Delapan abad silam, pada tahun 1223, di Greccio, Italia, Fransiskus Assisi, untuk pertama kalinya dalam tradisi Gereja Katolik, merayakan malam Natal dengan palungan dan jerami, serta lembu dan keledai. Fransiskus yang telah berziarah ke tanah suci Yerusalem, sangat mendambakan suasana Betlehem, malam kudus ketika Juru Selamat lahir dalam kesehajaan.
Peristiwa itu dikisahkan dalam riwayat hidup Fransiskus, ia mangkat pada 1226, dan termaktub dalam Sumber Kefransiskan atau Fonti Francescane (FF). Paus Fransiskus mengenang dengan takjub peristiwa itu dalam Surat Apostoliknya Tanda-Tanda yang Mengagumkan atau Admirabile Signum (AS), ketika mengunjungi Greccio pada 1 Desember 2019.
Natal Yang Hidup. Kerinduan St. Fransiskus akan Natal yang hidup dilukiskan oleh Thomas Celano demikian: ‘Aku mau mengadakan peringatan Kanak-kanak yang dilahirkan di Betlehem, dan aku mau melihat dengan mataku sendiri keadaan-keadaan pahit dan papa yang diderita-Nya sebagai bayi, bagaimana Kanak-kanak itu dibaringkan di dalam palungan, dan bagaimana Kanak-kanak itu diletakkan di atas jerami, dengan didampingi lembu dan keledai’ (FF 468).
Cahaya bintang di langit turut menerangi malam itu. Warga berdatangan, pria dan wanita, membawa obor dan lilin, semua bergembira. Palungan dibuat, jerami diangkat, lembu dan keledai digiring ke tempat itu. Natal Greccio itu memperlihatkan bahwa ‘di situlah kesederhanaan dihormati, kemiskinan dimuliakan, kerendahan hati dipuji’ (FF 469).
Santo Bonaventura (1217-1274) melukiskan, di malam kudus itu hutan menggemakan suara-suara. Malam yang Terhormat itu menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang banyak sekali dan bercahaya, dan menjadi meriah oleh lagu-lagu yang merdu dan selaras (FF 1186).
Membangunkan Yesus yang Tertidur. Hati Fransiskus bersukacita melihat bayi Yesus dalam palungan. Ia berdiri di depan palungan, mengesah dengan penuh iba, terharu karena rasa hormat dan diliputi dengan sukacita yang menakjubkan. Adegan ini dengan kuat memancarkan daya transformatif Natal:
‘Sebab Kanak-kanak Yesus dalam hati banyak orang telah hilang dari ingatan. Tetapi berkat kekuatan-Nya, Ia dibangunkan kembali oleh hamba-Nya, Santo Fransiskus, di dalam hati orang-orang, dan ditanamkan lagi ingatan yang hangat kepada-Nya’ (FF 470).
Fransiskus Assisi meniru hidup Kristus dalam keutamaan kasih dan kerendahan hati. Dengan cara itu ia menghidupkan Kristus yang telah lama ‘tertidur’ dalam hati manusia. Kecintaan akan Kristus yang diperlihatkan Fransiskus kepada dunia telah mencairkan hati manusia yang membeku karena egoisme dan kekerasan kepada ibu bumi.
Yesus Menjadi Santapan. Yesus sang Raja lahir dalam palungan hewan. Ia tidak dikenal umat-Nya. Pradoks ini menggemakan Nubuat Nabi Yesaya: ‘Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya’ (Yes. 1: 3).
Santo Agustinus (354-430) memberi makna mendalam pada simbol palungan: ‘Dibaringkan di palungan, Ia menjadi makanan kita’ (Sermon 189, 4).
Yesus tak meberi sesuatu bagi manusia. Ia memberi diri-Nya sendiri sebagai sumber hidup. Natal mengantisipasi misteri Ekaristi. Dalam Ekaristi Yesus hadir secara nyata menjadi santapan rohani. Sebab itu Ekaristi merupakan ‘sintesi karya keselamatan’ (Paolazzi 2016, 99).
Dalam Sermones Dominicales, Bonaventura merenungkan bahwa Yesus, gembala yang baik, terbaring dalam palungan, menyatukan segenap makhluk. Para malaikat bernyanyi, para gembala bergegas menjumpai Gembala Baik. Dan pencarian para Majus terdengar sebagai sebuah doa tulus: ‘Di manakah Dia raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia’ (Mat. 2: 2).
Pengalaman para Majus mewakili sukacita umat manusia: Kami telah melihat terang-Nya yang mencerahkan budi; kami telah melihat pancaran-Nya yang menerangi relung jiwa. Kami telah mendengar suara-Nya yang lembut dan hangat; kami telah merasakan kemanisan-Nya yang menyukakan hati; kami telah menghirup keharuman-Nya yang memikat; dan kami telah merasakan rangkulan-Nya dan kami tak akan melepaskannya (Jhonson 1999, 148).
Revolusi Ksih. Dalam Admirabile Signum Paus Fransiskus merefleksikan makna asli Natal: ‘Ketika kita merenungkan kisah Natal, kita menjadi sadar bahwa begitu besar kasih-Nya kepada kita, bahwa Ia menjadi salah satu dari kita, dan kita pada gilirannya dapat bersatu dengan-Nya’ (AS 1).
Revolusi kasih Yesus hendaknya menjadi model solidaritas antara sesama. Dari palungan, Yesus mewartakan dengan cara yang lemah lembut bahwa solidaritas adalah jalan menuju dunia yang lebih manusiawi dan bersaudara, dan perang bukan solusi bagi perdamaian.
Manusia membutuhkan kasih untuk membangun dunia sebagai rumah bersama. Bahkan seandainya sudah tercipta suatu tata dunia yang adil dan disertai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, kasih tetap menjadi kebutuhan eksistensial manusia.
Natal adalah senyum Tuhan bagi dunia. Manusia bersukacita karena berjumpa dengan Pribadi Kristus: Ia bukan saja pembawa damai. Ia adalah Damai! Di hari Natal dunia menyaksikan bahwa ‘kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata’ (Tit 2: 11).
Selamat Natal Pater, Terimakasih tulisan nya
Terima kasih Pater. Selamat Natal e
Terima kasih Pater, selamat Natal