tindakan moral manusia tidak meluluh dipandang dengan kerangka hitam-putih: benar dan salah, baik dan buruk, masuk surga atau neraka. Dengan kehendaknya manusia – dan ini yang membedakannya dari hewan – dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang melampaui dirinya. Kehendak bebas manusia merupakan sebuah entitas moral, yang perwujudannya tidak keluar dari sebuah pertimbangan mendalam (deliberation), pilihan (choice), dan akhirnya terlihat dalam tindakan konkret seseorang. Tindakan seseorang menjadi indikasi, apakah ia, dengan kehendak bebasnya bertindak dalam kontrol rasionalitasnya atau memilih untuk bertindak sesuai nafsunya, dan kerena itu terbuka kemungkinan untuk berbuat dosa.
Pada suatu sore saya harus memutuskan pilihan antara: bekerja di taman, menulis skripsi, atau membaca buku lain. Jelas bahwa memutuskan untuk mengerjakan salah satu akan lebih baik dari pada tidak melakukan apapun. Dalam hal ini memilih salah satu adalah lebih baik dari pada tidak memilih sama sekali. Tindakan menghendaki yang pertama ialah memilih untuk: atau bertindak atau tidak bertindak sama sekali. Keputusan untuk bertindak merupakan pintu masuk bagi saya untuk menentukan pilihan yang lebih serius (spesifik). Saya dapat menentukan pilihan menurut naluri alamiku: manakah pekerjaan yang saya sukai, mana yang lebih banyak menghabiskan waktu dan menguras tenaga, atau yang akan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Saya akan menentukannya menurut kebebasan pribadiku, dan patokan pertimbangan yang saya gunakan adalah diriku. Kesadaranku dapat dikatakan bersifat self-centered, meskipun tanpa tendensi narsistik atau egoistis.
Menurut Scotus, tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan rasional akan terjadi kalau saya, dengan kehendak bebas membuat pertimbangan mengarahkan perhatian kepada sesuatu di luar diriku. Dalam contoh pilihan tersebut, kemungkinan pilihan ialah ini, saya dapat memperindah taman, kemungkinan bahwa suatu saat nanti akan ada orang yang membaca dan memperoleh pengetahuan dari bab skripsiku, atau dampak pengetahuan intelektual dari membaca buku, entah untuk diriku atau orang lain. Kesadaran tersebut menggerakkan saya untuk melampaui diriku, sehingga pertimbanganku tidak lagi dibatasi faktor kepenatan, tendensi kemalasan atau obsesi terhadap pekerjaan. Dengan kesadaran tersebut, saya mempertimbangkan kebaikan yang lebih tinggi terhadap diriku maupun orang lain.