Gereja Katolik merupakan pesekutuan umat Allah yang percaya akan Yesus Putra Allah, yang menderita dan wafat di salib, turun ke Tempat Penantian pada hari ketiga, bangkit dari antara orang mati, naik ke Surga, dan yang akan datang mengadili orang hidup dan mati. Paskah Kristus mendasari keyakinan Gereja akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal.
Kutipan dari Credo di atas merangkum topik sentral Teologi Harapan atau Eskatologi, yaitu disiplin teologis yang mengkaji seluk-beluk akhir zaman yang definitif: Apakah ada hidup sesudah mati? Jika ada, bagaimana situasinya? Apakah sifatnya kekal?
Pertanyaan-pertanyaan tentang realitas akhir yang definitif itu nyatanya tidak dapat dipecahkan secara tuntas di dunia. Manusia mengalami bahwa ada kepastian sekaligus ketidakpastian tentang keselamatan yang ia dambakan. Ada kepastian karena Allah yang Maha Setia tentu setia mengerjakan keselamatan bagi umat-Nya.
Di sisi lain ada ketidakpastian karena bagi manusia keselamatan itu belum terwujud atau masih berupa pertanyaan: Kapan damai sejahtera sungguh terwujud? Keselamatan sudah tersingkap sekarang, tetapi belum sempurna, ibarat suatu utopia ilahi (Greonen 1988: 11-12).
Kristus Harapan Kita
Dasar harapan Kristiani ialah Paskah. Tanpa kebangkitan Kristus, tidak ada harapan akan hidup abadi bagi umat-Nya. Kebangkitan Yesus merupakan model kebangkitan kita, sebab dengan kebangkitan-Nya Ia mengantisipasi nasib eskatologis manusia (Huian 2024: 49, 51).
Rasul Paulus merumuskan korelasi antara kebangkitan Kristus dan iman Kristiani: “Andai kata Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15: 14). Kebangkitan Kristus membuka tabir bagi para pengikut-Nya akan sebuah masa depan baru. “Jikalau kita hanya dalam hidup ini menaruh pengharapan pada Kristus, kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1Kor 15: 19).
Iman Gereja Katolik
Gereja Katolik memiliki bahasa khas tentang realitas akhir. Menurut KGK, Eskatologi membicarakan tentang Kematian (1006-1104), Api Penyucian atau Purgatori (1030-1032), Neraka (1033-1037), Surga (1023-1-29), dan Pengadilan Terakhir (1038-1041).
Orang Katolik memaknai kematian sebagai bagian dari iman, pintu masuk menuju hidup kekal. Fransiskus Assisi misalnya, memaknai manusia sebagai musafir dan perantau di dunia, dan maut sebagai saudari. Maut bukan final, melainkan transitus menuju sukacita kekal.
Gereja meyakini bahwa orang yang berbuat baik selama hidupnya akan masuk dalam hidup abadi di surga; sebaliknya yang menolak kasih Allah dihukum dalam neraka. Neraka identik dengan penderitaan, sebab para pendosa menerima ganjaran api kekal.
Tradisi Katolik meyakini adanya Api Penyucian, suatu masa peralihan berupa pemurnian bagi orang yang berbuat dosa ringan, agar pantas memandang wajah Allah dari muka ke muka. Akhirnya Gereja meyakini adanya Pengadilan Terakhir, yaitu saat ketika Kristus datang kembali untuk mengadili semua manusia, disertai kebangkitan badan.
Bagi Gereja, hidup kekal terjamin dalam Kristus. Dalam Gereja hidup itu dihadirkan terutama dalam Ekaristi. “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6: 54). Dalam Ekaristi, yang oleh Rasul Paulus disebut Perjamuan Tuhan, eskatologi menjadi present eschatology.
Kontribusi Para Paus
Eskatologi juga membahas keselamatan akhir bagi Ibu Bumi. Topik ini mendorong kita mewujudkan usaha konkret mengatasi krisis ekologis. Gereja menjadi tanda pengharapan dengan terlibat memulihkan rumah bumi yang terluka oleh ketamakan manusia.
Gereja juga berhadapan dengan fakta kemajuan teknologi. Teknologi Akal Imitasi memunculkan pertanyaan: Di mana harapan Kristiani di tengah kemajuan teknologi yang menawarkan optimisme masa depan? Isu-isu ini diulas oleh Paus Benediktus XVI dalam Spe Salvi maupun oleh Paus Fransiskus dalam Spes Non Confundit.
Tahun Yubileum 2025 dengan tema Peziarah Harapan diinspirasikan oleh perkataan Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma, Pengharapan tidak Mengecewakan (Rm 5: 5). Paus Fransiskus berharap bahwa setiap Gereja lokal dapat menjadikan perayaan Yubileum ini sebagai kesempatan berjumpa dengan Kristus ‘pengharapan kita’ (1Tim 1: 1) [SNC 1].
Tema pengharapan telah disampaikan Paus Fransiskus pada Hari Orang Muda Sedunia yang ke-38 dan ke-39: Pertama dengan tema Bersukacita dalam Pengharapan (Rm 12:12), kedua dengan tema Mereka yang Berharap kepada Tuhan Berjalan tanpa Merasa Lelah (Yes 40:31).
Kedua Paus sama-sama menampilkan figur Bunda Maria sebagai model pengharapan Gereja. Paus Fransiskus memberi gelar Mater Spei kepada Bunda Maria di tengah dunia yang terluka karena perang. Seruan kepada Maria Ave Maris Stella dari abad ke-VIII dimaknai Paus Benediktus sebagai bintang fajar bagi dunia dalam mengarungi badai kehidupan.
Spirit Agustinian dalam diri Paus Leo XIV yang terpancar dalam seruan perdamaian juga menandakan harapan jiwa akan damai. Dalam kesinambungan dengan Dilexit Nos, Dilexi Te menyerukan rekonsiliasi dunia oleh kasih Allah yang terpancar dari Hati Kudus Yesus.
Eskatologi mengajukan pertanyaan paling misterius karena ia mencari jawaban tentang realitas akhir definitif, tetapi yang masih dinantikan. Tempat Penantian, Neraka, Firdaus, dan Surga merupakan ‘tempat’ yang melampaui kategori ruang dan waktu manusia.
Dikasteri Doktrin Iman menegaskan perlunya memberi makna teologis pada bahasa metafora dan simbolik dalam menggali makna realitas eskatologis yang ditampilkan Alkitab.
Orang Kristiani percaya akan suatu masa depan dalam Tuhan, Alfa dan Omega, yang Pertama dan yang Terkemudian, Awal dan Akhir (Why 22: 13). Meski demikian orang Kristiani tidak tahu secara persis bagaimana semua itu akan terjadi. Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa eskatologi tidak identik dengan futurologi (Hayes 2009: 66-68).
Perlu dibedakan antara kesadaran eskatologis dan pesona apokaliptik. Yesus sendiri menghindari pesona apokaliptik: “Tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri” (Mat 24: 36).
Seluas Keabadian
Josef Wohlmuth (2013: 57-58, 241-242) mengajukan tiga aspek metodologis untuk memaknai eskatologi. Pertama, eskato-estetis yaitu etos pemahaman yang disertai kejujuran mengenai keterbatasan nalar di hadapan sang Misteri. Manusia dapat bertanya tentang horizon makna akhir yang definitif, namun ia senantiasa dibatasi oleh bahasa dan konteks.
Kedua, eskato-praksis. Aspek ini menegaskan pentingnya tanggung jawab manusia dalam mewujudkan harapan akan langit dan bumi baru. Harapan itu berdimensi praktis: Orang yang berpengharapan mau berbela rasa ketika berhadapan dengan pengalaman tragis yang dialami sesama. Orang yang berpengharapan rela berkorban bagi sesama.
Konsili Vatikan II mendorong umat Katolik untuk mewujudkan pengharapan melalui keikutsertaan mereka dalam pelayanan kenabian Kristus, dalam upaya nyata melawan kuasa kegelapan dan roh jahat (Ef 6: 12) [LG 35]. Bagi Konsili “harapan akan hidup surgawi tidak meniadakan tanggung jawab di dunia sekarang” (GS 39).
Ketiga, aspek eskato-logis. Kebenaran ‘logis’ seperti apa yang dapat menjadi pegangan bagi Gereja Katolik tentang eskatologi? Seandainya tidak ada Kebenaran Definitif yang menjamin pencarian makna hidup manusia, bukankah sejarah dunia ini absurd?
Satu hal pasti: Dalam Allah yang hidup, liang kubur bukanlah akhir dari segalanya. Allah akan membangkitkan orang mati dan memulihkan mereka yang hancur lebur. Hanya kalau ada kebangkitan, kita dapat mengharapkan sesuatu yang lebih baik bagi merek yang telah mati.
Santo Agustinus: “Tatkala kami menggapai-Mu, kami mengakhiri segala sesuatu yang telah kami katakan namun tak terwujud, dan Engkau tetap sama, Engkau segala dalam segala; kami hanya memuliakan Dikau, dan seluruh diri kami bersatu dalam Engkau” (De Trin. XV: 28.51).


