Disable Jesus. Dari pengalaman hidup bersama para penyandang disabilitas di komunitas L’Arche yang dimulainya pada 1964, salah satu kesaksian menarik Jean Vanier dalam We Need One Another (2018), ialah imannya akan kehadiran figur Yesus yang ‘disable’.
Dalam refleksi Vanier, kata-kata Injili “Allah menjadi manusia” adalah sebuah ekspresi yang kuat. Allah bukan hanya menjadi manusia. Ia juga bukan hanya menjadi seorang pria. Ia “menjadi daging”. Daging itu lemah dan rapuh. “Jesus became vulnurable” (34). Dalam Injil Yohanes Bab I dikatakan bahwa Allah menjadi manusia. Manusia adalah daging. Allah memilih menjelmakan diri dalam daging. Maka kata-kata Injil tersebut dapat dirumuskan secara lain: “the Word became vulnurable” (78).
Yesus menyampaikan pesan baru kepada manusia: Manusia itu daging, dan ia diterima Tuhan sebagaimana adanya dia. Dengan demikian manusia juga dapat belajar menerima kelemahan dan keterbatasan sesama. Kita menolak Yesus karena kita takut melihat kekurangan dalam diri sendiri. Kita takut luka-luka kita terlihat orang lain; kita takut menyentuh luka-luka kita. Agama dan budaya tertentu dapat membentuk keyakinan bahwa Tuhan itu penguasa yang menagih persembahan, sehingga manusia takut dihukum Tuhan; ia sibuk mempersembahkan kurban untuk memengaruhi keputusan Tuhan. Yesus datang membawa cara pandang baru: Tuhan itu murah hati dan lemah lembut; Ia mau terluka seperti manusia, agar manusia tidak takut kepada Allah. Pada wajah Yesus terpancar Allah yang berkata: “Jangan takut”! Ia mengundang kita memikul salib dan mengikuti Dia. Ia juga membawa kita menuju kebangkitan. “We are the children of the cross dan children of the Ressurection” (71).
Bebas dari Rasa Takut. Kitab Kejadian mengisahkan tentang rasa takut manusia. Ketika Adam mendengar suara Tuhan di Firdaus, ia menjadi takut: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” (Kej 3: 10). Apa yang ditakuti manusia? Saya takut kelihatan miskin, lemah, tidak berbakat. Rasa takut membuat manusia bersembunyi. Ia membuat benteng bagi dirinya. Di mana manusia bersembunyi? Di balik kuasa, posisi, posisi dan di balik tembok superioritas budaya dan bangsa. Manusia takut kalai batas-batas kenyamanannya dibuka. Semua orang memiliki salib dalam dirinya. Namun ia menolaknya. Ia ingin tampak sempurna dan berpengaruh. Ia merasa sempurna. Manusia takut mengakui: ‘saya membutuhkan kamu’, ‘saya membutuhkan Gereja dan komunitas’.
Seseorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus: “Siapakah sesamaku manusia”? (Luk 10: 29). Yesus tidak menunjuk alasan tertentu untuk mengasihi. Ia mengisahkan tentang orang Samaria yang baik hati. Ada sesorang yang dirampok para penyamun dalam perjalanan. Ia ditinggalkan terkapar di jalan, terluka, hampir mati. Dua orang religus Yahudi yang melihatnya, lewat begitu saja. Mereka dikuasai rasa takut. Orang Samaria juga lewat di situ. Ia tidak takut. Di hadapan orang yang hampir mati itu, ia melepaskan stigma bahwa orang Samaria adalah musuh orang Yahudi. Ia menjadikan musuh menjadi sesama. Ia membuka tembok batas antara manusia melalui tindakan kasih. Kedua pribadi yang terpisah oleh berbagai alasan, menyatu sebagai sahabat dalam kasih. “Pergi dan lakukan seperti itu”, kata Yesus ahli Taurat itu.
Misteri Relasi. Pengalaman negatif yang dialami kaum disabilitas ialah penolakan. Hal itu dieskpresikan dalam tindakan ‘kekerasan’ yang tampak dalam sikap mereka: berteriak dan memukul, memberontak. Sebenarnya potensi kekerasan ada dalam diri setiap manusia. Hanya saja ada yang menjadi lunak karena kasih yang dialami. Sayangnya ada orang yang mengalami penolakan, sehingga potensi itu terakumulasi. Mereka kurang atau tidak mengalami penerimaan pihak lain. Ekspresi para disabilitas tidak menuntut kuasa atau posisi. Mereka merindukan relasi. Mereka memberi kesaksian bahwa relasi merupakan ruang istimewa dalam diri manusia. Memaknai pengalaman Jean Vanier, Hendri Nuowen menulis: “Jean Vanier membantu Anda menyentuh ruang dalam diri, sebuah tempat yang hanya dimasuki sedikit orang”.
Dunia kita adalah dunia yang disable. Batas-batas ras, budaya dan agama, intrik-intrik politik, kekuasaan dan kepentingan ekonomi, perang dan konflik telah menutup ruang relasi dalam diri manusia. Kita berada dalam dunia yang terluka (wounded world). Kodrat manusia sebagai makhluk relasional terluka. Kita butuh sesama. Kita butuh orang lain. Setiap pribadi butuh sebuah komunitas. Yesus datang untuk menyembuhkan luka dunia: Ia menghendaki agar kita satu dalam persekutuan kasih. Dalam kasih tidak ada pihak yang kuat, tidak ada pihak yang kalah, dan tidak ada pula yang terluka sebagai korban. Semua umat manusia setara: tak ada abilitas dan disabilitas. Semua dipanggil dan ditransformasi oleh Yesus. Yesus tidak mencari murid yang sempurna, tetapi yang terbuka untuk dibentuk menjadi lebih baik. Yesus mencintai setiap pribadi sebagaimana adanya dia. “Jesus Loves me as I am” (93).
Kultur dunia sekarang ialah persaingan, sukses, efisiensi. Dan oleh kekuatan media sosial, kultur itu telah membentuk gaya hidup manusia. Bagaimana dengan para penyandang disabilitas? Kultur dunia menolak mereka yang tidak mampu. Namun itu bukan cara Tuhan. Ia hadir menggandeng tangan orang lemah dan tidak berdaya: “God hold them and love them.. God has chosen the weak” (86). Yesus mewahyukan dua hal istimewa: Pertama, Allah adalah kasih; Ia mengasihi. Kedua, Allah menghadirkan kasih lewat sesama. Relasi dengan sesama membawa perubahan hidup. Kasih menguatkan harapan: Dengan kasih, “we can heal one another” (104). Yesus sendiri menjadi sahabat sejati. Sahabat sejati turut merasakan kelemahan kita.
Kasih Membawa Harapan. Tokoh Lazarus dalam Injil adalah figur seorang disable. Ia tidak banyak berbicara. Namun dicintai keluarganya. Yesus juga mengasihinya sebagai sahabat (Yoh. 11: 36). Ketika mengetahui bahwa ia telah meninggal Yesus datang ke Betania. Telah empat hari ia dikuburkan. Dengan sedih Marta berkata: “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati.” (11: 39). Beberapa hari kemudian, Yesus kembali berada di rumah Lazarus, ikut dalam perjamuan syukur atas kebangkitan Lazarus. Sekarang yang tercium ialah bau minyak yang semerbak di seluruh rumah (12: 3). Bau kematian telah dihalau. Lazarus telah bebas. Yesus tidak hanya menjadikan kita sahabat-Nya. Ia juga memungkinkan hidup baru. Dialah sumber harapan bagi penyempurnaan hidup manusia: “This is our resurrection. Jesus calls us from the tomb to give us his spirit, a spirit of love, wisdom, and community, for loving one another” (133).
Bagus pater. Terimakasih tulisan ini menjadi permenungan yang mendalam, menyadari diri yang kurang terbuka. Malu dan takut akan pandangan orang lain pada diri.