Pernyataan dogmatis Gereja bahwa Maria itu ‘Bunda Allah’ merupakan dasar yang melegitimasi seluruh ajaran serta devosi tentang Maria. Paper ini memaparkan beberapa poin tentang dogma Maria Bunda Allah. Tekanan utamanya ialah bahwa peran bunda Maria dalam sejarah keselamatan tidak bertolak dari diri Maria, melainkan pertama-tama tindakan Allah sendiri dalam seluruh sejarah keselamatan. Sebagai bagian dari kategori Teologi Dogma, semua dogma Mariologis terkait erat dengan dogma Kristologis maupun Trinitas.
1. Empat Dogma Mariologis dalam Gereja Katolik
Gereja Katolik mengajarkan empat Dogma Mariologis: 1] Maria Bunda Allah (Theotókos) yang ditetapkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431; 2] Maria selalu dan tetap Perawan (Semper virgo ante partum, in partu et post partum) ditetapkan dalam Konsili Nikea I (325), Konstantinopel I (381), Efesus 341, Kalsedon 451, Konstantinopel II (553); 3] Maria Terkandung tanpa noda dosa (Immaculata Conceptio) ditetapkan Paus Pius IX († 1878) pada tahun 1854; 4] Maria diangkat ke Surga dengan segenap jiwa-raga (Assumpta) ditetapkan Paus Pius XII pada 15 Agustus 1950. [Gagliardi, La Veritá è Sintetica, 465-477].
Dua dogma yang pertama muncul pada abad ke IV dan V, berkaitan erat dengan ajaran Gereja tantang Kristus; sedangkan dua dogma lainnya diproklamirkan pada abad XIX dan XX. Namun perlu dicatat bahwa keempat dogma tersebut merupakan satu-kesatuan, semua sama-sama dimengerti dan dimaknai Gereja dalam konteks misteri sejarah keselamatan.
2. Maria dalam Misteri keselamatan Allah
Penghormatan Gereja kepada Maria tak dapat dilepaskan dari peran Yesus Kristus sebagai wujud ungkapan diri Allah. Dogma Mariologis tidak bisa dimengerti tanpa memahami Dogma Kristologi, dan sebaliknya Dogma Kristologi tak dapat dimengerti tanpa Dogma Mariologi.
Per Mariam ad Jesum, dan sebaliknya Per Jesum ad Mariam. Misteri tentang peran Maria tidak bisa dilepaskan dari misteri Kristus sebagai sungguh Allah sungguh Manusia. “Siapa yang mau mengikuti jalan Yesus, ia akan selalu menjumpai Maria, dan dari Maria lah ia belajar model kemuridan yang baik: selalu berada bersama Yesus dalam segala situasi” [Gagliardi, La Veritá è Sintetica, 465].
Harus dikatakan bahwa sejak awal kemunculannya, dogma Maria Bunda Allah diturunkan dari Kristologi. Gelar ‘Bunda Allah’ pada Maria bermakna karena mengungkapkan kesatuan personal Yesus Kristus, yaitu bahwa Ia sungguh Allah dan sungguh manusia. “Baru kalau Yesus sejak awal hidup-Nya di bumi ini sebagai Pribadi yang hidup itu menyatu dengan Logos ilahi, maka Anak Maria sebagai manusia selalu juga Allah yang sejati” [Nico Dister, Teologi Sistematika 2, 483; bdk. 466].
Kaitan erat antara dogma Kristologis dan Mariologis sudah tampak dalam rumusan dogmatis, hasil dua Konsili Ekumenis yang pertama, yaitu Konsili Nikea I dan Konstantinopel I. “Kami percaya akan satu Allah Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal; Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dan dari perawan Maria, dan menjadi manusia; … [DS 150]”
3. Ajaran Para Bapa Gereja
Klemens dari Aleksandria († 215). Ia mengajarkan bahwa Maria pantas disebut ‘Ibu Tuhan’, karena Sabda Tuhan yang terkandung dalam kandungannya (Stromata 6, 15). Keperawanan dan keibuan Maria adalah dua kebenaran iman yang tak terpisahkan: “Ia perawan dan ibu sekaligus: perawan yang murni sekaligus ibu yang penuh kasih” (Paedagogus I, 6).
Dalam konteks kesatuan tersebut, Maria juga dihormati sebagai bunda Gereja, bunda yang memberi nutrisi bagi anak-anaknya (anggota Gereja) dari kerahiman Allah, yaitu Sabda, dan bukan dari dirinya sendiri. Yesus sendiri pun mengatakan bahwa yang berbahagia, bukan ibu yang telah mengandung dan menyusui-Nya, melainkan orang-orang yang mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya (bdk Luk 11: 27-27). Maria adalah model pendengar Sabda. [bdk. Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 70-71].
Origenes († 253). Baginya paham tentang peran Maria sebagai Mater Dei terkait erat dengan keistimewaan lain pada Maria, yaitu keperawanannya. Dalam Komentar terhadap Injil Yohanes, ia menulis demikian: “Mereka yang percaya pada Yesus yang telah disalibkan di Yudea pada masa pemerintahan Pontius Pilatus, tetapi tidak percaya bahwa Ia lahir dari Perawan Maria, percaya sekaligus tidak percaya pada Pribadi yang sama” [Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 73].
Dalam Komentar terhadap Surat kepada Jemaat di Galatia, Origenes menjelaskan peran Maria sebagai Bunda Allah dengan mengutip kata-kata Santo Paulus: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4: 4). Pada teks itu Origenes memberi tekanan frase lahir dari seorang perempuan (born of a woman), bukan lahir melalui seorang perempuan (born through a woman). Yesus sungguh lahir dari rahim Maria.
Pandangan Origenes terkait Theotókos juga diketahui dari para pengikutnya. Eusabius, seorang sejarahwan, salah satu murid Origenes misalnya, menafsirkan teks Yes 7: 14 sebagai pendasaran akan keyakinan bahwa, yang dinubuatkan oleh nabi itu ialah Maria, seorang perawan yang akan melahirkan tanpa mengenal seorang pria.
Aleksander dari Aleksandria (†328). Uskup dari Alexandria ini merupakan orang pertama yang secara eksplisit menggunakan istilah Theotókos. Ia menulis: “Kita mengetahaui tentang kebangkitan orang mati, yang buah sulungnya ialah Tuhan kita Yesus Kristus, yang sungguh-sungguh dan bukan hanya tampaknya /rupa-rupanya saja mempunyai tubuh, (lahir) dari Maria, Bunda Allah” [Ek tes thetokou Marias, I, 11 dalam ANF VI) [Nico Dister, Teologi Sistematika 2, 465. Bdk Hilda Graef, Mary. A History of Doctrine and Devotion, 38-39].
Ambrosius dari Milan († 397). Berdasarkan keyakinan akan keilahian dan keinsanian Yesus, dalam De Benedictionibus Patriarcharum, Ambrosius mengajarkan bahwa iman kepada Kristus hendaknya bersifat utuh, mencakup dua kodrat dalam satu Pribadi Yesus Kristus: “Sebagaimana kita mayakini bahwa Ia (Yesus) lahir dari Bapa, hendaknya kita mengamini pula kelahiran-Nya dari Maria, agar iman kita menjadi utuh”. Ketika orang sungguh mengimani kesatuan kodrat Yesus, ia akan sampai pada keyakinan akan gelar Theotókos. Dalam karyanya De Incarnationis Domincae Sacramento, Ambrosius menekankan kaitan erat antara misteri keperawanan Maria serta perannya melahirkan Kristus. Baginya, “tidak ada perbedaan antara Dia yang datang dari Bapa dan yang lahir dari sang Perawan, tidak; Dia adalah Pribadi yang sama, yang datang dari Bapa maupun yang lahir dari Perawan” [bdk. Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 193].
Agustinus Hippo († 430). Mengikuti gurunya Ambrosius, Agustinus menekankan kaitan erat antara keperawanan Maria dan perannya sebagai bunda Allah: Maria dipilih secara istimewa oleh Allah, dilindungi dari dosa, mengandung dari kuasa Roh Kudus. Jadi dasar pemahaman akan Theotókos ialah daya kuasa ilahi. Maria pantas melahirkan Putra Allah bukan karena kelayakannya, tetapi oleh karena kuasa Allah sendiri yang bekerja atas dirinya.
Namun Agustinus juga menegaskan bahwa rahmat istimewa dari Allah itu tidak mengurangi kebebasan Maria. Agustinus adalah orang pertama dari tradisi Barat yang berbicara tentang kaul Maria (di Timur oleh Gregorius Nissa), yaitu intensi Maria untuk mempersembahkan dirinya kepada Tuhan sebelum mendengar pewartaan Malaikat Gabriel. Dialog dengan Malaikat Gabriel memberi indikasi bahwa Tuhan tidak menuntut keperawanan Maria, tetapi memberitahukan rencana-Nya dan melihat reaksi Maria yang memang masih perawan itu. [bdk. Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 221].
Dalam suatu Khotbah (Sermon) malam Natal, Agustinus menafsirktan teks Luk 1: 26-34 sebagai pendasaran ‘kaul keperawanan Maria’. Maria ‘terkejut dan bertanya di dalam hati’ (1: 29). Ia juga bertanya ‘bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?’ Keterkejutan Maria memberi kesan ketertarikannya pada kata-kata Malaikat. Kata Agustinus:
“Karena ia telah menucapkan kaul keperawanan, dan suaminya tidak merusak kesehajaaannya, melainkan menjadi penjaganya [sesungguhnya bukan suaminya yang menjaga, sebab Allah sendirilah yang menjaganya; suaminya hanyalah saksi dari ketaatannya dalam keperawanan, agar kehamilannya tidak menjadi skandal], maka ketika Malaikat memberi kabar kepadanya, ia berkata: ‘Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?’ Seandainya ia (Maria) memang memiliki niat mengenal seorang pria, dia tidak tertarik pada kata-kata Malaikat itu. Ketertarikan Maria adalah sebuah tanda kaul” [Sermo 255, 2; PL 36) [Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 221)].
4. Pernyataan Dogmatis
Istilah. Gelar utama bagi Santa Maria ialah ‘Bunda Allah’ (Mother of God). Gelar ini dalam bahasa Yunani disebut Theotókos. Kata Theos berarti Tuhan atau Allah, dan Tikto berarti ‘dia yang melahirkan’. Dalam bahasa Latin disebut Deipara. Kata Deus berarti Tuhan, dan kata Parire berarti ‘dia yang melahirkan’. Menurut romo Nico Dister, “tugas Maria sebagai ibu, tidak boleh dipersempit menjadi fungsi fisiologis saja. Maka terjemahan Theotókos dalam bahasa Latin tidak hanya Deipara dan Dei geneitrix, tetapi juga mater Dei. Dalam istilah terakhir ini lebih terungkap bahwa keibuan Maria merupakan tugas personal-rohani pula” [Nico Dister, Teologi Sistematika 2, 466].
Konteks. Gelar Theotokos ditetapkan oleh Konsili Efesus sebagai bentuk sikap Gereja melawan ajaran sesat yang disebut nestorian, yaitu sebuah aliran yang dipimpin oleh seorang uskup bernama Nestorius yang berasal dari Siria. Kaum nestorian menolak gelar “Bunda Allah”. Mereka memisahkan dengan tegas antara keilahian dan keinsanian Yesus. Pandangan ini kemudian menimbulkan sebuah kontroversi antara Gereja Timur dan Gereja Barat.
Kontroversi terjadi bermula dari khotbah Proklus († 466), seorang pengkhotbah terkemuka dari Konstantinopel di sebuah katedral di kotanya, pada sekitar 23 Desember 428. Dalam khotbah itu, ia menyebut Maria sebagai ‘Bunda Allah’. Uskup Nestorius yang hadir mendengarkan khotbah tersebut mengajukan protes. Begini salah satu pernyataan Proklus. [Hilda Graef, Mary. A History of Doctrine and Devotion, 80; Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 235].
“Alasan kita berkumpul di sini hari ini ialah Maria Theotókos, permata perawan yang tak bercacat, taman Eden bagi Adam Kedua, karya kesatuan kodrat (Kristus), tempat terjadinya perjanjian keselamatan, ruang pengantin, tempat Sabda mempersunting daging, semak hidup, yang tidak terbakar oleh api kelahiran ilahi (bdk Kel 3:2ii), awan terang sesungguhnya yang melahirkan Dia yang berada di atas Kerubim beserta tubuh-Nya, bulu domba yang telah disucikan embun surgawi (bdk Hak 6: 37ii), tempat gembala menaruh (kulit) domba, pelayan dan ibu, perawan dan surga, satu-satunya jembatan antara Allah dan manusia (sebuah metafor yang sering digunakan para Bapa Gereja), tenunan nan indah dari tatanan, di mana kulit kesatuan (yaitu dua kodrat Kristus) ditenun dengan cara yang mengagumkan, yaitu oleh Roh Kudus, penenun yang dinaungi kuasa dari atas, bulu domba warisan Adam, pakan dari daging Perawan murni, penyalur rahmat nan luhur yang melahirkan (daging), seniman Sabda yang masuk melalui telinga” [bdk. Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 235].
Pernyataan Proklus tentang Maria Theotókos ditunjukkan kembali pada akhir khotbanya, seraya mengutip teks Yeh. 44: 1-2 untuk menegaskan misteri inkarnasi:
“Saya melihat mukjizat dan mewartakan keilahian; saya melihat penderitaan dan tak menolak kemanusiaan. Sesugguhnya Imanuel telah membuka pintu kodrat, karena Ia manusia, namun Ia tak melepaskan meterai keperawanan, karena Ia juga Allah. Sebagaimana Ia telah masuk dengan mendengar, demikian pula Ia keluar dari rahim (tanpa menodainya); Ia telah dilahirkan sebagaimana ia telah dikandung; Ia telah masuk tanpa berahi, Ia telah keluar tanpa penodaan, sebagaimana dikatakan nabi Yehezkiel (yaitu dalam teks terkenal pasal 44:1ss)…. Camkan, ini sebuah paparan yang tepat tentang Maria Theotókos yang kudus” [ACO, p. 103].
Bagi para nestorian, Injil hanya mengatakan bahwa Maria adalah Bunda Yesus, bukan Bunda Allah. Sebab itu mereka hanya mau menerima gelar Christotokos (bunda Kristus) atau Anthropotokos (bunda manusia), yang mengandung pengertian bahwa Maria hanya melahirkan manusia Yesus, dan karena itu ia bukan Bunda Allah. Titik berangkat argumentasi para nestorian ialah pemisahan yang ketat antara kodrat ilahi dan insani Yesus. Bagi mereka hanya keinsanian Yesus yang lahir dari Maria, bukan keilahian-Nya [Bdk. Hilda Graef, Mary. A History of Doctrine and Devotion, 81].
Ajaran Dogmatis. Gereja mengadakan Konsili di Efesus pada 431 untuk mengecam pandangan Nestorius. Tokoh utama yang melawan Nestorius ialah Sirilus († 444), uskup dari Alexandria. Gereja Roma mengajarkan kesatuan kodrat keilahian dan keinsanian dalam satu Pribadi Yesus Kristus (kesatuan hipostatik). Yesus diimani sebagai Pribadi Ilahi yang utuh, bukan atau ilahi atau kodrat insani. Kesatuan Pribadi Kristus lah yang menjadi landasan keyakinan Gereja bahwa yang dikandung Maria dari Roh Kudus adalah seluruh diri Yesus, dan karena itu Maria bukan hanya anthropotokos tetapi Theotókos. Kiranya jelas bahwa dogma Kristologi dan Mariologi merupakan satu-kesatuan yang erat [Bdk. Hilda Graef, Mary. A History of Doctrine and Devotion, 88].
“Karena itu kita mengakui bahwa Tuhan kita Yesus, anak tunggal Allah, adalah sungguh Tuhan dan sungguh manusia, (terdiri) dari jiwa yang rasional serta tubuh; lahir dari Bapa sebelum segala abad menurut keilahian, lahir, untuk kita dan untuk keselamatan kita, pada masa akhir dari perawan Maria menurut kemanusiaan; yang sekodrat dengan Bapa menurut keilahian, dan sekodrat dengan kita menurut kemanusiaan, demikianlah terjadi penyatuan dua kodrat. Oleh karena itu kami mengakui satu Kristus, satu Anak, satu Tuhan. Dengan menegaskan persatuan ini, kami mengakui bahwa perawan suci adalah Bunda Allah, mengingat bahwa Sabda Allah telah berinkarnasi dan menjadi manusia, dan telah bersatu dalam dirinya sejak dikandung, bait suci yang tampak olehnya”.
Pernyataan Konsili ini sebenarnya menegaskan kembali surat dari Uskup Sirilus dari Alexandria kepada Nestorius untuk meminta dia kembali kepada keyakinan Gereja. Surat Sirilus ternyata tidak berhasil mengubah pandangan Nestorius. Berikut contoh pernyataan-pernyataan Sirilus kepada Nestorius, yang juga memuat pandangan kristologinya.
“Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, meskipun Ia (Yesus) ada sebelum segala abad, dan lahir dari Bapa, Ia juga lahir secara daging oleh seorang wanita; tetapi ini tidak berarti bahwa kodrat keilahian-Nya dimulai pada Perawan Suci, atau bahwa Dia membutuhkan kelahiran kedua setelah dari Bapa (sebenarnya tak beralasan, dan bodoh mengatakan bahwa Dia yang ada sebelum segala abad, dan sama kekal dengan Bapa, membutuhkan kelahiran kedua untuk hidup); tetapi karena untuk kita dan untuk keselamatan kita, Dia mengambil kodrat manusia dalam kesatuan pribadi, dan lahir dari seorang wanita sehingga dikatakan bahwa Dia lahir menurut daging. (Sebenarnya kita tidak boleh berpikir) bahwa mula-mula seorang manusia biasa telah lahir dari Perawan Suci, dan kemudian Sabda turun ke dalam dirinya, tetapi sebaliknya, hanya satu realitas dari rahim ibu, lahir menurut daging, menerima kelahiran dagingnya sendiri”.
Dengan mengacu pada ajaran para Bapa Gereja dan ajaran Konsili Nikea tentang keilahian Kristus, Sirilus menegaskan pula keyakinan akan Maria Bunda Allah.
“Para bapa yang kudus selalu menghormati Perawan kudus Theotókos, bukan dalam pengertian bahwa asal-mula kodrat ilahi Sabda adalah dari Perawan kudus, melainkan dalam pengertian bahwa Ia mengambi bentuk tubuh nan suci yang sudah disertai dengan jiwa yang rasional dari dia (Maria). Mengingat bahwa Sabda telah menjadi kesatuan hipostatik dalam tubuh-Nya, maka orang dapat mengatakan bahwa Ia sungguh lahir menurut daging” (Cyril. Epist. 4, PG 77). [bdk. Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 237].
Akar Biblis. Teks Injil yang oleh Gereja dijadikan dasar bagi dogma ini ialah kata-kata Elisabet kepada Maria ketika ia dikunjungi Maria: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku”? (Luk 1: 43). Kata ‘Tuhan’ dalam teks ini sejajar dengan nama YHWH, yaitu gelar untuk Allah yang biasa digunakan orang Israel dalam Perjanjian Lama. Seruan Elisabet juga menegaskan kata-kata Malaikat Gabriel kepada Maria: “Sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luk 1: 35). [Gagliardi, La Veritá è Sintetica, 466].
Yang dilahirkan Maria tentu saja manusia bernama Yesus. Namun manusia Yesus ini juga memiliki kodrat ilahi, yaitu kodrat yang lahir dari Allah Bapa. Yesus adalah ‘Anak Allah’ (Luk 1: 35). Oleh sebab itu, Maria bukan hanya Bunda Kristus, melainkan juga, dan pertama-tama adalah Bunda Allah atau Ibu Tuhan (Theotókos). Beberapa teks Perjanjian Baru juga dengan jelas mengidentikkan Maria sebagai ‘ibu Yesus’ (bdk. Mat. 2:13, 20; Luk. 1:31; 2:34; Kis.1:14) dan sebagai ‘ibu dari Anak Allah’ (bdk. Luk. 1:35; Gal. 4:4).
Pernyataan Kesatuan. Dua tahun kemudian setelah Konsili berlangsung, pada April 433, dikeluarkan sebuah Pernyataan Persatuan (Edict of Union) untuk memulihkan kontroversi antara pihak Sirilus dan Nestorius. Yohanes dari Antiokhia, mewakili para uskup Gereja Timur menerima dan mengakui gelar Theótokos untuk perawan Maria, karena kesatuan hipostatik Yesus Kristus (dogma Kristologi). Paus Sixtus III, penerus Paus Selestinus, menerima kembali kesatua kedua pihak, setelah kontroversi dan konflik yang cukup kompleks. [Bdk. Gambero, Mary and The Fathers of the Church, 238].
5. Perayaan Liturgis
Perayaan Santa Maria Bunda Allah telah mulai dirayakan di Roma sekitar abad keenam, dari tradisi penghormatan sebuah gereja di kota Roma antik. Tradisi itu lalu diangkat ke level Gereja Universal. Sebagai perayaan liturgis, sejak tahun 1931, yaitu bertepatan dengan perayaan lima belas abad Konsili Efesus (431), Paus Pius XI menetapkan agar perayaan ini dirayakan pada setiap 11 Oktober, yaitu hari ketika Konsili mengeluarkan dogma.
Namun dengan pembaruan Penanggalan Liturgi Gereja Roma pada 1969, perayaan ini dipindahkan ke tanggal 1 Januari, bertepatan dengan hari puncak Oktaf Natal (in octava Nativitatis Domini). Perayaan ini dimaknai sebagai puji-syukur atas berkat Tuhan, di mana Maria adalah model orang yang mendapat berkat dan rahmat istimewa dari Tuhan: “Salam hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai Engkau” (bdk Luk 1: 28).
6. Segala Perkara Menjadi Mosaik
Penempatan Hari Raya Maria Bunda Allah pada awal tahun sering kali dimaknai sebagai ungkapan kepenuhan rahmat Allah dalam perjalanan hidup manusia. “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat” (Gal 4: 4). Maria ditampilkan sebagai model pendengar Sabda Tuhan. Sebagai Bunda Allah, menurut St Agustinus, Maria pertama-tama adalah murid Kristus. Dalam Injil yang dibacakan pada Hari Raya Maria Bunda Allah, terdapat frase: “Tetapi Maria menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk 2: 19).
Frase dari Injil Lukas itu dapat dimaknai begini: Maria berusaha menyusun segala perkara yang ia alami agar menjadi sebuah mosaik indah, yang memberikan pesan bermakna bagi ziarah hidupnya. Maria menjadi model bagi umat beriman, model bagi Gereja, untuk belajar memaknai setiap perkara hidup, melihatnya secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah, agar pesan karya keselamatan Allah di balik semua peristiwa itu dapat ditemukan dan dimaknai.
Fiat yang diucapkan Maria merangkum ‘ya’ yang diucapkan umat manusia kepada Allah dan kepada Kristus. Dalam ‘ya’ yang penuh kepercayaan itu, Maria menerima keselamatan untuk semua orang. Ia menjadi model iman semua orang beriman. Konsili Vatikan II menegaskan:
“Dengan segenap hati dan tak terhalang oleh dosa, ia merangkum kehendak penyelamatan Allah, dan sebagai hamba Tuhan ia menyerahkan diri seluruhnya kepada pribadi serta karya Anaknya, dan dengan demikian ia mengabdi kepada misteri penebusan di bawah Dia dan bersama dengan-Nya dalam rahmat Allah yang Mahakuasa” (LG. 59).
Sumber Bacaan
Dister Nico S., Teologi Sistematikia I, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
_____________ Teologi Sistematikia I, Kanisius, Yogyakarta, 2004.
Dokumen Konsili Vatikan II (penerjemah: R Hardawiryana), Obor, Jakarta, 2013.
Gagliardi Mauro, Vertiá è sintetica. Teologia dogmatica cattolica, Cantagalli, Siena, 2017.
Gambero Luigi, Mary and The Fathers of the Church. The Blessed Virgin Mary in Patristic Thought, Ignatius Press, San Francisco, 1999.
Graef Hilda, A History of Doctrine and Devotion, Ave Maria Press, Notre Dame, 2009.
http://www.latheotokos.it/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=27
http://christusmedium.com/2020/05/maria-bunda-allah/
Mother of God pray for us. Gracias Padre