Christus Medium
  • Humaniora
  • Teologi
  • Dialog Teologi dan Sains
  • Filsafat
  • Buku
  • Tentang Saya
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
Christus Medium
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
Home Humaniora

Teologi Selfie [1] ?

Mempertimbangkan perlunya refleksi teologis tentang fenomena selfie.

30 Oktober 2019
inHumaniora, Teologi
12
foto dari google

Image processed by CodeCarvings Piczard ### FREE Community Edition ### on 2019-09-19 08:12:52Z | http://piczard.com | http://codecarvings.comÿÿÿ¿1âA„

Share on FacebookShare on Whats AppShare on Twitter

Perlu sebuah Teologi Selfie? Pertanyaan itu muncul dalam benak saya. Jelas bahwa Teologi yang sadar zaman tidak anti dunia digital, melainkan menjadikannya sebagai tempat (locus) berteologi.

Artikel ini memuat pertimbangan sederhana mengapa pertanyaan itu perlu dijawab positif, bahakan dikembangkan.

Identitas. “Selfies are blessings from God”, demikian tulis Craig Detweiler, seorang psikolog dan penulis populer, dalam Selfies: Searching for the Image of God in a Digital Age. Dalam sebuah wawancara ia berkata: “Bagi saya, begitu banyak krisis di negara dan budaya kita berakar pada masalah identitas. Orang-orang merasa tidak terlihat, tidak diakui, dan kurang terwakili. Dan mereka dengan putus asa menangis agar diperhatikan, ditegaskan, dan dicintai. Saya melihat selfie berakar dari kelaparan terdalam kita, kerinduan terbesar kita”.

Kebebasan. Selfie adalah bentuk ekspresi diri paling populer dalam media sosial. Kecanggihan ponsel pintar memungkinkan kita bebas memilih, bahkan merekayasa style, tempat, suasana untuk berfoto dan mengambil video. Kita berada pada dunia di mana semua orang bebas menampilkan diri. Setiap diri hadir dan ada di sana. Kebebasan ada dalam genggaman masing-masing orang. Disebut medsos, karena sifatnya sosial, terkoneksi, ada dan hadir warga yang berinteraksi. Media bukan sekedar chanel untuk dipilih, melainkan tempat kita berada; ia melingkupi kita.

Makhluk Indrawi. Medsos menjadi media yang memungkinkan kita menegaskan diri sebagai makhluk indrawi. Kita melihat dan mengamati foto, menonton dan mendengar video: Ini terkait kemampuan visual dan pencerapan. Kita mengekspresikan reaksi dengan menggunakan feature emoticon yang tersedia dalam gudget: gembira, kecewa, marah, mencintai, bahkan bahagia. Dan menarik bahwa kita menggunakan sentuhan kulit jari untuk berselancar. Selfie menegaskan ciri ini: I feel so I am. Dengan selfie kita sedang menegaskan bahwa dalam hidupnya manusia tidak hanya berpikir logis: Ia juga merasa.

Orang yang merancang gudget tentu sangat paham bahwa indra-indra manusia itu dinamis dan interaktif. Dengan kata lain, sarana gudget menegaskan bahwa kemampuan indrawi dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan pengenalan menuju sebuah komunikasi yang lebih mendalam antara manusia. Santo Bonaventura (1217-1274) misalnya meyakini bahwa ketika pancaindra digunakan dengan baik, ia menjadi pintu masuk menuju kepekaan hati (sensus cordis). Ketika kita berhenti pada hal-hal indrawi, kita hanya suka sensi, dangkal, bahkan infantil.

BacaJuga

Kekristenan di Era Posthuman

Misteri “Aku Haus”

Mengapa Maria Bergelar Advocata?

Apa Itu Neraka?

Apapun Agamamu Anda ‘Merayakan Ekaristi’

Pandangan Martin Luther tentang Bunda Maria

Perfeksionisme sosial. Sangat wajar bahwa tidak ada manusia normal yang dengan sengaja mau tampak bernampilan buruk atau jelek. Pada dasarnya manusia ingin tampak sempurna. Dalam media sosial tersedia banyak sarana yang memanjakan warga net untuk menampilkan yang menarik dan unik. Media sosial tidak terkait dengan pandangan nyata orang tentang diri saya, tetapi apa yang orang lain harapkan tentang saya (Will Storr, Selfie, 147). “Perfeksionisme sosial” tidak terkait langsung dengan nilai diri pada level etis. Ukuran perfect dalam medsos ialah pengakuan orang lain: sejauh mana harapan orang lain tentang aku terjawab. Pertanyaannya: apa kriteria terbaik tentang diriku? Untuk sementara pertanyaan ini kita simpan dulu.

Wajah. Selfie pada umumnya menampilkan wajah. Menampilkan wajah berarti menyatakan aku hadir dalam daftar absensi para netizen: Aku hadir sebagai pribadi di antara orang-orang lain. Setiap orang menegaskan diri sebagai pribadi atau person. Tetapi perlu dicatat: kata pribadi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata prosopon yang berarti ‘topeng’. Dalam dunia teater, mengenakan topeng berarti memainkan peran tertentu, tetapi bukan diri sendiri. Nah, peran teatrik sangat memerlukan topeng, tetapi hidup tentu bukan teater. Dalam hal ini selfie menjadi sarana bagi setiap netizen untuk bertanya diri, dengan jujur membedakan antara topeng dan wajah asli dirinya.

Exist atau co-exist? Kata self menegaskan eksistensi diri seseorang. Di dunia maya saya menjadi diri sendiri (to be myself), tidak ditentukan oleh siapapun. Tetapi pertanyaannya: bagaimana seseorang dapat mengklaim bahwa ia eksis (ada, diakui) di dunia, entah nyata atau maya? Jawabannya: pertama, karena seseorang ada sebagai subjek di suatu tempat atau media. Tetapi yang kedua, karena ada pengakuan dari orang lain. Bukankah ketika sebuah foto selfie tidak mendapat like dan comment berarti seseorang diabaikan? Bukankah semakin sebuah selfie mendapat banyak reaksi, artinya keberadaan seseorang semakin diakui?

Dengan kata lain, selfie justru menegaskan bahwa kita butuh sesama, kita butuh untuk berada dan hadir bersama orang lain (co-exist). Selfie yang tidak diakui tidak bedanya dengan selfless: tidak diakui alias diabaikan. Jadi selfie dapat menjadi sarana untuk menegaskan bahwa pengakuan sesama akan keberadaanku tidak cukup di dunia maya atau dengan hal lain di sekitarku, melainkan dan terutama dalam kenyataan siapa diriku apa adanya. Manusia tidak hanya membutuhkan jejaring untuk komunikasi. Ia membutuhkan perjumpaan (encounter) dan berada bersama orang lain. Bersambung.

Scotus 30/10/19

 

Tags: selfieteologi selfie
Share106SendTweet
Artikel Sebelumnya

KEHENINGAN

Artikel Berikut

Teologi Selfie [II] ?

TerkaitTulisan

Kekristenan di Era Posthuman

Kekristenan di Era Posthuman

Misteri “Aku Haus”

Misteri “Aku Haus”

Mengapa Maria Bergelar Advocata?

Apa Itu Neraka?

Apapun Agamamu Anda ‘Merayakan Ekaristi’

Pandangan Martin Luther tentang Bunda Maria

Ketika Paus Ditahan Polantas

Poin Inti Ensiklik Dilexit Nos

Komentar 12

  1. Theresia Ina Duran says:
    6 tahun yang lalu

    Ditunggu sambungan nya Pater….
    Asyk bacanya…

    Balas
  2. Iwan Jemadi says:
    6 tahun yang lalu

    Wahhh, mantappp sekali ini, Pater. Sudah terlalu banyak yg melihat Selfie dengan cara pandang yg agak pesimis dan cenderung negatif. Mempertimbangkannya dari sudut pandang teologi, memberi warna baru yg lebih positif. Ditunggu kelanjutannya, Pater. Salam

    Balas
    • Yopi Gadi says:
      6 tahun yang lalu

      Wah mantap pater untuk tulisannya…….akhirnya ada pengetahuan baru mengenai selfi

      Balas
      • Andre Atawolo says:
        6 tahun yang lalu

        Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Tuhan memberkati selalu

        Balas
  3. Fidel Haman says:
    6 tahun yang lalu

    Terimakasih pater. Saya menanti sambungannya.

    Balas
    • Enne kadem says:
      6 tahun yang lalu

      Kami para anak muda penggemar selfie sangat berkesan dengan bacaan ini

      Balas
      • Andre Atawolo says:
        6 tahun yang lalu

        Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum.

        Balas
      • Agustinus Pati Arkian Atakowa. says:
        6 tahun yang lalu

        Sangat setuju romo….Manusia membutuhkan jejaring untuk komunikasi.Ia membutuhkan perjumpaan dan berada bersama orang lain (bagi orang yang memandangnya lewat medsos ) ..Terima kasih romo ulasan mengenai Teologi Selfie.. (Salam.& Doa..semoga romo sehat selalu).

        Balas
  4. Fransiskus says:
    6 tahun yang lalu

    Mantap romo, menginspirasi…

    Balas
  5. Romaida katarina simbolon says:
    6 tahun yang lalu

    Bagus pater, hal yang biasa namun perlu mendapat perhatian agar semakin menyadari kebiasaan tersebut

    Balas
  6. Bone budiman says:
    6 tahun yang lalu

    Teologi yang menarik

    Balas
    • Andre Atawolo says:
      6 tahun yang lalu

      Thanks bro..

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terbaru

  • Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat
  • Kekristenan di Era Posthuman
  • Mukjizat Pada Seorang Swiss Guard
  • Ensiklik Mense Maio untuk Bulan Maria
  • Breaking News: Konklaf Mulai 7 Mei

Komentar Terbaru

  • Agus Pati Uban Atakowa pada Kekristenan di Era Posthuman
  • Agus Pati Uban Atakowa. pada Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat
  • Sr. Alfonsa SFD pada Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat
  • Theresia Ina Duran pada Paus Leo XIV Berdevosi kepada Maria Bunda Penasihat
  • Sr. Kristin OSU pada Mukjizat Pada Seorang Swiss Guard

Tag

AllahBonaventuraBunda MariaCorona Viruscovid-19disabilitasdoaEkaristiEnsiklik Tutti FratelliFransiskanFransiskus AssisiFratelli TuttiGerejaGereja Katolikhikmat roh kudusimanJean Vanierkarunia Roh Kuduskasihlogika kasihlogika salibManusiamanusia sebagai citra AllahnatalPatris CordePaus FransiskusPrapaskahRoh KudussabdaSalibSanta Mariasanto agustinusSanto BonaventuraSanto Fransiskus AssisiSanto YusufselfieTeilhard de ChardinTeologiteologi selfieTrinitasvirus koronawaktuwaktu dan kekekalanYesus kristusYohanes Pembaptis
@Christusmedium.com
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil Pencarian
  • Humaniora
  • Teologi
  • Dialog Teologi dan Sains
  • Filsafat
  • Buku
  • Tentang Saya

© 2018 - Andreatawolo.id