Santo Bonaventura (1217-1274) merenungkan pewahyuan dua nama Allah. Mengikuti Yohanes Damaskus, ia mengontemplasikan nama “Akulah Aku”, Ego sum qui sum (Kel. 3: 14); dan mengikuti Pseudo Dionysius, ia merenungkan nama Baik: “Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja” (Luk. 18: 19).
Berdasarkan penyingkapan nama Allah kepada Musa dalam Keluaran 3: 14, Bonaventura merenungkan bahwa nama pertama Allah ialah Ada (Esse).Teks kitab Keluaran itu tidak menyajikan argumen filosofis tentang nama Allah. Namun Bonaventura menafsirkannya dengan kategori filosofis. Perlu diketahui bahwa ‘membaptis’ kategori-kategori filosofis dalam rangka berteologi merupakan metode umum pada Mazhab Skolastik. Bonaventura menggunakan nama “Akulah Aku” untuk mengatakan bahwa adanya Allah merupakan kebenaran mutlak. Hakikat Allah itu bagaikan terang dalam cahaya. Hakikat-Nya itu dipancarkan dalam sebuah terang, yaitu terang murni yang tidak mengenal kegelapan.
Sang Ada pertama merupakan wujud yang ada pada dirinya. Keberadaan-Nya tidak dapat disangkal. Ia adalah wujud paling murni pada dirinya (ipsum esse purissimum). Sebagai wujud paling murni, Dia adalah yang pertama dalam intelek kita (primo cadit in intellectu). Sebagai wujud pertama dalam intelek, Ia bersifat ilahi; dan karena bersifat ilahi, keberadaan-Nya merupakan kebalikan sempurna dari ketiadaan (omnio nihil). Dalam konteks ini Bonaventura meyakini bahwa eksitensi Allah adalah modus operandi pengetahuan manusia. Oleh sebab itu adanya Allah tidak perlu dibuktikan. Ia niscaya ada, juga ketiga disangkal!
Bonaventura menganalogikan prioritas wujud pertama dari realitas dengan simbol cahaya: Ketika seseorang berada dalam ruangan bercahaya, ia tentu tidak menyangkal terang cahaya, kecuali karena ia buta. Bonaventura menggambarkan Ada Ilahi sebagai terang yang niscaya menyinari pikiran manusia dengan terang-benderang: Dia adalah ratio pertama yang tidak tergantikan. Dalam cara berpikir ini, penyangkalan manusia terhadap ratio aeterna dalam dirinya, oleh Bonaventura dikritik sebagai ‘kebutaan intelektual’ (caecitas intellectus).
Nama yang kedua ialah baik (bonum). Melalui kontemplasi nama Baik (Bonum) di speculum ke enam ini, Bonaventura memberi perhatian pada pawahyuan diri Allah sebagai Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum). Bagi Doctor Seraphicus, “Kebaikan Tertinggi merupakan wujud begitu sempurna sehingga tidak dapat dipikirkan wujud lain yang lebih besar daripadanya, dan Ia niscaya ada, sebab lebih baik ada daripada tidak ada”. Berdasarkan kategori bonum, tangga keenam ini merefleksikan communio Allah Trinitas, yaitu misteri kasih yang paling luhur. Trinitas merupakan sumber dan model kebaikan bagi segenap ciptaan.
Kebaikan Allah bersifat murni. Eksistensi Allah identik dengan Sumber Kebaikan itu sendiri. Kebaikan Allah terpancar bagaikan matahari yang memancarkan terang dan air yang terus mengalirkan kehidupan (emanatio). Bonaventura melukiskan ciri kodrat ilahi ini dengan indah sambil mengutip kata-kata Dionysius: “Bonum est diffusivum sui”, Yang Baik itu memancarkan dirinya. Allah adalah Kebaikan Tertinggi. Sebagai kebaikan sempurna Allah melahirkan kebaikan sempurna pula. Sebab, seandainya dari Allah Maha Sempurna terpancar kebaikan yang terbatas, Ia bukan kebaikan sempurna yang sesungguhnya.
Pandangan Bonaventura bermula dari prinsip filosofis Neo-Platonis, Proclus, yang mengatakan bahwa ‘semakin unggul sesuatu, ia semakin produktif sebagai prinsip pertama bagi prinsip lainnya’. Dalam kategori teologis, menjadi jelas bahwa prinsip paling unggul itu ialah Allah. Refleksi Bonaventura tertuju pertama-tama kepada kebaikan Allah Bapa: Ia adalah pribadi ilahi yang tidak bergantung pada pribadi lain, dan kerena itu merupakan sumber kelimpahan (fontalis plenitudo) dalam komunitas Trinitas. Dari Allah Bapa mengalir rahmat kasih secara cuma-cuma, gratis. Sebuah kasih sempurna hanya dapat diterima secara sempurna oleh pribadi lain yang bersifat ilahi. Artinya hanya pribadi ilahi lain yang dapat menerima kasih sempurna secara utuh. Pribadi penerima itu ialah Putera: Kristus merupakan model sempurna (exemplar) kasih Bapa.
Dalam diri Allah Putera, komunikasi kasih Allah Bapa terungkap secara sempurna. Karena bersifat sempurna, pada Bapa dan Putera tidak ada kecemburuan melainkan melulu belas kasih (caritas). Dengan istilah caritas, Bonaventura mau menunjukkan bahwa kedua pribadi ilahi tidak hanya saling memberi dan menerima (dilectio), tetapi juga berbagi kasih bersama (con-dilectio); mereka mencintai bersama buah kasih mereka, yaitu Roh Kudus:
“Segala yang dikerjakan Bapa dan terwujud pada Putera itu tidak akan terwujud tanpa peran Roh Kudus” (De donis I, 7). Roh Kudus adalah penyatu (nexus) kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera. Dalam Roh, kasih ilahi mencapai finalitasnya yang paripurna. Dengan kata lain, dalam Allah Trinitas komunikasi kasih terwujud secara sempurna; dan komunikasi sempurna mengandaikan pluralitas pribadi ilahi: Bapa, Putera, Roh Kudus.