Tiga artikel yang lalu telah menawarkan sebuah pandangan positif terhadap fenomena selfie di media sosial. Judul teologi selfie menandakan motif positif tersebut. Komentar pro dan kontra pun datang. Wajar saja. Generasi milenial menerima ide ini dengan senang hati; sebaliknya generasi old masih berpolemik tentang gagasan ini.
Semua tanggapan ditampung, tidak harus serius. Medsos juga merupakan ruang untuk lucu-lucuan. Namun yang jelas dinamika hidup dalam medsos kami pandang sebagai ruang kreasi yang dapat digunakan secara bijak. Maka dalam menawarkan gagasan ini, kata selfie tidak diidentikkan dengan selfish.
Dalam Cybertheology, teolog kontemporer Antonio Spadero meyakini bahwa di era digital ini, internet bukan lagi instrument yang jauh atau terasing di luar sana, suatu opsi yang dapat kita pilih, melainkan sebagai media. Artinya internet adalah ruang lingkup sekeliling kita (ambient), dunia keseharian kita. Internet menjadi semacam wadah yang merangkul dunia. Sebagai media ia melingkupi keseharian netizen: Di dalam ruang media kita terhubung dengan teman-teman, mengobrol, menyimak berita, berbelanja, berbisnis, dan sebagainya.
Media internet terintegrasi dengan diri kita. Teknologi touchscreen menyatukan kita dengan sebuah dunia melalui sentuhan jari tangan. Dalam artikel lalu telah dikatakan bahwa touchscreen menegaskan dimensi indrawi manusia: sentuhan melalui jari tangan adalah ekspresi kemampuan indrawi. Sekali klik untuk sejuta kemungkinan. Jari-jemari yang bergerak menyentuh layar itu tampak ajaib, karena mendatangkan makanan, pakaian, sarana transportasi, dsb. Kita terkoneksi dalam wadah dunia hanya dengan mengandalkan kelincahan jari (digit).
Dalam konteks itu kita berbicara tentang selfie sebagai bentuk ekspresi diri homo digitalis. Selfie yang dimaksudkan di sini bukan hanya cara mengkreasi foto dan video saja, tetapi juga melalui kalimat atau caption, entah buatan sendiri atau kutipan dari sumber lain, yang mewakili pemikiran atau perasaan seseorang. Dalam hal ini selfie dimengerti lebih luas, terkait klaim atas sesuatu sebagai ekspresi diri netizen.
Ada teman yang berpandangan bahwa selfie tidak selalu dimaksudkan untuk mengundang reaksi orang lain (like, comment atau share). Menurutnya, ada orang yang membuat foto selfie untuk disimpan sendiri, tidak dipublikasikan. Selfie demi kepuasan saja, begitu kiranya yang mau dikatakan. Sedangkan yang kami bicarakan di sini ialah selfie yang dishare di medsos.
Meski demikian pandangan tersebut sebetulnya secara implisit mengatakan sisi lain yang penting: memang tidak semua hal perlu dipertontonkan kepada orang lain. Ada ruang privat dalam setiap person. Kita telah mengatakan bahwa relasi sosial mengandaikan penerimaan diri sendiri secara wajar. Media sosial bukan tempat untuk curhat, atau membeberkan hal-hal yang personal. Orang yang suka curhat di medsos dianggap sebagai netizen yang kesepian atau kurang mendapat perhatian.
Nah, jika benar bahwa cara eksis seseorang di medsos bisa saja mengungkapkan rasa sepi atau kurang mendapat perhatian, mungkin kita perlu bertanya: siapakah teman-temanku di medsos? Tidak perlu bertanya berapa teman, karena tentu banyak jumlahnya, tetapi siapa? Apakah benar anggota-anggota group adalah teman-temaku? Apakah temanku ialah dia yang rajin menanggapi obrolanku, yang memberi like, comment, atau membagi kembali postinganku ke lebih banyak orang?
Ketika menyapa generasi milenial, Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas secara jujur, orang akan sadar sendiri apakah dia memiliki tujuan ketika berselancar di medsos, atau sebenarnya ia hanya seorang ‘pengembara’ yang tak bertepi? Setiap kita tahu persis jawaban atas pertanyaan tersebut. Pax!
Makasih Romo.
Terima kasih ama pater atas suguhan lewat tulisan yang menarik…**(Salam.& Doa..semoga pater sehat selalu)**
Terima kasih Romo Andre…..artikelnya selalu menarik dan up to date…selamat berkarya….