Sejak ditemukan oleh Darwin hingga zaman modern, teori evolusi pada dasarnya dimengerti sebagai tahap perkembangan biologis manusia. Berbeda dengan tesis Darwin, di era digital, muncul pandangan bahwa kita sekarang berada pada tahap evolusi post-biologi, yaitu sebuah era evolusi manusia sebagai hasil rekayasa teknologi berbasis artificial intelligent/AI.
Dalam Christ and Evolution (2008, p.13), Delio mengkategorikan evolusi post-biologis itu sebagai perubahan dari dari homo sapiens ke tekno sapiens (techno-sapiens): Perubahan pada manusia tidak lagi murni sebagai tahap alami-biologis, tetap juga dampak dari teknologi artificial intelligent. Karena itu generasi milenial digolongkan sebagai digital natives (Greenfield 2015, 60), yaitu generasi yang terlahir mengenal dan terpengaruh oleh internet, sistem komputer dan gudget.
Pola pikir FOMO: Fear of Missing Out. Kemajuan dan kecanggihan digital itu menjadikan manusia tumbuh dengan mentalitas takut ketinggalan (fear of missing out). Dalam wadah jejaring sosial, kita terkoneksi bukan hanya dengan teman-teman atau kelompok. Gudget menyediakan alarm up dating life style, produk, maupun berita. Tekno sapiens ibarat sebuah breaking news, artinya selalu membarui informasi tentang segala hal di jagad medsos.
Homo digitalis adalah orang yang tidak mau ketinggalan, ia sadar tentang fear of missing out. Dengan menggenggam gudget di tangan, ia dibanjiri banyak pilihan. Hanya dengan menyentuh layar ponsel, semua pilihan tersedia, meskipun virtual, dan dengan rekayasa. Tentu saja setiap keinginan yang terukur di touchscreen, belum tentu sebuah kebutuhan yang riil.
No Return. Kemajuan teknologi digital merupakan arus yang mendorong kita untuk terus berjalan. Kita berselancar di arus ini. Kemudahan dan kenyamanan tekno sapiens membentuk cara pikir ‘no return’, terus up date, terus terhubung dan mencari yang terbaru (now). Di era tekno-sapiens, tak ada realitas yang jauh atau akan datang. Semua tersaji cepat, di sini dan sekarang. Basis digital menyediakan seribu alasan bagi generasinya untuk merasa optimis.
Optimisme yang bermata dua. Optimisme digitalis menawarkan gairah kemajuan sekaligus godaan kendangkalan. Banyak, cepat dan barunya sesuatu tidak niscaya menjamin sebuah pilihan sikap yang bebas dan bermutu. Basis artificial intelligense memang menyediakan mekanisme kemudahan teknis, tetapi tidak niscaya menjamin integirtas sikap manusia. Tekno-sapiens tampaknya belum sungguh menggantikan corak homo sapiens.
Terima kasih pater atas suguhan tulisan yang menarik … (Salam.& Doa..semoga pater sehat selalu)