Belum lama ini terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi tengah. Indonesia berduka. Kita semua mendoakan keselamatan bagi mereka yang telah dipanggil Tuhan. Bapak Presiden Joko Widodo sendiri turun tangan. Beliau datang menjumpai para korban, menggerakkan solidaritas dan memberi harapan bagi saudari-saudara korban bencana.
Beredar sebuah foto di media sosial, Pak Jokowi dipeluk seorang pria, yang kiranya korban bencana. Saya sendiri tertarik melihat foto ini. Tampak mata pria itu terutup, ekspresi wajahnya penuh pasrah. Pelukan pasrah kepada bapak Presiden itu menyiratkan pula sebuah harapan. Bahasa tubuh pria ini seakan-akan mengatakan bahwa ia sedang berjumpa dengan sang pemimpin yang peduli, yang hadir secara nyata bagi warganya pada saat mereka mengalami situasi batas dalam hidup.
Semua ‘peristiwa manusia’ terjadi pada suatu tempat yang disebut ‘bumi’ atau ‘dunia’. Kita terbiasa menyebut kosmos ini ‘bumi kita’. Seorang warga negara Indonesia misalnya, bangga memiliki Indonesia sebagai tanah air-nya, sebagaimana diungkapkan Ismail Marzuki dalam lagunya “Indonesia Tanah Air Beta”: Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…Di sana tempat lahir beta, dibuai, dibesarkan bunda”. Warga negara itu juga berharap agar bumi Indonesia akan menjadi tempat berlindung di hari tua, dan lebih ke depan lagi, menjadi tempat akhir menutup mata. Warga negara ini bangga akan bumi tempat ia hidup, namun sekaligus sadar bahwa bumi ini tidak akan dihuninya untuk selamanya, sebab akan tiba saat ia menutup mata, dan tanah air ini harus diwariskan kepada generasi baru.
Kita terbiasa dengan pengalaman hidup di bumi ini. Namun kenyataan itu juga memperlihatkan bahwa ‘bumi kita’ ini tidak memuaskan semua hasrat atau dambaan kita sebagai manusia. Bumi tidak menyediakan jawaban definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia. Harapan merupakan bagian dari keberadaan manusia. Seorang ateis-humanis sekalipun, jika ia konsisten membela kemanusiaan, ia sekurang-kurangnya berharap bahwa pembelaannya tidak sia-sia di hadapan kenyataan absurd seperti kematian karena bencana alam.
Pertanyaan tentang masa depan menjadi lebih kuat dalam situasi-situasi negatif manusia. Misalnya kematian orang yang dicintai, penderitaan orang-orang tidak bersalah, bencana alam yang kejam, masa tua dalam kesendirian, dan lain-lain. Dalam situasi negatif itu kita bertanya: masih adakah masa depan? Tetapi pertanyaan tentang masa depan juga muncul dalam situasi positif: hidup sehat, lulus kuliah, mendapat pekerjaan. Pertanyaannya: apakah kebahagiaan yang terjadi ini terjadi pula atau tetap bertahan di masa yang akan datang?
Dalam Eschatology and Hope, Anthony Kelly memaparkan beberapa corak pengharapan.
Pertama, harapan melampaui optimisme. Sikap optimis dikaitkan dengan rasa nyaman karena situasi masa depan berjalan baik. Orang yang merasa optimis percaya bahwa apa yang akan terjadi dapat diprediksi, sehingga hambatan dapat diantisipasi. Sikap optimis terungkap dalam perasaan nyaman karena sebuah sistem akan berjalan baik.
Harapan dalam arti yang sesungguhnya justru bertentangan dengan optimisme. Genuine hope is always ‘against hope’. Harapan berjalan pada saat optimisme tidak lagi menjamin; harapan sejati justru terwujud ketika sistem yang logis tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Harapan itu sungguh bermakna ketika segala prediksi logis manusia tidak berfungsi. Orang yang berharap sadar betul bahwa realitas hidup tidak dapat dikontrol secara total. Manusia dapat merancang jalan, namun Tuhan adalah penentunya: “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Ams 16: 9).
Kedua, harapan berjalan pada ruang lingkup makna dan nilai, bukan materi. Harapan ditempatkan dalam tataran makna yang sangat luas. Harapan merupakan semacam energi yang menggerakkan orang agar memaknai hidupnya berdasarkan sebuah kriteria baru (dan selalu baru). Objek terjauh harapan ialah kepenuhan makna hidup. Harapan yang radikal mendorong hasrat untuk berkomitmen pada nilai keadilan, perdamian dan keluhuran martabat manusia. Orang yang hidup dalam harapan tidak mereduksi hidup pada kepentingan material.
Ketiga, harapan merupakan sebuah kebajikan (teologis). Sebagai sebuah kebajikan, ia mengandaikan kemampuan bertindak secara baik dan benar. Dalam kebajikan itu orang menaruh hormat pada norma-norma moral, bukan sekedar legalisme hukum dan politik. Dalam pengharapan, orang bahkan berani berkorban untuk sebuah kebaikan yang lebih luhur. Melalui sikap mau berkorban, orang berpengharapan “memperluas harapan kepada yang lain”, mengupayakan inter-hope encounter agar satu harapan menopang harapan yang lain, bahkan ketika usahanya itu tiba pada ambang batas pengharapan, yaitu kematian. Denga kata lain, harapan memiliki dimensi sosial: it is capable of taking a stand with the hopeless.
Ciri keempat harapan ialah bahwa ia tidak identik dengan pasrah. Berharap bukan berarti lari dari dunia. Ketekunan dalam berharap justru harus ditunjukkan dengan menjalankan tanggung jawab dalam hidup. Tanggung jawab dapat diwujudkan dalam rasa solidaritas dan pengorbanan untuk memberi kekuatan dan hiburan bagi mereka yang putus asa.
Contoh konkret sikap solider telah ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo dan banyak orang yang dengan caranya sendiri membantu para korban bencana alam di Palu. Karena itu, dengan merefleksikan makna hidup dalam pengharapan, tulisan ini merupakan doa kecilku bagi para saudari-saudara korban bencana di Palu, dan hendak saya dedikasikan secara khusus untuk yang terkasih Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.