Dalam artikel sebelumnya tentang Duns Scotus, saya telah mengulas pandangan Doctor Subtilis ini bahwa setiap pribadi manusia itu unik dan partikular. Scotus menggunakan istilah bahasa Latin haecceitas (bahasa Inggris: thisness, Indonesia: ke-ini-an) untuk menjelaskan keunikan setiap individu di hadapan Tuhan.
Keunikan yang dimaksudkan di sini ialah keistimewaannya di hadapan Tuhan karena ia telah dijadikan sebagai citra Allah. Kriteria utama keluhuran pribadi manusia ialah keberadaannya di hadapan Tuhan. Itulah ciri otentiknya, ciri yang tidak tergantikan. Setiap manusia adalah wujud partikular di hadapan Pencipta. Manusia dicintai Allah sebagaimana adanya dia.
BACA: Scotus tentang Manusia sebagai Persona yang Bebas
Kapan manusia partikular itu tiba pada kesadaran paripurna akan relasinya dengan Allah? Untuk menjawab pertanyaan ini, Scotus berbicara tentang titik “kesendirian paripurna” (ultimate solitude) dalam pengalaman manusia. Sebagai makhluk berkehendak bebas, manusia terus mau mewujudkan kebebasannya.
Dalam perwujudan diri itu ia menegaskan keunikannya di hadapan sesama. Ia menjadi diri sendiri. Penegasan identitas manusia sebagai persona itu, secara negatif berarti menyangkal ketergantungannya pada pihak lain (negatio dependentiae). Ketika kita menampilkan keunikan diri, tampaknya kita sedang menegasi orang lain, sebab kita mau menjadi diri sendiri, tidak ikut ramai.
Meski demikian, menarik bahwa bagi Scotus, momentum negatio dependentiae ini justru merupakan sebuah momentum keterbukaan. Di sini kita menemukan sebuah gagasan subtle Scotus: Baginya, setiap bentuk negasi adalah ekspresi pengakuan akan peran orang lain dalam hidup kita.
Bagi Scotus, Omne nolle praesupponit aliquod velle: “Sebuah negasi tidak dapat terjadi dari dirinya, tetapi mengandaikan sebuah afirmasi yang mengekspresikan corak dari persona. Persona terbentuk pertama-tama sebagai sebuah afirmasi, baru kemudian negasi”. Artinya, keberadaan setiap pribadi manusia pada dasarnya sudah mengandaikan bahwa ia telah dikasihi Allah secara bebas. Manusia sudah selalu dikasihi maka ia ada sebagai persona. Bukan manusia, tetapi Allah yang terlebihdahulu mengasihi. Dan kasih Allah itu menyapa setiap makhluk secara istimewa.
Ultima solitudo merupakan pengalaman mendalam keberadaan manusia dengan dan dalam dirinya sendiri; sebuah perjumpaan yang membuka selubung ketertutupan dirinya. Dalam pengalaman inilah ia mengalami misteri dari keberadaannya sebagai manusia. Pada titik terjauh horizon dirinya ini, manusia menemukan bahwa solitudine merupakan momen keterbukaan. Pada momentum ini manusia tiba pada titik batas dirinya. Di saat itu persona tidak lagi berhenti pada independensi total, menyangkal Allah, melainkan, secara positif, berarti transendensi diri, keterbukaan pada Yang Adikodrati. Pada ultima solitudo manusia menemukan keterbatasan atau dependensinya yang radikal pada Allah. Dalam relasi dengan Allah, keberadaanya sebagai persona terealisasi secara utuh.
Dalam konteks antrpologis ini, kiranya relevan membicarakan tema kehendak bebas menurut Scotus. Beato dari Skotlandia ini mendefinisikan kehendak bebas sebagai appetitus rationalis (hasrat atau dambaan yang rasional).
Ia membedakan antara kehendak pasif dan aktif. Dimensi yang pertama bersifat natural (appetitus naturalis), terkait keterarahan manusia secara alami kepada objek tertentu; sedangkan yang kedua, bersifat aktif, dan merupakan kehendak bebas dalam arti sesungguhnya.
Distingsi antara kehendak aktif dan pasif itu coba dimengerti dalam contoh pilihan bebas seorang martir suci: Di satu pihak seorang martir secara alami merasa takut akan maut (dan secara logis ia seharusnya menghindari maut); di lain pihak ia mau memilih (menghendaki) untuk mati terdorong oleh kayakinan akan sukacita dan kebaikan yang lebih sempurna.
Dalam kehidupan sehari-hari, spirit kasih dan pengorbanan diri bagi sesama kiranya sulit terwujud jika hanya berdasarkan pertimbangkan logis. Banyak orang cerdas mencari ilmu pengetahuan hanya demi memuaskan rasa ingin tahu.
Scotus memberi perhatian terutama pada kebebasan aktif. Baginya tujuan dari kehendak bebas dalam arti sesungguhnya ialah keterarahan kepada kebaikan yang lebih besar. Dalam hal ini Scotus tidak mengabaikan kebebasan natural dan kemampuan intelek manusia.
Meski demikian ia berkeyakinan bahwa “sebagai appetitus rationalis, kehendak tidak selalu menuruti pengaruh intelek”. Kehendak memiliki kekuatan menentukan dirinya. Independensi kehendak bebas bersifat radikal. Dalam kehidupan sehari-hari, untuk mewujudkan sebuah cita-cita, kita tidak hanya membutuhkan kemampuan rasioanl. Kita mengutamakan kehendak yang kuat untuk mengadakan pembaruan diri, menilai masa lalu, dan mengupayakan terus-menerus sebuah masa depan yang lebih baik.
Kiranya menjadi jelas bahwa bagi Scotus kehendak bebas lah yang menggerakkan manusia pada Allah sebagai Kebaikan tak Terhingga (bonum infinitum). Di satu pihak, manusia adalah penentu bagi pilihan bebasnya.
Di lain pihak, kekuatan kehendak terwujud bukan hanya berupa kemampuan untuk membuat pilihan, tetapi juga kemampuan untuk melampaui pilihan-pilihan. Tentu saja keyakinan akan radikalitas pilihan bebas manusia tidak menegasi kenyataan keterbatasan pilihannya. Kebebasan manusia bersifat terbatas. Pada kondisi tertentu ia tidak bebas total. Allah sendirilah kebebasan sempurna. Kehendak Allah identik dengan kebaikan sempurna.
Untuk lebih memahami keterarahan kehendak bebas manusia akan kebaikan yang lebih luhur, Scotus membedakan antara voluntas commodi/voluntas naturae dan voluntas iustitiae (kehendak kegunaan/alami dan kehendak keadilan). Yang pertama berkaitan dengan dorongan alamiah dalam diri manusia untuk mencari keuntungan dan menghindari kerugian, misalnya tindakan melindungi tubuh yang sakit.
Pada tahap ini kehendak belum sungguh menjadi tuan atas dirinya; ia berperan sebagai perangkat pembedaan antara berguna atau tidak bergunanya sebuah tindakan, jadi belum sampai pada pembedaan antara yang baik dan buruk.
Bagi Scotus voluntas iustitae lah yang mencirikan transendensi diri manusia. Pada ciri yang kedua ini, kehendak tidak lagi dibatasi oleh hasrat alami manusia. Kehendak menjadi lebih bebas dalam bertindak, melampaui pilihan rasional.
Ketegori kehendak yang pertama merupakan ungkapan velle concupiscentiae (kehendak konkupisensi); sedangkan yang kedua sebagai ungkapan velle amicitiae/ amor amicitiae (kasih persahabatan). Pola pikir voluntas commodi telah menjerumuskan manusia dalam egoisme. Logika homo economicus memacuh manusia modern untuk menumpuk kekayaan dan mengkonsumsi kekayaan Ibu Bumi, tetapi lupa bagaimana harus merawatnya.
Keluhuran manusia terletak pada hakikatnya sebagai makhluk yang menerima pewahyuan diri Allah dalam dirinya, dan dengan demikian terarah kepada relasi yang semakin intens dengan Penciptanya. Sebagai ciptaan, kebebasan manusia terbatas. Keterbatasan manusia itu tampak dalam kenyataan bahwa ia dapatmenolak dengan bebas sesuatu yang ditawarkan dari luar dirinya dan melakukan tindakan lain sesuai keputusan dari dalam dirinya.
Bagi Scotus, kebebasan bukan melulu independensi individu, sebagaimana dimengerti oleh orang-orang medern yang amatir, melainkan juga kesadaran akan keterbatasan, dan karena itu mau terbuka bagi yang lain. Bagi Scotus kebebasan sesungguhnya ialah keterarahan kepada Allah. Allah adalah dasar dan tujuan bagi makna tindak bebas manusia. Kebebasan manusia berjalan dalam ruang lingkup kasih Allah. Dari pihak manusia, untuk menjadi semakin utuh sebagai persona, ia hendaknya mencintai Allah dengan bebas, tidak menutup diri (incurvatus per se).
Dalam horison Sekolah Fransiskan, Scotus merefleksikan bahwa manusia adalah makhluk yang dari kodratnya memiliki dambaan akan Allah (desiderium Dei). Itulah kodrat manusia sebagai citra Allah. Kasih Allah meliputi manusia; dan manusia dijadikan untuk semakin terarah kepada-Nya. Dengan Scotus kita dapat mendefinisikan Allah sebagai ‘sesuatu yang lebih besar dari itu tidak ada dalam dambaan manusia’.
Jika manusia hendak menjadi sempurna, ia perlu menyangkal diri, belajar bersikap rendah hati, agar semkin mudah dipengaruhi kehendak Allah. Semakin manusia menyangkal dirinya semakin jelas ia memancarkan kodrat dirinya sebagai citra Allah.
Thank buat tulisannya sangat berguna buat pencerahan diri ditunggu tulisan selanjutnya .
Tuhan Memberkati selalu.