Agama dan jimat jelas adalah dua hal yang berbeda, bahkan bertentangan. Agama yang baik justru menolak sikap berhala yang umumnya dikaitkan dengan kekuatan magis dari suatu jimat. Namun praktek beragama sering kali memperlihatkan fenomena terbalik: Agama menjadi semacam jimat lantaran memiliki kekuatan untuk mengatasi persoalan hidup dan menghalau kaum kafir.
Kata agama (Bahasa Inggris: religion), berasal dari kata Latin religio, dari kata kerja religare yang berarti ‘mengikat dengan kencang’ atau kata kerja relegere yang berarti ‘membaca kembali dengan penuh perhatian’. Makna kata tersebut menjelaskan bahwa agama berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah serta dengan ajaran dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.
Paul Tillich (1886-1965) misalnya menafsirkan agama sebagai objek keprihatinan terakhir manusia. Kata ‘agama’ memberi indikasi tentang sifat ‘terikat kepada’ objek yang istimewa dan agung, yang disebut Allah. Ciri ‘terikat’ itu ditandai juga dengan upaya penganutnya ‘membaca berulang kali’, artinya tidak dangkal, agar pemahaman dan penghayatannya tidak tercampur dengan khayalan.
Hidup beragama menunjuk pada sebuah institusi atau lembaga, di mana ada sekelompok orang berkumpul secara teratur untuk suatu ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan cara membangun relasi antara manusia dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakikat terdalam. Jadi, agama bukan hanya persoalan pribadi atau individu, tetapi bertalian dengan komunitas, di mana terdapat ajaran atau doktirn yang diterima dan diayakini bersama.
Apa bedanya agama dengan jimat? Jimat adalah sesuatu yang dianggap mempunyai kesaktian untuk menangkal penyakit, penolak setan, pembaut kebal, dsb. Memiliki jimat berarti memiliki sejenis barang atau tulisan yang digantungkan pada tubuh, kendaraan, atau bangunan dan dianggap memiliki kesaktian untuk dapat melindungi pemiliknya, menangkal penyakit dan tolak bala.
Jimat bukan agama. Jimat itu benda magis yang digunakan dengan kata-kata mantra khusus agar menghasilkan sebuah kekuatan supranatural. Jimat harus digunakan dengan ritual khusus, tanpa salah, agar kekuatannya mengalir; sebaliknya jika ritus itu dilanggar, jimat tak mendatangkan kekuatan, atau justru menimbulkan bencana atau situasi chaos.
Agama yang baik mengajarkan kebajikan-kebajikan seperti kasih, pengampunan, kebaikan, kepercayaan, dan harapan. Dengan kata lain, agama bukan solusi instant bagi masalah kehidupan, layaknya kekuatan magis dari sebuah jimat. Ketika orang menjadikan agama sebagai solusi atas kesulitan hidup, orang itu sedang memperlakukan agama sebagai jimat. Itulah berhala.
Orang menyamakan agama dengan jimat ketika ia memahami agamanya dengan cara instant, tanpa berpikir kritis tentangnya. Sumber pengetahuan agamanya bukan Kitab Suci, buku-buku doktrin, atau studi terpercaya, tetapi sumber yang cepat dan mudah. Misalnya dengan hanya mengandalkan omongan orang, berita di koran, suatu siaran di televisi, atau khotbah provokatif dari pemimpin agama di rumah-rumah ibadat.
Cara-cara mudah seperti itu berdampak pada penyempitan makna agama, karena seolah-olah menjadi candu yang mudah memprovokasi emosi, tetapi mengerdilkan kretivitas. Dalam situasi seperti ini orang mudah menggunakan jargon-jargon agama untuk menyerang orang yang tidak seagama. Orang beragama lain dianggap sebagai musuh atau sumber kekuatan jahat, maka pantas diserang dengan jimat agama: berupa kutiban Kitab Suci, kata-kata doktrin yang dihafalkan, atau simbol yang dianggap ampuh untuk menghalau musuh.
Orang yang menyamakan agama dengan jimat juga biasanya sibuk mengurus simbol-simbol agama. Simbol dalam beragama tentu penting, sebab membantu kita lebih mudah mengerti makna yang lebih dalam terkait keyakinan atau ajaran agama. Simbol keagamaan dapat berupa benda, tulisan, lukisan. Namun jelas bahwa dunia simbol itu tidak mutlak, sebab dia hanya memberi gambaran tentang nilai atau figur tertentu, dan bukan kebenaran pada dirinya atau yang mutlak. Beragama dengan hanya sibuk mengurus simbol atau menghafal jargon tak bedanya dengan berhala.
Pemaknaan yang dangkal pada agama menyebabkan penganutnya dangkal juga terhadap kemanusiaan, karena ia lebih mudah menunjuk selumbar di mata orang lain yang berbeda keyakinan, mengadili, bahkan dengan kekerasan, tatapi lupa melihat balok di matanya sendiri. Jika ada sebuah agama memberi ruang (kalaupun kecil saja) untuk menghalalkan pelecehan martabat manusia, juga dengan cara-cara yang tampak halus, agama itu telah menjadi berhala sosial.
Trima kasih Ptr. Andre… Mantap… Renungan .ttg Jimat.. tdk salah …dalam praktek agamapun ….Allah bagaikan jimat / kekuatan untk memenuhi kebutuhan…sehingga disaat tdk terpenuhi …terjadi putus asa dan stress….Ternyata Allah setia mengasihi lebih dari yang kita minta…