Tahukah Anda bahwa Anda bermartabat sebagai citra Allah? Bersyukurkah Anda bahwa Anda istimewa di mata Tuhan? Santo Agustinus, usukup Hippo, melukiskan keluhuran martabat manusia dalam rasa kagumnya akan tiga kemampuan manusia: ingatan/memori, intelek dan kehendak (memoria-intellectus-voluntas).
Tiga kemampuan ini didasarkan pada keyakinan biblis akan martabat manusia sebagai makhluk yang dijadikan secitra Sang Pencipta. “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej. 1: 26).
Berkat memori kita mengingat dan menyimpan informasi. Memori juga berperan menyusun peristiwa-peristiwa dalam ruang ingatan. Aktivitas memori mencakup pembedaan roh (discernment), yaitu menimbang variasi pengetahuan dan informasi, agar hal-hal yang diingat itu bermakna dan bermanfaat. Ibarat sistem komputer, ketika folder memori kita menyimpan terlalu banyak file atau menyimpan secara serampang, memori menjadi lambat, terjadi tumpang-tindih file. Manusia membutuhkan sebuah memori yang baik: tidak penting soal ukuran besar-kecilnya; yang terpenting bersih dan menyimpan sesuai kapasitasnya. Dan itu mungkin berkat sebuah ‘kriteria seleksi’ yang telah disediakan Tuhan dalam ingatan kita.
Daya intelek memungkinkan pemahaman yang logis. Intelek memampukan kita mengerti prinsip-prinsip utama ilmu pengetahuan. Formuliasi 2+2= 4 misalnya, bukan murni hafalan memori melainkan sesuatu yang perlu dimengerti secara logis. Berkata ‘mengerti’ atau ‘tidak mengerti’ kepada seseorang tentu bukan sebuah otomatisme, melainkan ungkapan dari retorika berpikir. Sebagaimana peran memori, fungsi intelek digerakkan oleh benih ‘intelek definitif’ yang menerangi akal budi agar manusia memiliki pengertian yang jernih.
Manusia juga mampu menghendaki. Terdapat kaitan erat antara menghendaki dan mencintai. Kemampun ini pada umumnya dikaitkan dengan keterarahan pada cita-cita manusia menjadi diri yang utuh. Dalam diri manusia terdapat sebuah kriteria kebaikan tertinggi yang selalu lebih tinggi dari kebaikan yang dapat diperolehnya. Suatu pilihan bersifat baik karena ia terarah kepada yang terbaik. Begitu kuat dan mendalam daya tarik kebaikan tertinggi itu sehingga manusia mendambakannya. Orang-orang beragama meyakini bahwa kebaikan tertinggi yang didambakannya adalah Tuhan, yang dalam iman Kristen diidentikkan dengan Kasih.
Mari kita merefleksikan lebih dalam betapa indahnya triade kemampuan tersebut. Ketika kita mengingat sesuatu, pada dasarnya kita sedang bertanya tentang awal mula sebuah peristiwa. Sering kali kita perlu merunut kembali rangkaian peristiwa masa lalu untuk menemukan sebab awalnya. Dalam pedagogi hidup rohani misalnya, orang diajak untuk menemukan akar pengalaman hidup agar dapat memaknainya secara lebih baik. Hidup manusia berjalan ke depan, namun maknanya digali dengan melihat kembali (baca: berdamai) dengan masa lalu. Kemampuan ini mengajak kita memaknai keindahan kodrat asali kita sebagai ciptaan Allah Bapa: Aku sudah dicintai maka aku dijadikan! Manusia bukan makhluk yang sekonyong-konyong ada. Ia dijadikan.
Ketika kita mencoba mengerti argumen seseorang, kiranya yang sedang kita lakukan ialah berusaha masuk dalam sebuah cara berpikir agar dapat menarik kesimpulan dan menentukan sikap (judicatio) kita sendiri. Atau, sebagaimana dimengerti dalam Logika, kita berusaha mengerti premis-premis sebelum menarik kesimpulan secara tepat. Proses mengerti itulah yang pada akhirnya membuahkan pernyataan ‘mengerti’ atau sebaliknya ‘tidak mengerti’, ‘setuju’ atau ‘menolak’. Peran intelek analog dengan peran Sabda Ilahi, yang oleh St. Bonaventura disebut rasio kekal. Melalui Kristus Allah menawarkan cara berpikir-Nya kepada manusia. Melalui hidup dan pribadi orang Nazaret itu, pendosa ditolong mengerti modus berpikir Allah, agar dengan demikian ia terdorong membarui hidupnya sesuai logika Allah (rahmat), dan tidak terjebak dalam logika dunia (dosa).
Ketika kita berkehendak melakukan perbuatan baik, secara tertentu kita sedang mengevaluasi diri dan merancang hidup baru. Dengan kehendak baik, ada cita-cita yang ingin kita capai dalam hidup. Injil Yohanes (Yoh. 20: 22) mengabarkan bahwa karunia-karunia Roh membarui hati para murid, dan menjadikan mereka ciptaan baru; mereka tidak lagi terkungkung dalam rasa takut. Sebelum kembali ke rumah Bapa-Nya, Yesus menjanjikan Roh Kudus yang akan mengajarkan kebenaran-kebenaran kepada manusia. Roh Kudus menginsipirasi kita untuk terus memurnikan kehendak, sehingga semakin mencintai kehendak Allah.
Triade kemampuan manusia ini bermakna mendalam bagi makna hidup manusia. Agustinus meyakini bahwa manusia dijadikan sebagai makhluk berkapasitas ilahi (homo capax Dei). Hal yang mengagumkan bahwa jiwa manusia dikaruniai rahmat agara ia dapat terarah kepada Allah Tritunggal: Memori mengantisipasi Pengetahuan Kekal, inteligensi terarah kepada pencarian Kebenaran Abadi (Veritas), dan kehendak yang mendambakan Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum), yaitu kasih Allah tanpa pamrih (Caritas). Kita perlu membebaskan diri dari banyak kriteria banal-luaran dan mengenakan kriteria baru, yaitu sebagai citra Allah.