Dalam Credo yang dirumuskan sejak 1700 tahun lalu, umat Kristiani mengungkapkan iman mereka akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat, baik di dunia maupun setelah kematian. Wujud keselamatan yang paripurna ditegaskan dalam keyakinan bahwa Kristus “akan kembali dengan mulia untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati.”
Credo mengajarkan pula bahwa kerajaan Kristus tak akan berakhir. Orang Kristiani teguh “menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat.” Dalam Syahadat Para Rasul juga diungkapkan iman kepercayaan akan Yesus Putra Allah, yang “wafat di salib, turun ke tempat penantian pada hari ketiga, bangkit dari antara orang mati, yang naik ke Surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa, dan yang akan datang mengadili orang hidup dan mati.” Akhirnya Konsili mengajarkan keyakinan iman akan “kebangkitan badan dan kehidupan kekal.”[1]
Teologi Harapan dalam Disiplin Ilmu Teologi
Frase-frase yang dikutip dari rumusan Credo di atas merupakan rangkuman padat dari topik sentral Teologi Harapan. Teologi Harapan atau Eskatologi merupakan salah satu disiplin teologis dalam rumpun Teologi Sistematik Kristiani yang mengkaji seluk-beluk eskaton (akhir zaman) yang definitif, dan dari sana berusaha menginterpretasi masa kini serta menyampaikan motivasi bagi kita untuk bertindak sekarang.[2]
Sesuai dengan corak utamanya itu, pada umumnya tema ini ditempatkan pada bagian akhir karya-karya teologi sistematik. Namun urutan penempatan itu tak mengatakan bahwa tema ini hanya sekedar bagian akhir atau tambahan dari tema-tema yang lain. Sejak tahun 1950-an Hans Urs von Balthasar misalnya telah menempatkan eskatologi sebagai titik pusat pusaran (storm center) Ilmu Teologi.[3] Eskatologi sebagai “ibu dari semua teologi Kristiani.”[4]
Sejak Konsili Vatikan II, khususnya dokumen Gaudium et Spes, tema eskatologi bergerak dari pinggir ke pusat teologi. Eskatologi itu sentral karena merangkum tema-tema teologis lain.
Alasan lain mengapa eskatologi dikatakan penting lebih berkaitan dengan isi dan maknanya: Eskatologi merupakan upaya menjawab pertanyaan manusia tentang keselamatan yang ia dambakan dalam hidupnya: Apa tujuan hidupku? Apakah ada kehidupan setelah mati? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa metode Ilmu Teologi bukan hanya iman mencari pemahaman, tetapi juga pengharapan mencari pemahaman.
Pertanyaan tentang Akhir yang Definitif
Pertanyaan-pertanyaan manusia tentang keselamatan akhir yang definitif nyatanya tidak mampu dipecahkan secara tuntas oleh manusia sendiri. Manusia mengalami bahwa ada kepastian sekaligus ketidakpastian tentang keselamatan yang ia dambakan.[5] Di satu sisi ada kepastian karena Allah yang Maha setia tentu setia mengerjakan keselamatan bagi umat-Nya.
Di sisi lain ada pengalaman ketidakpastian karena bagi manusia keselamatan itu belum terwujud atau masih berupa pertanyaan. Kapan damai sejahtera sungguh terwujud? Bukankah sejak Yesus Kristus, yang diyakini sebagai Tuhan dan Penyelamat itu hidup dan berkarya di dunia, sampai sekarang ini situasi manusia tetap sama saja? Bukankah manusia masih mengalami berbagai penderitaan dan kesusahan yang menyebabkan kematian?
Keselamatan Kristiani dapat dilukiskan sebagai sebuah utopia ilahi[6] karena sudah tersingkap sekarang, tetapi belum sungguh sempurna. Keselarasan utuh antara Allah dan manusia, antara manusia dengan manusia dan dunia sekitarnya berserta dengan dirinya sendiri, barulah menjadi nyata seluruhnya apabila Allah menjadi semua dalam semua (1Kor 15: 28b; Rm 8: 22-23).[7]
Pertama-tama perlu dipahami konsep-konsep mendasar Teologi Harapan, yaitu beberapa istilah teknis, corak harapan Kristiani, dan metodologinya. Selanjutnya dipaparkan pendasaran biblis dari Perjanjian Lama, yang memberi tekanan tentang janji Allah dan harapan manusia, khususnya bangsa Israel. Eskatologi Israel berpusat pada figur Mesias yang akan datang.
Pendasaran paling sentral dari harapan Kristiani ialah kebangkitan Kristus. Tanpa kebangkitan Kristus, tidak ada dasar harapan akan hidup abadi bagi umat Kristiani. Pendasaran biblis memberi tekanan pada peristiwa kebangkitan Yesus sebagai “prototipe”[8] kebangkitan manusia. Dengan kebangkitan-Nya Kristus “mengantisipasi nasib eskatologis semua manusia.”[9]
Teologi harapan meyakini korelasi erat antara kebangkitan Yesus dan harapan Kristiani akan kehidupan kekal. Korelasi itu dirumuskan oleh Rasul Paulus dalam kalimatnya yang terkenal: “Andai kata Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15: 14). Kebangkitan Kristus membuka tabir bagi para pengikut-Nya akan sebuah ma depan. “Jikalau kita hanya dalam hidup ini menaruh pengharapan pada Kristus, kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1Kor 15: 19).
Selain pendasaran biblis, kesaksian para Bapa Gereja juga menjadi inspirasi penting bagi Teologi Harapan. Kesaksian para kudus menunjukkan kerinduan mereka untuk berjumpa dengan Yesus setelah penziarahan mereka di dunia. Santo Basilius Agung menulis: “Jika dunia memiliki awal dan telah diciptakan, kita harus mencari Dia yang telah menciptakannya, kita mencari siapa yang telah memberikan permulaan itu, siapa yang menjadi penciptanya.”[10]
Para teologi Abad Pertengahan pun memiliki sumbangan yang menarik tentang teologi harapan. Mereka mendasarkan pemikirannya pada Alkitab dan ajaran para Bapa Gereja, tetapi menempatkannya dalam kerangka dialog dengan filsafat. Pemaknaan sejarah hidup manusia sebagai ziarah jiwa kembali kepada Allah memperkaya diskursus eskatologi.
Topik selanjutnya ialah realitas akhir dalam ajaran Gereja Katolik. Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), Teologi Harapan membicarakan tentang Kematian (No.1006-1104), Api Penyucian (1030-1032), Neraka (1033-1037), Surga (1023-1-29), dan Pengadilan Terakhir (1038-1041). Dengan Pengadilan Terakhir, Gereja berharap memasuki Langit dan Bumi Baru (1042-1050). Gereja berada di dunia, terlibat dengan dunia, namun ia hidup dalam pengharapan, karena itu ia tidak melekat pada kekuasaan duniawi.
Realitas akhir dalam arti ketat tetap menjadi misteri bagi manusia. Namun realitas akhir itu coba dimaknai oleh Gereja dalam kaca mata iman, yaitu dalam kesadaran akan keterbatasan akal budi di satu pihak dan kemaha-hadir-an Allah di lain pihak. Kesadaran itu oleh teolog modern Hans Urs von Balthasar dirangkum secara padat demikian: “Tuhan adalah ‘Yang Tertinggi’ dari segenap ciptaan. Dalam perjumpaan Ia ada di surga; ketika kehilangan, Ia ada di neraka, sebab Ia yang mengadili; dalam pemurnian, Ia adalah api yang memurnikan. Semua makhluk fana yang telah mati, akan bangkit oleh Dia, dan dalam Dia kembali kepada Dia.”[11]
Kematian merupakan bagian dari kodrat manusia sebagai ciptaan. Dari dirinya manusia tak mampu mengalahkan maut. Orang Kristiani memaknai kematian sebagai bagian dari iman, yaitu pintu masuk menuju hidup baru dan kekal. Santo Fransiskus Assisi menyambut maut sebagai saudari karena baginya maut adalah bagian integral hidup manusia; ia merupakan pintu gerbang peralihan dari dunia untuk memasuki kehidupan kekal.
Semua manusia mendambakan hidup yang baik di dunia maupun setelah kematian. Secara sederhana orang Kristiani menerima warisan keyakinan bahwa orang yang berbuat baik selama hidupnya akan menerima ganjaran hidup abadi dalam surga. Situasi yang berlawanan dengan surga disebut neraka. Neraka dilukiskan sebagai tempat penderitaan, di mana para pendosa menerima hukuman berupa api kekal, karena dosa-dosanya. Pandangan-pandangan klasik ini tentu tidak bebas dari polemik dan penafsiran, sehingga perlu dibahas lebih mendalam.
Tradisi Kristiani juga mengenal istilah Api Penyucian atau Purgatori, yaitu suatu masa peralihan berupa pemurnian bagi orang yang berbuat dosa ringan, sehingga ia menjadi sungguh layak masuk dalam surga, yaitu tempat manusia mengalami sukacita kekal bersama Allah Penyelamat dan para penghuni surga. Terkait Purgatori, ada sebutan serupa, yaitu Tempat Penantian dan Firdaus. Akhirnya realitas akhir yang diyakini dalam Credo ialah Pengadilan Terakhir, yaitu saat ketika Tuhan memberikan pengadilan paripurna bagi semua manusia.
Pembahasan lebih lanjut fokus pada pertanyaan tentang kapan dan di mana realitas akhir definitif terjadi tetap mengganjal di hati manusia. Gereja Katolik memiliki keyakinan yang jelas: Hidup kekalku terjamin dalam Tuhan Yesus Kristus, dan sekarang hidup itu dihadirkan dan dirayakan dalam perayaan sakramen, misalnya Baptis dan Ekaristi. Dalam kedua sakramen itu, eskatologi menjadi present eschatology, Sang Tak Terbatas merangkul yang terbatas.
Setelah membahas eskatologi dalam konteks perayaan sakramen Gereja, akan dibahas topik keselamatan akhir bagi ciptaan atau eskatologi yang berdimensi kosmologis. Pertanyaan yang mau ialah bagaimana memaknai martabat ciptaan sebagai wujud rancangan kasih Allah, dan karena itu memiliki tujuan akhir? Topik eskatologi kosmos mendorong teologi untuk berdialog dengan ilmu alam, agar dapat membangun kesadaran etis mengenai krisis ekologis.
Dengan fakta kemajuan teknologi di era kontemporer ini, Ilmu Teologi pada umumnya dan Teologi Harapan khususnya dihadapkan dengan tantangan untuk berdialog dengan pandangan dan keyakinan orang pada kemajuan teknologi. Teknologi Artifical Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan memunculkan pertanyaan ini: Apa makna harapan Kristiani di tengah kemajuan teknologi yang dengan cepat dan praktis menyediakan suatu optimisme masa depan?
Teologi Harapan juga bersumber pada dokumen-dokumen Gereja Katolik maupun situasi aktual Gereja, serta perspektif mariologis. Sumbangan pemikiran dan kesaksian dua Paus terakhir, yaitu Benediktus XVI dan Fransiskus mengisi poin-poin utama topik ini.
Teologi Harapan diinspirasikan oleh Bulla Paus Fransiskus untuk Tahun Yubileum 2025, di mana Paus menjadikan pengharapan sebagai tema sentral. Judul Bulla ini diambil dari kata-kata Rasul Paulus dalam Surat Pertama Kepada Jemaat di Roma, Spes non Confundit, Pengharapan tidak Mengecewakan (Rm 5: 5). Dengan tema itu Paus berharap bahwa umat Kristiani di setiap Gereja lokal mereka, dapat menjadikan perayaan Yubileum ini sebagai kesempatan untuk berjumpa dengan Kristus ‘pengharapan kita’ (1Tim 1: 1) [SNC 1].
Tema pengharapan menjadi perhatian Paus Fransiskus, sebagaimana telah disampaikannya dalam berbagai kesempatan atau beberapa dokumen yang ia tulis. Misalnya dalam Pesan yang ia sampaikan kepada kaum muda pada Hari Orang Muda Sedunia yang ke-38 dan ke-39: Yang pertama dengan tema “Bersukacita dalam Pengharapan” (Rm 12:12) dan yang kedua dengan tema “Mereka yang Berharap kepada Tuhan Berjalan tanpa Merasa Lelah” (bdk Yes 40:31). Dua Pesan itu ditempatkan Paus dalam rangka persiapan perayaan Tahun Yubileum 2025.
Dokumen lain dari ajaran Gereja Katolik Roma yang memberi petunjuk dalam diskursus tentang Harapan Kristiani ialah Ensiklik Paus Benediktus XVI, Spe Salvi yang dikeluarkan di Roma pada tahun 2007. Pada bagian akhir dari Ensiklik ini, Paus Benediktus menampilkan figur Bunda Maria sebagai model pengharapan Kristiani. Sebagai Bunda Gereja, Maria adalah Bunda Pengharapan. Seruan kepada Maria Salam Bintang Laut (Latin: Ave Maris Stella) yang telah dikenal sejak abad ke-VIII atau ke-IX memperkaya bahasan tentang Teologi Harapan.
Josef Wohlmuth[12] misalnya menawarkan tiga aspek metodologis diskursus tentang eskatologi. Pertama, eskato-estetis yaitu kesadaran bahwa manusia yang terbatas tidak mampu memahami Yang Tak Terbatas. Manusia dianugerahi potensi tak berhingga dalam dirinya, sehingga ia bertanya dalam horizon yang melampaui dirinya; di pihak lain, ia adalah makhluk indrawi, yang hidup dalam ruang dan waktu, serta bergantung pada bahasa dan simbol yang terbatas.
Eskatologi mengajukan pertanyaan paling misterius karena manusia mencari jawaban tentang realitas akhir definitif, tetapi yang masih ia nantikan dan yang tentangnya belum ada suatu kesaksian yang gamblang. Api Penyucian, Neraka, Firdaus, dan Surga merupakan “tempat” yang jauh melampaui kategori nalar manusia, dan asing bagi cara berpikir modern.
Dikasteri Doktrin Iman di Vatikan menegaskan perlunya penggunaan bahasa metafora dan simbolik dalam mengekspresikan makna realitas eskatologis yang ditampilkan dalam teks-teks biblis. Di pihak lain disadari pula perlunya menghindari imajinasi dan fantasi yang berlebihan, yang justru dapat mengaburkan makna teologis di baliknya.[13]
Ketegangan dalam diri manusia ini telah disadari oleh St. Agustinus. Uskup Hippo membedakan dengan jelas perbedaan antara waktu dan kekekalan. Eskatologi merupakan suatu upaya manusia, makhluk yang terbatas untuk menafsirkan horizon ilahi. Bahasa manusia (teologi kita) merupakan sebuah estetika penafsiran. Manusia perlu menyadari bahwa di satu pihak tersedia bahasa biblis-teologis yang membantunya; di lain pihak horizon nalarnya terbatas. Oleh karena itu perlu dihindari tendensi menjadikan mutlak bahasa simbolik tentang eskatologi dalam tradisi Gereja, ritus perayaan liturgis, maupun simbol dalam dunia seni.
Hayes merangkum dengan baik poin tentang keterbatasan bahasa simbol-teologis.[14] Orang Kristiani percaya akan suatu masa depan dalam Tuhan – Dia yang adalah “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (Why 22: 13). Di lain pihak orang Kristiani tidak tahu secara persis bagaimana itu akan terjadi. Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa eskatologi tidak sama dengan futurologi.
Perlu dibedakan antara kesadaran eskatologis (eschatology awareness) dan pesona apokaliptik (apocalyptic fascination). Pesona apokaliptik bukan esensi iman Kristiani! Yesus sendiri menghindari pesona apokaliptik: “Tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat 24: 36).
Aspek yang kedua disebut eskato-praksis. Langkah ini menegaskan pentingnya praksis tanggung jawab manusia dalam mewujudkan harapan ke masa depan. Harapan bukan sekedar perasaan optimis, bukan pula suatu imajinasi atau ilusi tentang masa depan. Harapan itu berdimensi praktis: Orang yang berpengharapan terlibat dalam praktik solidaritas kemanusiaan berhadapan dengan pengalaman pahit dan tragis yang dialami sesamanya.
Konsili Vatikan II mengingatkan Kaum Awam Katolik untuk menempatkan harapan hidupnya dalam konteks keikutsertaan mereka dalam tugas kenabian Kristus; hendaknya mereka tidak menyembunyikan harapan di lubuk hati, melainkan mengungkapkannya dalam wujud pertobatan yang terus-menerus, serta dalam upaya melawan kuasa kegelapan dan roh jahat (bdk Ef 6: 12), juga melalui struktur hidup duniawi [LG 35]. Konsili juga menegaskan bahwa “harapan akan hidup surgawi tidak meniadakan tanggung jawab di dunia sekarang” (GS 39).
Ketiga, aspek eskato-logis. Kebenaran “logis” seperti apa yang dapat menjadi pegangan bagi orang beriman tentang eskatologi? Jika tidak ada suatu kebenaran yang menjamin tujuan akhir ziarah hidup manusia, bukankah sejarah dunia itu dramatis, dan kebenaran tentang Allah pantas dipertanyakan? Dengan kata lain, “tanpa kepercayaan kepada Allah, sejarah menjadi absurd.”[15]
Di hadapan keterbatasan nalar manusia memahami rancangan Tuhan, diskursus Teologi Harapan yang dipaparkan dalam studi saya ini mengandalkan metodologi teologi klasik yang dikemukakan oleh Anselmus Canterbury, fides quaerens intellectum. Prinsip ini menegaskan peran iman kepercayaan yang mendahului pertimbangan nalar. Dalam konteks pengharapan, rumusan anselmian itu menjadi spes quaerens intellectum, berharap agar dapat mengerti.[16]
Pengaruh teologi St Agustinus Hippo dalam kepemimpinan Paus Leo XIV yang tampak dalam seruan damai, menandakan suatu Teologi Perdamaian. Damai spiritual adalah kondisi keselamatan akhir segenap ciptaan. Sebagai peziarah manusia mengharapkan damai yang utuh dan pasti, yaitu kesatuan dengan Kristus yang telah bangkit mengalahkan maut.
[1] Gagliardi, La Verità è Sintetica, 801; Pomazansky, Orthodox Dogmatic Theology, 332.
[2] Wohlmuth, Mistero della Transformazione, 57-58.
[3] Hayes, Visions of a Future, 11.
[4] Vicenzo di Pilato, Questo Tempo e il Suo Oltre, 4.
[5] Groenen, Soteriologi Alkitabiah, 11-12.
[6] Groenen, Soteriologi Alkitabiah, 34, 52.
[7] Greonen, Soteriologi Alkitabiah, 74, 76.
[8] Huian, “The Mystery of the Resurrection”, 49, 51.
[9] Groenen, Kebangkitan, 93.
[10] Basilius Agung, Homili tentang enam hari penciptaan (LS 244).
[11] Von Balthasar, “Some Points of Eschatology”, 260-261.
[12] Wohlmuth, Mistero della Trasforazione, 57-58; 241-242.
[13] Greonen, Soteriologi Alkitabiah, 257.
[14] Hayes, A window to the divine, 66-68.
[15] Greonen, Soteriologi Alkitabiah, 262.
[16] Kelly, Eschatology and Hope, 53.
Terimakasih Pater, semakin memperjelas pemahaman akan kebangkitan teologi pengharapan.
Terimakasih Pater.,.. untuk penjelasan yg mendalam tentang kebangkitan Teologi Harapan.
Terima kasih Pater. Sangat menguatkan.
Terima kasih pater atas penjelasannya. _Salam dan doa, semoga pater sehat selalu dan senantiasa dalam perlindungan TUHAN.