Tak dapat disangkal bahwa teknologi internet menyediakan wadah hiper-jejaring yang memudahkan begitu banyak aktivitas manusia di dunia. Karena itu, seperti telah dikatakan dalam artikel sebelumnya, pernyataan bebas di luar internet tidak ada keselamatan bukan kata-kata kosong. Dalam World Wide Web, sekali sentuhan jari di layar ponsel pnitar akan membuka ribuan pilihan.
Internet tak hanya menjadi wadah bagi aktivitas yag bersifat teknis. Melalui internet dipromosikan pula nilai-nilai etis dan kemanusiaan tanpa terikat pada agama atau ideologi tertentu, dan dengan cepat disebarkan melalui film pendek, gambar, animasi, pesan pendek, dan sebagainya.
Perlu diakui pula bahwa jejaring sosial yang terbentuk berkat kemajuan teknologi komunikasi telah memperlebar dan memperluas ruang perjumpaan sampai ke sudut-sudut dunia. Mark Zuckerberg pendiri Face Book misalnya, dalam wawancara dengan majalah Wired pada 2010, mengatakan: ‘Hal yang sungguh menjadi misi saya ialah menjadikan dunia terbuka’ (Delio 2015, 100).
Pertanyaan yang perlu dijawab: bagaimana sikap manusia, khususnya umat Kristiani, memandang kemajuan teknologi: Apakah dilihat sebagai berkat atau bencana? Cara menilai kemajuan teknologi turut menentukan apakah orang mau terbuka atau menutup diri dari kemajuan dunia digital.
Apakah teknologi merupakan pemenuhan dari cita-cita dan harapan orang beriman tentang diri dan hidupnya? Di satu pihak para ahli memiliki rasa optimis yang kuat. Misalnya bahwa teknologi kecerdasan virtual di masa depan diyakini akan mampu membaca dan merekayasa otak seseorang, direkayasa menjadi file program aplikasi yang dapat diunduh dan digunakan.
Otak seorang manusia dapat direkam dan disimpan, sehingga meskipun tubuhnya hancur, file otaknya tetap hidup dan diterjemahkan oleh perangkat penyimpan data dan ditampilkan sebagai ‘manusia baru’ yang terpisah dari tubuh yang lama. Istilah teknis transhumanisme (transhumanism) digunakan untuk menggambarkan hasil evolusi manusia di masa depan era digital.
Jadi transhumanisme mengandung keyakinan bahwa di masa depan, kecanggihan teknologi mengalahkan keterbatasan manusia secara biologis. Dalam konteks optimisme saintifik itu, ahli ilmu komputer Daniel Crevier bahkan meyakini bahwa ‘Kecerdasan artifisial itu sejalan dengan kepercyaan Kristiani tentang kebangkitan dan kekekalan’ (Delio 2015, 103).
Dengan kata lain, transhumanisme adalah sebuah zaman baru post-biologi: Sebuah masa depan, ketika perangkat digital mampu mengatasi kondisi biologis manusia seperti penderitaan, penyakit, usia, bahkan kematian. Impian terjauh masa depan teknologi kecerdasan artifisial ialah sebuah Apokaliptik Kecerdasan Artificial (Apocalyptic AI): saat manusia bangkit mengalami hidup baru.
Di lain pihak, seperti dilaporkan Delio, para ahli sadar bahwa teknologi digital itu bersifat netral. Teknologi pada dirinya pasti terus berkembang. Namun teknologi tidak mengontorl dirinya. Sebaliknya manusia dapat mengontrol diri. Jadi ‘masalah teknologi’ sebenarnya masalah manusia.
Karena itu neuoropsikolog seperti Charlotte Tomaino menjelaskan fenomena yang disebut OCR atau Obsessive checking disorder. Ketika manusia melekat pada kemajuan teknologi digital, ia mengalami suatu obsesi untuk selalu mengecek gawai, tetapi karena itu otaknya menjadi lelah, konsentrasi terganggu, daya ingat menurun, menjadi kurang sabar, serta gangguan tidur (Delio 2015, 107).
Kiranya jelas bahwa kemajuan teknologi digital merupakan sumbangan yang begitu berharga bagi manusia. Gereja pun menggunakan ruang media sebagai tempat baru untuk jejaring Kabar Gembira. Kemajuan teknologi informasi adalah rahmat bagi persekutuan Gereja. Jejaring sosial mempererat persekutuan Gereja.
Meski demikian, misteri perwujudan Allah menjadi manusia nyata adalah keyakinan luhur yang tak tergantikan oleh teknologi. Teknologi internet adalah sebuah wadah. Manusia berada dalam wadah tersebut, dan di sana ia yang harus menentukan sikapnya, karena ia pribadi, dan bukan benda.
Satu hal perlu diingat: bahkan ketika manusia sudah berada dalam ‘jaringan’ rahmat Tuhan, keselamatan itu tidak otomatis terjadi. Daya rahmat Allah mengandaikan pula sebuah sikap dari diri manusia. Artinya: jika di hadapan rahmat Allah Maha Kuasa pun keputusan manusia diperlukan, seharusnya di hadapan hal lain, misalnya kehebatan teknologi digital yang mengreasi hiper-jaringan, manusia mampu menentukan sikapnya. Selesai.
Baca artikel sebelumnya https://andreatawolo.id/2020/07/di-luar-internet-tidak-ada-keselamatan-1/
Pandangan yang luar biasa…tergantung manusia yang menilai dan menggunakan.
Terima kasih banyak Pater
Terima kasih Pater
Tks pater….memang bisa tehnologi..mengalahkan Sang Pencipta?
Trima kasih Pater….