Satu dari banyak hal yang menggembirakan saya ketika berada di rumah di kampung halaman ialah menyaksikan mamaku membuat kain tenun daerah, yang dalam bahasa Leragere disebut toni tnane.
Sejak kecil saya terbiasa melihat pekerjaan ini. Selain mama saya, saya juga melihat mama-mama lain di kampung yang mengerjakan hal serupa. Setelah beberapa tahun berada di tempat lain, dalam suatu kesempatan libur, sambil menemani mamaku menenun, kami bercakap-cakap tentang kain tenun daerah. Kali ini saya sangat menikmati obrolan kami. Dari obrolan santai itu saya mencatat beberapa hal yang memberi pesan menarik, tetapi bukan tentang hal-hal teknis yang tentu tidak saya pahami.
Tidak semua kain tenun itu murni tradisional. Dari obrolan dengan mama, saya membedakan dua jenis kain tenun, jika dilihat dari bahan, proses, dan nilai adatnya, yaitu ‘tradisional’ dan ‘semi tradisional’. Yang saya maksudkan dengan tenun tradisional ialah kain tenun yang seluruh prosesnya dilakukan secara tradisional, manual, dengan bahan alami dan peralatan kampung, sehingga membutuhkan waktu yang lama.
Benang untuk tenun semi tradisional merupakan hasil kerja mesin pabrik, sudah siap ditenun. Benang pabrik tersedia dalam beragam warna, mudah dibentuk menjadi lembaran kain. Hasil tenun semi tradisional sudah umum digunakan, dikerjakan secara masal oleh kelompok tenun, dan hasilnya banyak dimodifikasi atau dipadukan dengan fashion modern.
Yang lebih mengesankan bagi saya adalah proses dan nilai karya kain tenun tradisional. Sayangnya pengerjaan tenun tradisional ini nyaris punah: Generasi muda tampak tak mampu atau tepatnya tak tertarik mengerjakannya. Di kabupaten Lembata misalnya, kain tenun murni tradisional dimiliki hanya sedikit orang, umumnya sebagai warisan dari generasi tua. Berikut saya beri gambaran umum, dengan contoh terbatas, di Lembata, Flores Timur.
Filosofi Ketekunan. Tenun tradisional merupakan sebuah proses penuh kesabaran dan ketekunan. Ini membutuhkan waktu minimal satu tahun. Pekerjaan serius ini mulai ketika penenun menanam kapas dan bahan pewarna. Proses awal ini memakan waktu satu musim, kurang lebih enam bulan. Pada saatnya buah kapas dipetik, digiling dengan alat khusus (bahasa Leragere: menalo) untuk melepaskan biji kapas. Lalu kapas dibersihkan agar menjadi halus dan mudah dipintal.
Selanjutnya kapas dipintal secara manual dengan alat tradisional sampai menjadi benang (Leragere: kedú). Proses ini berlangsung lama, perlu ketelatenan dan kesabaran. Saya ingat beberapa ibu atau anak gadis di kampung melakukan kedú ketika berada di rumah, sambil berjalan santai, bahkan sambil menjunjung beban di kepala. Sangat mengesankan.
Benang tradisional yang masih berwarna putih polos perlu diberi warna dasar lain, pada umumnya hitam dan merah. Pewarnaan dilakukan dengan merendam benang di dalam cairan pewarna alami. Sebagai pewarna pada umumnya digunakan dua bahan: untuk warna hitam menggunakan daun taú (bahasa daerah Laragere); bahan warna merah dari kulit pohon, yang disebut lorē. Proses pewarnaannya sama: benang direndam dalam hitungan kurang lebih enam belas jam (sampai mengendap), dan hasilnya duji kembali sampai warnanya benar-benar bagus.
Saya masih ingat telapak dan jari-jari hitam mama-mama penenun karena cairan taú yang tidak mudah luntur. Tangan yang tampak kotor itu adalah tanda kecintaan pada pekerjaan tangan dan kedekatan dengan alam. Mereka mengajarkan kepada generasi muda NTT tentang makna berkotor tangan sebagai etos kerja. Mama-mama dulu berbeda dengan banyak perempuan modern yang bersih tangan dan kukunya, namun semakin terasing dari budaya lokal.
Bukan asal Ikat dan Tenun. Adapaun pewarna disimpan dalam periuk tanah liat. Dalam periuk itu bahan pewarna mengendap ke serat benang. Keuletan diperlukan pada proses ini. Sebab, yang dilakukan bukan sekedar merendam benang. Sebelum merendam, benang-benang diikat dengan tali anti air (misalnya tali gebang), agar ketika ikatan dilepas tampak sebuah motif.
Setelah ikatan dilepas, proses tenun dimulai. Untuk mendapat hasil tenun tradisional maupun semi tradisional, jika dikerjakan secara kontinu setiap hari, setelah kira-kira delapan hari terbentuk menjadi lembaran kain siap dijahit menjadi sarung atau pakaian lain.
Pewarnaan secara tradisional menjadi lebih rumit jika harus membuat beragam motif. Ikatan menjadi lebih banyak dan detail, direndam berulang kali untuk mendapatkan kualitas warna yang lebih bagus. Mengikat dan menenun bernilai estetik, sebuah karya seni, perpaduan antara inteligensi seorang perempuan dan bahan-bahan alami. Untuk menambah variasi motif, benang tenun diwarnai lagi dengan cairan pewarna. Misalnya saja air kunyit untuk warna kuning.
Warisan Nilai. Kain hasil tenun sering disebut juga kain sarung, sebab pada umumnya berbentuk lembaran untuk bahan sarung. Sebetulnya ada beberapa level nilai kain tradisional. Yang paling tinggi nilainya biasa dikenal dengan ‘sarung merah’ (bahasa Lamaholot: wahte mea atau wahte mera).
Disebut ‘sarung merah’, selain karena motif utamanya berwana merah, juga dan terutama karena nilainya paling tinggi. Sarung merah menjadi sarung adat, karena layak untuk mas kawin atau melengkapi mas kawin. Sebagai contoh, kain tenun khas daerah Ile Ape, kabupaten Lembata. Sarung dari Ile Ape dipilih karena bahannya paling asli, motifnya terang dan menarik.
Menurut mama saya di Ile Ape, hanya tinggal beberapa ibu generasi tua yang mengerjakan sarung merah. Saya ingat ketika ibu saya masih kuat ia mengerjakan proses membuat benang secara tradisional dan menenunnya, meskipun bukan untuk membuat sarung merah.
Jangan Terkecoh Penmpilan. Sekilas pandang kain tenun semi tradisional tampak menarik, halus dan cerah. Namun orang Lembata yang mengerti kain tenun tahu bahwa serung tradisional warnanya lebih original, kualiatas benangnya bertahan lebih lama. Sarung merah dinilai dengan uang minimal sepuluh juta rupiah. Karena nilainya yang tinggi, sarung merah dapat menjadi hadiah istimewa seorang ibu kepada anak gadisnya ketika akan menikah, sebagai ungkapan kebanggaan ibu kepada anaknya yang telah menjadi dewasa dan siap membangun rumah tangga baru.
Permukaan kain tenun tradision memang tak sehalus kain tenun dari benang modern. Namun orang yang mengerti nilai kain tenun dapat menentukan pilihan yang tepat. Meskipun pengerjaan tenun murni tradisional tampak semakin sulit dilestarikan, namun kiranya warisan semangat kerja keras dan kecintaan pada budaya lokal ini tidak lekas punah.
Warisan Filosofi Kain Tenun. Para penenun memberi contoh teladan kerja keras bagi anak-anak Lembata, agar tidak melekat pada budaya instan. Karya menenun merupakan model etos kecintaan pada profesi, di mana pekerjaan adalah media pengembangan diri, bukan untuk mendapat keuntungan semata.
Mama-mama Lembata telah mempersembahkan kerja tangan mereka bagi kekayaan kultur modern. Tanpa karya mereka tidak ada kemeriahan fashion yang dinikmati generasi milenial. Kita bangga atas karya-karya tradisional ini. Namun kita juga berharap agar warisan ini terpelihara bagi generasi muda di tengah perubahan zaman dan gaya hidup manusia. Terima kasih kepada semua mama penenun sarung khas Lembata.
Kurang lebih 60 th yang lalu saya mengenal ibu Gonda beliau adik kelas kami. Saya dan pa Yan angkatan pertama SR Lewoeleng.Proficiat buat Ibu Gonda dan pak Yan G. Atawolo yang telah mengantar putra dan putrinya menjadi orang yang ber GUNA. Seperti dalam tulisan ini ibu sebagai tokoh tenun daerah yang ditulis oleh putranya sendiri Pater Andre Atawolo.GBU.
Betul Pater. Pengerjaannya rumit, membutuhkan kesabaran, kehati-hatian. Walaupun sudah banyak yang meninggalkan pekerjaan ini tetapi masih ada yang setia dan tekun.
Sabar dan ulet. Luar biasa… Thanks padre