Fransiskus Assisi, orang kudus dalam Gereja Katolik, hidup delapan abad lalu. Seperti para kudus lain, ia mewariskan kepada Dunia banyak keutamaan. Apa saja nilai-nilai warisan Fransiskus yang masih relevan bagi kita sekarang? Lima kata kunci berikut mewakili warisan Fransiskus.
Mendengarkan. Fransiskus mendengarkan suara Tuhan karena ia mencintai keheningan. Di gereja kecil San Damiano, pada 1206, ketika sedang berdoa dalam keheningan, Yesus yang tersalib berbicara keadanya: ‘Fransiskus, pergilah dan perbaikilah Gereja-Ku yang engkau lihat sudah roboh ini’. Fransiskus mendengar suara itu. Imanya makin teguh. Iman bermula dari mendengarkan.
Di tengah kebisingan zaman ini, kesediaan mendengarkan menjadi penting: mendengarkan suara Tuhan, suara alam, suara sesama, juga mendegarkan hati nurani kita. Suara kebenaran telah tenggelam di tengah keramaian dunia. Dalam Christus Vivit Paus Fransiskus mengajak kita untuk memeriksa batin dalam keheningan agar dapat mendengarkan bisikan Tuhan yang lembut.
Mewartakan. Setelah mendengarkan suara Tuhan, Fransiskus pergi mewartakan sukacita Injil kepada segenap makhluk. Ia tak menyimpan warta gembira bagi dirinya. Ia mau berjumpa dengan sesama, juga dengan mereka yang berbeda. Tahun 1219 ia berjumpa dengan Sultan Al-Kamil di Mesir. Ia menjumpainya dengan ‘senjata’ kasih dan damai. Terjalinlah persaudaraan antara keduanya.
Dalam Fratelli Tutti Paus Fransiskus mengajak kita merajut dialog. Mewartakan berarti hadir untuk membawa damai, bukan pertama-tama untuk mengubah orang lain. Pesan Paus ini menghadirkan kembali amanat Fransiskus kepada para saudaranya yang pergi ke tengah saudara-saudara Muslim: Yang utama ialah membawa damai. Kesaksian itu lebih kuat daripada ajaran teoritis.
Merayakan. Fransiskus merayakan Natal yang hidup, menghadirkan kembali suasana Betlehem. Malam Natal di Greccio pada 1224 itu sungguh hidup. Malam itu terasa penuh damai. Misteri Inkarnasi hendaknya dirayakan dalam liturgi yang hidup, agar sungguh dirasakan bahwa Kristus yang lama tertidur di hati manusia, sekarang sungguh lahir dan menjadi Raja Damai.
Kerendahan hati Allah hendaknya menjadi tanda yang mengubah hidup manusia. Dalam Admirabile Signum, Paus Fransiskus merenungkan keindahan makna simbol-simbol Perayaan Natal. Palungan adalah simbol sentral. Dalam palungan Kristus sang Gembala terbaring sebagai santapan bagi para domba. Dan dalam Ekaristi Ia terbaring dalam palung altar menjadi santapan keselamatan.
Menghidupi. Fransiskus menghidupi dalam dirinya semangat kerendahan hati Allah. Ia berjalan mengikuti Kristus sejak kelahiran di Betlehem sampai jalan salib ke Golgota. Ia ikut Kristus dengan kerinduan mendalam. Dua tahun menjelang wafatnya, ketika bermatiraga di La Verna, Yesus sendiri memahkotai dia dengan lima luka suci-Nya. Fransiskus menjadi mirip dengan Kristus.
Dalam Gaudate et Exultate, Paus Fransiskus memaknai komitmen sehari-hari manusia sebagai jalan menuju kekudusan. Dambaan pada kekudusan diungkapkan dalam komitmen pada taunggung jawab sehari-hari. Kekudusan adalah latihan terus-menerus untuk menjadi terampil menjalani hidup. Fransiskus Assisi terampil memaknai hidupnya: Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Mempersembahkan. Fransiskus tahu bahwa pada saatnya ia mengembalikan seluruh pemberian Tuhan kepada Tuhan. Pada 3 Oktober 1226 ia sampai pada kesadaran bahwa ziarahnya di dunia selesai. Sekarang saatnya beralih kepada Bapa: transsitus. Fransiskus tidak melekat pada dunia. Ia hidup sebagai seorang musafir dan perantau di dunia. Hari ini ia kembali kepada Pencipta.
Dalam Spes non Confundit, Paus Fransiskus merenungkan makna pengharapan. Orang Kristiani adalah orang yang berpengharapan. Harapan tidak mengecewakan. Harapan Kristiani berpusat pada Kristus yang bangkit. Fransiskus Assisi beralih dari dunia dengan harapan yang teguh. Maut dimaknainya sebagai saudari. Ia orang yang lepas bebas. Kini ia bersukacita dalam Kristus.
Terimakasih Pater