Kata “Ekaristi” berasal dari kata Eucharistia (istilah bahasa Yunani, yang berarti ‘puji syukur’. Makna Ekaristi dapat kita pahami dari pengalaman konkret sehari-hari. Kita ambil sebagai contoh, pengalaman makan bersama.
Contoh ini dipilih karena memang dengan cara itu pula Yesus mewariskan makna Ekaristi: Ambillah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku. Ambillah dan minumlah, inilah Darah-Ku. Lalu Ia mengamanatkan para murid-Nya untuk merayakan Ekaristi: ‘Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku’.
Yesus tidak hanya mengadakan perjamuan makan sebelum kematian-Nya. Selama hidup-Nya Ia juga sering kali mengadakan perjamuan sebagai ungkapan puji dan syukur, solidaritas dengan oran-orang yang berkekurangan, maupun pengampunan bagi para pendosa. Setelah bangkit dari maut, Ia juga mengadakan perjamuan, misalnya bersama dua murid di Emaus: ketika Ia memecahakan roti mata para murid terbuka dan mereka mengenal Dia.
Makan bersama merupakan bagian dari kebutuhan hidup manusia. Makan bersama itu bermakna, bukan hanya karena makanan, tetapi terutama relasi yang dibangun melaluinya. Relasi melalui makan bersama itu itu bermakna intim dan personal. “There is nothing more vital and intimate than eating…, eating is also an experience of extreme nearness, even intimacy….To Christians, food can be thought of as an expression of agape….Eating can be the means not only of physical and emotional change, but also of spiritual transformation” (Montoya).
Pengalaman paling pertama makan bersama kiranya terjadi dalam keluarga. Keluarga-keluarga tradisional pada umumnya mengadakan makan bersama di rumah: Biasanya dipimpin bapak keluarga; diadakan doa pada awal dan akhir makan; semua duduk bersama mengelilingi meja; sering kali orang tua memberi nasihat kepada anak-anak sambil makan, karena ada keyakinan tradisional bahwa makanan akan dicerna bersama nasihat atau kata-kata bijak orangtua.
Tampaknya pengalaman seperti ini terasa asing bagi keluarga-keluarga di zaman now. Dengan adanya produksi fast food dan kesibukan pribadi, makna makan bersama semakin kabur.
Pengalaman makan bersama juga terjadi dalam ruang lingkup atau alasan yang lebih beragam: dalam komunitas, bersama para sahabat, dan berbagai kesempatan lainnya. Disebut ‘makan bersama’ karena ada makanan yang dihidangkan dan terjadi dalam kebersamaan. Sambil menikmati makanan orang-orang saling membagi rasa sukacita; ada relasi yang dibangun ataupun dibuat lebih erat sambil mengambil bagian dari hidangan yang sama itu.
Ada pula tujuan lebih beragam yang diungkapkan dengan makan bersama: Sering kali kita mengadakannya sebagai ucapan syukur atas karya-karya Tuhan yang telah terjadi dalam hidup. Misalnya, syukur ulang tahun, syukur lulus ujian, mendapat pekerjaan. Makan bersama juga diadakan untuk menyambut orang-orang yang kita kasihi. Sebaliknya kita juga mengadakan perjamuan ketika hendak berpisah dengan seseorang, karena kita berharap bahwa pada kesempatan lain kita dapat berkumpul kembali dalam suasana sukacita.
Dengan kata lain makanan bukan hanya materi (thing), tetapi juga makna (meaning); dia adalah tanda yang menyatukan: “Food as a sensual medium of communication” (Montoya). Peristiwa ‘makan bersama’ tidak hanya mengungkapakan relasi luaran tetapi juga ikatan batin antara mereka yang ikut di dalamnya; peristiwa ini memenuhi bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kerinduan manusia sebagai makhluk sosial.
Yang kita miliki di meja makan itu bukan hanya makanan (food) tetapi santapan (meals). Yang pertama berkaitan dengan makanan-material, yang kedua dengan kebersamaan orang-orang yang berbagi dari makan jasmani: “The meal is as much a fundamental element of humanity as shared rationality or language” (O’loughlin).
Sangat menarik bahwa Yesus memakai sarana perjamuan untuk memperlihatkan kasih Allah –laksana bapa yang menyedikan perjamuan untuk menyambut anak bungsu yang telah ‘mati’, namun bangkit untuk kembali.
Dalam Ekaristi semua orang bersatu dalam perjamuan. Kristus adalah tuan pestanya. Santo Paulus menggunakan istilah yang tepat untuk Ekaristi: Dominica cena (perjamuan Tuhan), karena Tuhan adalah makanan dalam Ekaristi. Ia juga memaknai Ekaristi sebagai ungkapan koinōnia (persekutuan) dalam hidup Yesus. Dalam Ekaristi, Tubuh Kristus lah penyatu jemaat:
“Karena roti adalah satu, maka kita sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10: 17). Jadi, Ekaristi merupakan anugerah kesatuan paling istimewa, karena dengannya semua jemaat disatukan dalam kehidupan Allah sendiri. Dengan kata lain, “kebersamaan Ekaristik tidak dibangun oleh manusia sendiri, tetapi dibangun oleh Kristus sebagai Tuan Rumah melalui hidangan-Nya, yang adalah diri-Nya sendiri” (Kenon Osborn).
Sekarang, tentang makanan yang kita santap sehari-hari. Pernahkah Anda sedikit memikirkan tentang bagaimana mungkin makanan itu tersaji di hadapan Anda, siap disantap: tentang petani yang memeras keringat bercocok tanam, tentang pekerja yang mengangkut hasil pertanian, tentang orang yang berjualan di pasar, yang mengolahnya penuh cita rasa, tentang orang yang menyajikannya, dan sekarang itu terhidang di meja Anda?
Pernahkah Anda juga berpikir tentang unsur-unsur pada makanan itu: Padanya terkandung berbagai zat, nutrisi, ataupun elemen-elemen yang berpadu membentuk hasil produksi yang terhidang sebagai makanan. Makanan juga mengandung unsur kekebalan yang berguna bagi ketahanan tubuh manusia. Ketika dikonsumsi, elemen-elemen makanan ‘berinkaransi’ menjadi darah dan daging yang vital bagi metabolisme biologis tubuh tetap berlangsung. Itulah hidup! Dalam perjamuan akhir Yesus berkata: “Inilah tubuh-Ku… terimalah dan makanlah, inilah darah Ku, terimalah dan minumlah…”!
Jika makanan alami itu begitu bermanfaat bagi hidup jasmani kita, bukankah kata-kata Yesus itu begitu mendalam maknanya bagi hidup kita secara utuh?
Yesus sendiri mengindentikkan hidup kekal dengan tindakan makan daging dan minum darah-Nya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia” (6: 56). Ekaristi adalah anugerah untuk tinggal dalam Kristus, bersatu dengan-Nya lahir dan batin, artinya hidup kekal.
Tindakan ‘memakan daging’ dan ‘minum darah’ seseorang merupakan sesuatu yang brutal dan terlarang (Mzm 27: 2; Zak 11: 9). Kata-kata itu memang bernada negatif. Karena itu jika Yesus mau menggunakannya untuk mmenyampaikan maksud yang sangat penting, maka Ia mau menekankan secara mendalam dan kuat makna Ekaristi” (Brown). Merayakan Ekaristi berarti bersatu dalam jaminan hidup kekal, yaitu Kristus sendiri.
Selamat pagi pater,,Ekaristi adalah anugerah tinggal dalam Kristus,bersatu denganNya lahir dan batin artinya hidup kekal**Terima kasih pater semoga dengan membaca tulisan ini,dapat menambah/ menyempurnakan pemahaman para katekis.. Ditunggu tulisan berikutnya. (Salam &Doa..semoga ama romo sehat selalu)
Tuhan memberkati selalu ama.
Amiin ama romo