Suasana sulit di Natal tahun 2020 menjadi kesempatan bagi kita untuk memberi tempat lebih pada figur Santo Yusuf: Natal tersembunyi. Natal hening. Natal sesungguhnya.
Dalam Seruan Apostolik berjudul Patris Corde, Paus Fransiskus menggambarkan Santo Yusuf sebagai orang yang “begitu dekat dengan kondisi manusiawi kita masing-masing”.
Pengalaman Yusuf memperlihatkan bahwa dalam situasi sulit, Tuhan tetap menolong kita. Namun sering kali Ia menolong dengan cara tersembunyi.
Paus mengajak kita menemukan dalam diri Santo Yusuf seorang perantara, seorang pendukung dan seorang pembimbing pada saat-saat sulit. Santo Yusuf mengingatkan kita bahwa yang tampaknya tersembunyi atau di ‘barisan kedua’ memiliki peran tak tertandingi dalam sejarah keselamatan.
Terlalu sering kita berpikir bahwa Allah hanya mengandalkan bagian diri kita yang baik dan berhasil, sementara pada kenyataannya kebanyakan rencana-Nya terpenuhi dalam kelemahan kita.
Yusuf mengajar kita bahwa memiliki iman kepada Tuhan juga mencakup kepercayaan bahwa Dia juga dapat bekerja melalui ketakutan kita, kerapuhan kita, kelemahan kita.
Sering kali dalam hidup kita, banyak peristiwa terjadi yang maknanya tidak kita pahami. Reaksi pertama kita sering kali adalah reaksi kekecewaan dan pemberontakan. Kita bahkan sering kali menuduh orang lain.
Yusuf mengesampingkan pemikirannya untuk memberi ruang atas apa yang sedang terjadi, dan betapapun tampak misteriusnya itu di matanya, ia menerimanya, mengambil tanggung jawab atas hal itu.
Bila kita tidak berdamai dengan sejarah kita sendiri, kita bahkan tidak akan mampu melangkah lebih jauh karena kita akan selalu tetap tersandera oleh harapan kita sendiri dan kekecewaan yang ditimbulkannya.
Jalan rohani yang ditunjukkan Yusuf kepada kita bukanlah jalan yang menjelaskan, tetapi jalan yang menerima. Hanya berangkat dari penerimaan dan pendamaian, orang bisa memahami sejarah yang lebih besar, makna yang lebih dalam.
Menerima kehidupan secara demikian memperkenalkan kepada kita makna tersembunyi. Hidup kita masing-masing dapat dilahirkan kembali secara menakjubkan jika kita menemukan keberanian untuk menjalaninya sesuai dengan apa yang dikatakan Injil kepada kita.
Allah bisa membuat bunga-bunga berkembang di antara bebatuan. Dalam ketakutan dan kebingungan kita percaya bahwa “Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu” (1Yoh 3:20).
Dari teladan Yusuf, Paus merefleksikan bahwa percaya bukan berarti menemukan solusi-solusi penghiburan yang mudah. Iman yang diajarkan Kristus kepada kita adalah iman yang kita lihat pada diri Santo Yusuf, yang tidak mencari jalan pintas, tetapi menghadapi dengan ‘mata terbuka’ apa yang sedang terjadi padanya, dengan bertanggungjawab atas hal itu secara pribadi.
Bila kadang Allah tampaknya tidak menolong kita, ini tidak berarti bahwa Dia telah meninggalkan kita, tetapi bahwa Dia mempercayai kita, akan apa yang bisa kita rancang, ciptakan dan temukan. Yusuf tidak pernah menempatkan dirinya sebagai pusat. Ia menempatkan Maria dan Yesus sebagai pusat kehidupannya.
Kebahagiaan Yusuf bukanlah sekadar logika pengorbanan diri, melainkan pemberian diri. Orang tidak pernah melihat sikap frustrasi pada diri Yusuf, tetapi suatu kepercayaan. Sikap diamnya yang teguh tidak berisi keluhan-keluhan, tetapi selalu merupakan sikap penuh kepercayaan. Natal 2020: “Natal St. Yusuf”.
Terimakasih P. Andre untuk tulisan ini, bisa jadi inspirasi bahan homili
Selamat Natal Pater Widi…Pace e Bene