Clara claris praeclara meritis. Clare outsandingly clear with clear merits. Frase tersebut dapat diterjemahkan begini: Klara sungguh cemerlang oleh karena pahala-pahalanya yang gemilang. Demikian kata-kata yang mengawali pernyataan resmi (Bulla) Kanonisasi Santa Klara, pada 1255. Clara dalam bahasa Latin atau Chiara dalam bahasa Italia berarti ‘terang’, ‘cahaya’, ‘sinar’.
Klara adalah perempuan pertama pengikut St. Fransiskus Assisi (1181-1226). Dialah pendiri Ordo Santa Clara (OSC), Ordo Kedua dalam Keluarga Fransiskan. Para pengikutnya hidup kontemplatif, sering disebut ‘Klaris miskin’ (Poor Clare). Di Indonesia, sejak 1948 hadir OSC di Pacet- Jawa Barat dan kemudian di Yogyakarta. Sedangkan para Klaris-Kapusines (OSC-Cap), yang lebih banyak jumlahnya, hadir di Sikeben, Singkawan, Gunung Sitoli, Kefa -NTT.
Klara sangat mengagumi Fransiskus, anak tuan Pietro Bernadone, pedagang kain di Assisi, yang menjual kekayaan ayahnya untuk memberi sedekah kepada orang miskin, yang kemudian mendirikan Ordo Saudara-saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum) atau disingkat OFM. Kelurga Clara adalah keluarga terhormat di Assisi. Kelurga itu adalah golongan maiores (aristokrat) di Assisi – sebaliknya istilah minores menunjuk kelas menengah ke bawah. Ayah Klara, tuan Favarone dihormati warga Assisi. Rumah keluarga Favarone berada dekat katedral San Rufino. Hal ini menggambarkan bahwa keluarga Favarone adalah bagian dari pertemanan antara kuasa religius dan politik waktu itu. Mereka adalah klan di sentral kota.
Kemewahan dan kuasa keluarga itu rupanya bukan sukacita sejati bagi sulung dari tiga bersaudara ini. Bona, teman masa kecil Klara bersaksi bahwa Klara lebih suka berdiam di rumah, cenderung bersembunyi dari hidup publik, dan sering membagikan makanan untuk orang-orang miskin. Dalam diri Klara kecil telah tumbuh intuisi religius. ‘Kesaksian kanonisasi Klara’ menyatakan bahwa Klara pernah bertemu Fransiskus ketika ia berkhotbah di Katedral San Rufino atau di alun-alunnya, antara 1208 dan 1210; dan bahwa Fransiskus sendiri telah mendengar tentang Klara dan kesalehannya.
Pada kesaksian hidup Fransiskus Klara percaya bahwa kerinduan batinnya terjawab. Malam menjelang Minggu Palma antara 27-28 Maret 1212 adalah momentum niat bulat Klara, tetapi drama bagi keluarga Favarone. Klara, yang pada waktu itu berusia 18 tahun, lari dari rumah keluarga menuju Gereja Santa Maria Ratu Para Malaikat (Porciuncula), sekitar enam km dari rumahnya di mana ada Fransiskus dan para saudaranya. Setibanya di sana, ia diterima Fransiskus dan para sudaranya. Fransiskus memotong rambut Klara, tanda awal pertobatan.
Klara disambut para saudara sebagai ‘bentara baru kemiskinan’, new army of the poor (nova militia pauperum). Hari berikutnya Fransiskus mengirim Klara ke biara San Paolo, sebuah biara para rubiah Benediktin, sekitar empat km dari Porciuncula. Keluarga Klara (Clare’s relatives) datang ke sana hendak membawanya dengan paksa kembali ke Assisi. Apa yang dilakukan Klara? Sambil berlindung di altar gereja itu, ia membuka kain tutup kepala, memperlihatkan rambutnya yang telah dipotong pendek. Hati Klara telah terpikat oleh daya tarik hidup miskin dan praktek penitensi. Ia memegang erat altar Tuhan, simbol berlindung pada Gereja. Niatnya bulat: ‘meninggalkan dunia’. Keluarganya pun pulang dengan tangan hampa.
Klara tinggal selama beberapa hari di biara San Paolo itu. Namun, menjadi rubiah Benediktin bukan pilihannya. Ia mendambakan sebuah hidup miskin yang lebih radikal. Fransiskus dan saudara Philipus membawa Klara ke San Angelo di Panzo, sekitar tiga km timur Assisi. Di sana terjadi sesuatu yang menarik. Catherine (yang kemudian bernama Agnes), saudari kandung Klara bergabung dengannya. Paman mereka, Monaldo, datang hendak mengambil Catherine dengan paksa. Klara berdoa mohon perkindungan Tuhan. Keajaiban terjadi: Tubuh Catherine menjadi sangat berat sehingga tidak dapat diangkat. Monaldo kembali tanpa Klara dan Catherine.
Kedua saudari ini lalu dibawa Fransiskus ke gereja kecil San Damiano. Beberapa wanita lain pun bergabung dengan mereka. San Damianio adalah cikal bakal cara hidup (forma vivendi) Ordo Santa Klara, wanita-wanita yang sering disebut, ‘tanaman kecil saudara Fransiskus’ (pianticella frate Francesco). Ada kesaksian yang mengatakan bahwa ibu dari Klara, Hortulana, akhirnya bergabung pula dengan Klara di San Damiano. Klara meninggal pada 1253 dan dikanonisasi sebagai orang kudus pada 1255 oleh Paus Alexander IV.
Berdasarkan warisan cara hidup Fransiskus Assisi, Klara menggubah sebuah Anggaran Dasar dan menulis Wasiat bagi ‘saudari-saudari miskin’. Klara bahkan meminta hak khusus dari Paus Innocentius III, agar ia dan para saudarinya mendapat hak istimewa hidup tanpa harta milik (privilegium paupertatis). Semangat kemiskinan itu terungkap misalnya dalam surat-suratnya kepada Santa Agnes dari Praha (1205-1282), yaitu Catherine adiknya, dari korespondensi mereka antara 1234 samapi 1253.
Santa Klara merenungkan bahwa wujud perendahan diri Allah yang paling kuat adalah misteri salib. Spirit ini menekankan paradigma kasih di balik misteri salib yang, dalam penghayatan tradisional cenderung ditempatkan dalam perspektif silih atas dosa (Anselmus Canterbury). Dalam permenungan Klara dan Fransiskus, logika salib adalah logika kasih, dan logika kasih adalah logika relasi. Pada salib nyatalah kemiskinan Allah yang total, dan di balik kemiskinan itu terungkap komunikasi kasih-Nya yang paling luhur. Kasih adalah relasi, dan relasi membentuk persekutuan. Bagi Klara, kemiskinan salib merupakan bahasa kasih Allah. Menjadi miskin berarti memilih bahasa kasih. Dalam kontemplasi kemiskinan Allah ini ia menulis kepada Agnes:
“O kemiskinan yang bahagia, yang memberikan kekayaan kekal kepada mereka yang mencintai dan melakukannya. O kemiskinan yang suci, kepada mereka yang memiliki dan menginginkannya, dijanjikan oleh Allah, Kerajaan Surga dan pasti diberikan kemuliaan kekal dan hidup bahagia. O kemiskinan yang berbakti, yang mau diutamakan dan dipeluk oleh Tuhan Yesus Kristus, yang dahulu dan sekarang memerintah langit dan bumi, yang pernah berkata maka terjadilah semua” (1SurAg. 15-17).
Salib Kristus menampakkan wajah Tuhan yang tidak menuntut apapun dari kita, kecuali memberi diri seutuhnya. Maka menjadi miskin adalah memilih cara kasih yang otentik. Klara memaknai hidup dengan logika salib: Sang Cinta rela menjadi manusia, merentangkan tangan-Nya di kayu salib, merangkul manusia dalam kasih. Inilah paradoks kasih: Dalam kematian terletak kunci kehidupan. Pada salib manusia menemukan bahwa ia makhluk rapuh dan berdosa, namun telah dimaafkan dan diterima oleh Allah; ia makhluk yang rentan dan fana namun sekaligus dinamis karena dibimbing oleh rahmat ilahi menuju kesatuan dengan Pencipta; manusia cemas dan gelisah akan maut badani, tetapi boleh berharap akan hidup kekal. Fransiskus sendiri telah berhasil memaknai maut sebagai ‘saudari’.
Paul Sabatier, seorang ahli kefransiskanan, pengagum Fransiskus Assisi pernah menulis bahwa Gita Sang Surya, ciptaan Fransiskus, gita yang juga telah menjiwai Ensklik Laudato Sí Paus Fransiskus itu, rupanya masih kurang satu baid. Baid itu dilengkapi Sabatier demikian:
“Terpujilah Engkau Tuhanku,
Karena saudari kami, Klara.
Engkau membuat dia menjadi berdiam diri,
menjadi asyik dan bijaksana.
Melalui dia bersinarlah cahaya-Mu
di dalam hati kami”.
Bro Andre, koreksi sedikit ya. Yg hendak memaksa Klara pulang ketika ia berada di San Paolo adalah pamannya (monaldo) bukan ayahnya. Ayah Klara kemungkinan sudah meninggal ketika Klara masih kecil. Pace e bene
Terima kasih koreksinya, Cathrine M Mooney (2016, 20)memang hanya mengatakan: "..Clare's relatives wanted to wrest her from the curuch of Sant Paolo and bring her back to Assisi". Ayahnya meninggal tahun berapa ya kira-kira?