Dalam Ekaristi Kudus, sebelum Konsekrasi Imam berdoa: “Terpujilah Engkau Tuhan Allah semesta alam, sebab dari kemurahanMu kami menerima roti (dan anggur) yang kami siapkan ini. Inilah hasil dari bumi dan dari usaha manusia yang bagi akan menjadi roti kehidupan”.
Doa tersebut merangkul tiga aspek dalam teologi Ekaristi[1]: Pertama, syukur atas kebaikan Allah yang menganugerahi rahim bumi yang membuahkan bahan makanan. Kedua, hasil bumi diolah menjadi makanan (roti dan anggur) agar dapat dimakan. Ketiga, dengan santapan jasmani, manusia mengalami rahmat Allah secara konkret bagi tubuh dan jiwanya.
Hasil Bumi dari Kemurahan Tuhan. Kebaikan yang melimpah dari sang Pencipta kita terima dalam wujud kekayaan rumah bumi: Tumbuhan dan hewan yang memberikan nutrisi, air yang memberi kesegaran, tanah tempat kita berpijak dan udara yang kita hirup. Manusia hidup dari nutrsi dari tumbuh-tumbuhan serta zat-zat yang memungkinkan vitalitas tubuh.
Bahan makanan tersebut diolah, dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh manusia, terasimilasi dalam daging dan darahnya; jadi terjadi semacam communio kosmik melalui proses metabolisme tubuh manusia. Kebutuhan akan makanan dan minuman mengungkapkan dengan jelas relasi manusia dengan alam semesta. Kemurahan hati Allah berupa makanan yang berada di luar diri manusia kini memasuki tubuh melalui fungsi indera (cita rasa) sehingga relasi antara manusia dan alam terjalin lebih erat: “Dunia memproduksi makanan yang kita makan sehingga menjadi satu dengan tubuh kita. Melalui makan, kita berkomunikasi dan bersatu dengan dunia, dan dengan demikian, menghalau batas antara yang internal dan eksternal”[2].
Menarik bahwa pada skala elementer, dimensi communio antara manusia dan alam sebenarnya sudah terdapat dalam kesatuan organik bahan makan itu sendiri: Padanya terkandung berbagai zat, nutrisi, serta elemen lain yang berpadu membentuk hasil produksi yang terhidang sebagai makanan. Makanan juga mengandung unsur kekebalan yang bermanfaat bagi ketahanan tubuh manusia. Ketika dikonsumsi, fungsi elemen-elemen tersebut ‘berinkaransi’ menjadi darah dan daging yang vital bagi kelangsungan metabolisme tubuh. Itulah gambaran hidup yang riil!
Fungsi vital hasil-hasil bumi bagi tubuh manusia memperlihatkan bahwa makanan yang diperoleh dari hasil bumi itu mengandung unsur kehidupan. Makanan bukan melulu benda profan, tetapi ungkapan atau tanda spiritual. Kesadaran ini menjadi autokritik bagi sikap manusia memperlakukan makanan. Dengan semakin banyaknya produksi makanan cepat saji pemaknaan makanan dan makan bersama semakin luntur. Situasi modern ini sering melemahkan kesadaran kita tentang asal mula rejeki yang diterima sehari-hari. Teologi makanan merupakan insipirasi untuk membangun rasa syukur menggerakkan solidaritas dengan sesama yang bekerja keras (menanam bahan pangan, merawatnya, memproduksi, mengolah, memasak dan menghidangkan) sampai segala sesuatu terhidang di hadapan kita.
Kebutuhan dasar akan makanan mengungkapkan relasi holistik dan mendalam antara manusia dengan Allah, sesama dan alam: Tuhan rejeki sehari-hari melalui makanan dan minuman yang membawa kehidupan bagi manusia. Tentu saja manusia haus dan lapar tidak hanya pada makanan jasmani, tetapi juga akan nilai-nilai spiritual yang memuaskan dahaga batinnya. Karena itu kebutuhan akan makanan tidak hanya berdimensi fungsional (utilitarian function) tetapi juga ‘sakramental’. Manusia tidak hanya memiliki kemampuan untuk melihat (seeing) dan mengetahui (knowing), tetapi juga merasakan (testing)[3].
Dalam konteks teologi Ekaristi, penyelenggaraan ilahi bukan hal tambahan melainkan sumber kebutuhan manusia. Tuhan asal-muasal hasil bumi, laut dan segala isinya. Makanan merupakan ‘rejeki hari ini’ dari Tuhan. Sebab itu rasa syukur akan kebaikan Tuhan dalam wujud makanan merupakan sikap iman. Sebaliknya memandang makanan melulu sebagai hal profan termasuk ciri ateisme: “…to assert that one could imagine food production holistically without some reference to the divine is tantamount to a declaration of atheism”[4]. Rasa syukur atas anugerah makanan dapat menggerakkan solidaritas dengan sesama dan alam semesta.
Usaha Manusia. Pokok kedua dari doa di atas berkaitan dengan penghargaan dan pemaknaan hasil kerja manusia. Bahan makanan dikaitkan dengan dinamika alam, yaitu pergantian musim, hasil bumi tertentu, bahkan budaya khas. Citarasa makanan umumnya dipengaruhi situasi geografis, serta aktivitas manusia seperti bertani, nelayan, dan sebagainya untuk menghasilkan bahan pangan. Kerja tangan manusia mengolah sumber makanan berkembang dalam jaringan kerja dan asosiasi bisnis dari yang bersekala kecil sampai yang lebih besar dan global.
Dalam konteks ini kerja tangan dimaknai sebagai karunia bagi manusia. Melalui tangan manusia, bahan pangan diolah menjadi makanan untuk layak dikonsumsi[5]. Secara sederhana pengolahan makanan terwujud dalam tindakan memasak. Untuk memasak orang perlu memilah bahan makanan yang baik dan sehat, mengolahnya secara baik, menghidangkannya dengan citarasa dan seni. Memasak adalah contoh ekspresi persatuan seseorang dengan alam sekitar maupun sesama. Dengan kata lain, “cooking is deeply connected with our view of the world around us and who are in that world”[6].
Melalui kemampuannya mengolah hasil bumi, manusia mengubah makanan (food) menjadi santapan (meals). Yang pertama berkaitan dengan makanan yang tersaji; sedangkan yang kedua terkait dengan kebersamaan orang-orang yang mengambil bagian dalam makan bersama: “The meal is as much a fundamental element of humanity as shared rationality or language”[7]. Orang tentu dapat menikmati maknan dalam kesendirian. Namun dalam hal ini tidak terjadi sharing meals. Melalui santapan bersama, individu-individu menjadi sebuah communio. Dengan makan bersama, yang terpenuhi bukan hanya kebutuhan jasmani manusia sebagai individu, tetapi juga kebutuhan membangun relasi dengan sesama[8].
Orang-orang modern mengerti dengan baik distingsi antara mengkonsumsi makanan sebagai kebutuhan dan sebagai sebuah ekspresi simbolik. Misalnya: terdapat perbedaan makna antara meminum anggur karena keinginan biasa dan meminumnya sebagai ritus bersulang. Ada perbedaan antara makan sepotong kue karena merasa lapar dan memakannya sebagai pemberian dari seseorang yang merayakan ulang tahun. Simbol dan gesture yang bersifat ritual mengungkapkan rasa syukur dan kenangan atas pengalaman manusia dalam hidup sehari-hari[9].
Menjadi Roti Kehidupan. Makan merupakan tindakan “mengambil bagian”. “Roti dan anggur” dunia akan menjadi bagian dari diri hidup manusia. Tubuh berperan sebagai media proses perubahan yang terjadi pada elemen makanan. Dengan demikian tubuh berinteraksi dengan elemen-elemen dari luar:
“Bukan hanya roti, tetapi setiap partikel makanan yang kita makan (dan setiap atom dalam udara yang kita hirup) pada dasarnya adalah daging dunia. […] Lebih dari sekadar sebuah asimilasi, makan merupakan proses pembentukan yang universal, proses inkarnasi, proses pembentukan tubuh, agar ia mampu bertahan dari kerusakan-kerusakan. Karena manusia adalah makhluk daging (inkarnatif), maka makanan merupakan titik pertemuannya dengan alam semesta, dan karena itu menjadi sarana persekutuannya dengan dunia”.
Menjadi manusia dan makan adalah dua hal tak terpisahkan. Kebutuhan makan menegaskan bahwa kita adalah makhluk pemakan[10]. Namun relasi antara manusia dan makanan kiranya tidak dapat direduksi melulu dalam tendensi profan (manusia ialah apa yang ia makan), tetapi lebih mendalam: “no meal is profane for those who know to see”[11]. Ekspresi Nubuat Nabi lebih tegas: “manusia hidup bukan dari roti saja” (Ul. 8: 3). Ekaristi adalah sebuah perjamuan di mana kita merayakan persekutuan dengan Tuhan, dengan sesama, dan alam semesta.
Dalam rangka teologi Ekaristi, refleksinya demikian: Jika pada tataran ‘profan’, makan memberi makna mendalam bagi kehidupan manusia, maka harus dikatakan bahwa tindakan Yesus memilih ritual ‘makan bersama’ sebagai momentum ungkapan kasih dan pengampuan kepada orang berdosa, serta Perjamuan Akhir dengan para murid sebelum wafat-Nya, memiliki makna spiritual yang mendalam. Theology of food membuka wawasan tentang korelasi antara rasa syukur dalam hidup sehari-hari dan rasa syukur atas karya keselamatan Allah dalam perayaan Ekaristi. Tanpa yang pertama, yang kedua hanya menjadi ritual tanpa makna.
Makna serupa telah ditunjukkan dalam Paskah Yahudi. Birkat Ha-Mazon keluarga Yahudi merupakan ucapan syukur atas berkat Yahwe bagi Israel. Bagi orang Kristen, berdasarkan tujuan hidup dan karya Yesus, dan terutama kebaruan yang diperlihatkan-Nya pada malam Perjamuan Akhir sebelum wafat-Nya, Ekaristi dimaknai sebagai makan Tubuh Kristus dan minum Darah-Nya. Sebab itu berpartisipasi dalam Ekaristi berarti menyantap Anak Domba Paskah, yaitu Kristus sendiri. Santapan Anak Domba memiliki makna perjamuan eskatologis: “Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 8: 11)[12].
Perjamuan Hikmat. Dalam Literatur Kitab Kebijaksanaan ditampilkan figur Hikmat. Ia dipertentangkan dengan kebodohan. Hikmat dilukiskan sebagai perempuan bijaksana (Sophia). Figur wanita bijakasana ini dipertentangkan dengan figur Hawa dalam Kitab Kejadian yang ‘menghindangkan’ buah terlarang bagi Adam. Di taman Eden Hawa menawarkan buah dari pohon pengetahuan yang seharusnya tidak boleh dimakan oleh manusia. Sedangkan figur hikmat menghidangkan santapan kebijaksanaan dan mengundang manusia menyantapnya[13].
Menurut kitab Amsal, sang hikmat adalah permulaan pekerjaan Allah (8: 22); ia telah dibentuk sejak zaman purbakala, sebelum bumi ada (8: 23). Ia ada sebelum bumi dan langit serta segala isi dan batas-batasnya ditetapkan (8: 24-29); selalu hadir bersama Sang Pencipta, bermain-main bersama-Nya sebagai kesayangan-Nya: “Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku (8: 30-31)[14]. Dalam Ams 9: 1-6 figur perempuan bijaksana menyiapkan sebuah perjamuan dan mengundang orang untuk datang kepadanya. Dan orang yang ikut dalam perjamuan itu tidak hanya akan kenyang; mereka akan hidup dan memperoleh pengertian.
“Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya, memotong ternak sembelihannya, mencampur anggurnya, dan menyediakan hidangannya. Pelayan-pelayan perempuan telah disuruhnya berseru-seru di atas tempat-tempat yang tinggi di kota: ‘Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari’; dan kepada yang tidak berakal budi katanya:’ Marilah, makanlah rotiku, dan minumlah anggur yang telah kucampur; buanglah kebodohan, maka kamu akan hidup, dan ikutilah jalan pengertian’”.
Sebagaimana direfleksikan Montoya, “undangan sang hikmat, marilah, makanlah rotiku, dan minumlah anggur yang telah kucampur, merupakan antisipasi perjamuan akhir Yesus, di mana Ia berkata kepada para murid-Nya: terimalah dan makanlah inilah tubuh-Ku, terimalah dan minumlah inilah dara-Ku[15]. Perjamuan kebijaksanaan juga tersedia bagi anak manusia yang merindukan hikmat dalam jiwanya, hikmat yang memenuhi harapan hidupnya[16]. Kata sang hikmat: “Anakku, makanlah madu, sebab itu baik; dan tetesan madu manis untuk langit-langit mulutmu. Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu: Jika engkau mendapatnya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang” (24: 13-14).
Solidaritas Global. Gagasan ‘teologi makanan’ yang diperkuat dengan dasar biblis “perjamuan kebijaksanaan” ini membuka pemahaman dan refleksi kita tentang dimensi sosial perayaan Ekaristi. Sophia adalah simbol pemberian diri Allah sendiri sebagai nutrisi ilahi bagi dunia[17]. Pemberian diri Allah itu menjadi semakin radikal dalam Ekaristi. Allah tampil sebagai ibu yang Maharahim: Ia menyediakan perjamuan bagi kita sejak penciptaan melalui hasil ibu bumi. Roti dan anggur merupakan tanda kurban Kristus. Dalam Ekaristi Sang Kebijaksanaan tidak hanya menjadi tuan rumah perjamuan; Ia sendirilah hidangannya[18]. Pemberian diri Kristus merupakan seruan etis untuk mewujudkan solidaritas global.
“[…] kisah tentang Allah yang membagikan makanan bukan hanya sebuah estetika (seni, karya yang indah dan terampil), namun juga menyiratkan dimensi etis. Pemberian makanan dari Allah dan pemberian diri-Nya kepada manusia berupa makanan merupakan wujud bahwa Ia adalah sumber kebaikan ilahi yang memuaskan rasa lapar jasmani dan rohani, tetapi sekaligus yang mendorong kita untuk berbagi dan peduli satu sama lain”[19].
Dan sebagai bentuk realis praesentia Kristus, perjamuan hikmat memberi jaminan kekuatan bagi manusia untuk terus berziarah menuju kesatuan dengan Sang Pencipta.
“Sophia adalah Kebijaksanaan ilahi yang mengarahkan dan membuka kesadaran kita tentang persekutuan atau kedekatan kita satu sama lain sebagai ciri kodrati, serta persekutuan dan kedekatan kita dengan Tuhan sejak awal mula. Ikatan dan persekutuan ini bukan sebuah titik akhir dari relasi tersebut, melainkan sebuah proses terus-menerus yang bersifat terbuka, yang mengarahkan kita kepada wujud tersembunyi atau misteri yang menyalakan dambaaan untuk merasakan dan merasakan lagi sesuatu di luar pengetahuan kita, yaitu Kebijaksanaan Allah”[20].
Dimensi Kosmik. Pengalaman hidup dalam komunitas disabilitas intelektual, yang dituangkan Vanier dalam A Cry Is Heard, menyiratkan sebuah seruan yang kuat: disabilitas bukan hanya masalah manusia. Bumi yang kita huni ini telah menjadi sebuah planet yang disable: Ia menjerit namun tidak terdengar. Manusia sibuk dengan dirinya. Ibarat seorang disable, dalam diamnya bumi berharap pada manusia. Dunia kita adalah dunia berkebutuhan khusus. Batas-batas ras, budaya dan agama, intrik politik, kekuasaan dan kepentingan ekonomi, radikalisme dan konflik telah melukai kodrat relasional segenap makhluk ciptaan (wounded world)[21].
Tanda-tanda ekaristis dalam mukjizat penggandaan roti menegaskan panggilan bagi kita umat Kristen untuk berbagi dari satu roti. Kekayaan bumi ini ibarat lima roti dan dua ikan yang harus kita bagi-bagikan, bukan untuk dimonopoli. Penghargaan yang mendalam akan sesama manusia mengandaikan kesadaran bahwa setiap orang berhak memperoleh pangan agar dapat bertahan hidup. Cita-cita keutuhan itu hanya mungkin terjadi kalau ibu bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang tamak. Tujuan terdalam dari solidaritas global yang mengalir dari spirit Ekaristi ialah agar planet bumi menampilkan situasi aslinya: utuh, indah dan harmonis.
Keselamatan terwujud ketika relasi antara manusia semakin manusiawi, dan alam semesta menjadi rumah bersama. Manusia dan alam semesta menjadi sebuah komunitas berkelanjutan (sustainable community)[22]. Cita-cita ini sangat ditentukan oleh manusia sebagai makhluk pribadi dan bebas, yang mengolah sekaligus bertanggungjawab terhadap rahim bumi ini.
Laudato Sí. Dalam horizon Ekaristi dunia, beberapa poin yang relevan dari Ensiklik Laudato Sí Paus Fransiskus perlu ditekankan. Ensiklik ini jelas memancarkan kecintaan seorang Paus Fransiskus akan kehidupan bukan hanya manusia, tetapi segenap makhluk ciptaan. Bagi Bapa Suci, setiap makhluk dan setiap ciptaan terkait satu sama lain, bahkan saling tergantung. Yang satu mendukung kehidupan yang lain. Tanpa kekayaan alam semesta, manusia tidak dapat hidup. Paus melihat tata ciptaan sebagai “rumah kita bersama” (LS 1). Ia menunjuk elemen-elemen kehidupan semesta secara konkret: tanah, air, udara, dan energi. Terinspirasi oleh Fransiskus Assisi, Bapa Suci menyebut elemen-elemen alam semesta sebagai ‘saudari dan saudara’. Bumi diibaratkan sebagai seorang saudari yang dengannya kita berbagi kehidupan kita dan seorang ibu yang cantik yang membuka tangannya untuk memeluk kita.
Dasar teologis dari refleksi Paus ini adalah persekutuan dari Allah Tritunggal. Dalam “Pujian Kepada saudara Matahari”, Santo Fransiskus merenungkan misteri penciptaan dan menyanyikannya sebagai jejak persekutuan Allah Tritunggal. Paus mendedikasikan sejumlah paragraf khusus mengulas tema “relasi antara Trinitas dan ciptaan” (bdk. LS 238-242). Berdasarkan pemikiran Bonaventura dan Thomas, Paus menegaskan ciri interkoneksitas kosmos. Berdasarkan pandangan Bonaventura, Paus menandaskan: “Orang kudus Fransiskan ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap makhluk membawa dalam dirinya sebuah struktur yang khas tritunggal” […]. Dengan demikian ia mendorong kita untuk berupaya memandang realitas dengan cara pandang Trinitaris” (LS. 239).
Demikian halnya berdasarkan pemikiran Aquinas, Paus merefleksikan bahwa “pribadi-pribadi ilahi terus berhubungan satu sama lain”, dan “dunia dijadikan menurut model ilahi tersebut. Sebagaimana dikatakan Thomas dalam Summa Theologiae, “[…] setiap makhluk condong kepada Allah, dan semua makhluk yang hidup pada gilirannya berciri khas untuk condong yang satu kepada yang lain, sehingga di dalam semesta kita dapat menemukan hubungan tetap yang tak terhitung jumlahnya dan yang terjalin secara tersembunyi” (LS 240).
Perayaan sakramental tidak terlepas dari elemen-elemen ciptaan. “Melalui ibadat, kita diajak untuk merangkul pada tingkat yang berbeda. Air, minyak, api, dan warna-warna diangkat dengan segala daya simbolisnya dan disatukan dalam pujian kita” (LS 235). Bagi Fransiskus, persekutuan elemen-elemen semesta termanifestasi secara istimewa dalam sakramen Ekaristi.
“Dalam Ekaristi, dunia ciptaan menemukan keagungannya yang terbesar. Anugerah yang biasanya menyatakan diri secara konkret, diungkapkan secara luar biasa ketika Allah yang telah menjadi manusia, menjadikan diri-Nya santapan bagi makhluk ciptaan-Nya. Tuhan, pada puncak misteri Inkarnasi, hendak menggapai lubuk hati kita melalui sepotong materi; … Dalam Ekaristi kepenuhan sudah diwujudkan; Ia adalah pusat kehidupan alam semesta, pusat yang berkelimpahan cinta dan kehidupan yang tiada habisnya. Menyatu dengan Anak yang menjelma dan yang hadir dalam Ekaristi, seluruh kosmos bersyukur kepada Allah” (LS 236).
Ekaristi Dunia. Apa motivasi seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Sí? Paus tidak sedang menawarkan sebuah “motivasi estetik”, melainkan “motivasi spiritual”, sebuah ethos kehidupan yang meminta kemauan untuk bertobat, terlibat melakukan perubahan, solider dengan kaum lemah dan terpinggir (Gereja periferi). Dalam horison keprihatinan ini Paus sangat memahami bahwa krisis ekologi adalah krisis kemanusiaan. Paus mengungkapkan keprihatianannya akan krisis ekologi dan mendesak upaya pembaruan cara manusia memperlakukan ibu bumi. Terinspirasi oleh Fransiskus Assisi, ia meyakini bahwa pemulihan saudari bumi dari krisis yang menimpahnya mengandaikan pertobatan manusia secara terus-menerus. Untuk mengubah dunia, orang harus pertama-tama mengubah dirinya sendiri.
Kata-kata Yesus kepada para murid, “kamu harus memberi mereka makan” (Mrk 6: 37) merupakan seruan imperatif bagi setiap jemaat untuk membangun solidaritas dengan sesama saudara dalam rumah bumi ini. Sikap dasar yang diandaikan dalam spiritualitas communio ialah kemampuan untuk bersyukur. Orang yang hidup dalam rasa syukur, mampu merasa puas atas kebaikan yang telah diterima tidak banyak menuntut. Dalam rasa syukur, orang terdorong untuk bersolider. Bagi orang yang mampu bersyukur jalan untuk bersikap adil pun terbuka.
Syukur merupakan tema sentral Ekaristi. Syukur atas alam semesta berarti memberi kesempatan bagi alam untuk beristirahat, berhenti mengeksploitasi. Atau dalam konteks relasi dengan sesama, syukur berarti memberi kesempatan bagi yang lemah dan tersingkir untuk menerima hak-haknya. Itulah makna sabat: istirahat, pemulihan hubungan dengan Allah, sesama dan dunia (bdk Kel. 23: 12). Dalam tradisi Kristen, hari Minggu adalah perayaan hari pertama, hari kebangkitan, pemulihan segenap ciptaan. Dengan kata lain, “hari istirahat, yang terpusat pada Ekaristi, memancarkan cahanya kepada seluruh minggu dan mendorong kita untuk lebih memperhatikan perlindungan alam dan kaum miskin” (LS 273).
Bagi seorang Kristiani yang hidup dalam rasa syukur, Ekaristi tidak selesai sebagai ritual di altar, melainkan mengalir sebagai “Ekaristi dunia”[23]. Ekaristi menguatkan kehidupan, dan hidup yang kita jalani adalah kehidupan di dalam dunia di mana kita menerima dan memberikan hidup. Dalam gairah Laudato Sí ini pantas dikatakan bahwa Ekaristi merupakan panggilan bagi orang Kristen untuk tetap setia dalam persekutuan Gereja dan terus mengupayakan pertobatan pribadi maupun komunal. Seperti kedua murid dari Emaus, momen Ekaristi mengobarkan kembali semangat kita untuk meninggalkan ketakuatan, bangkit berjalan kembali menuju Yerusalem Baru. Sukacita dan harapan ini diekspresikan oleh Paus Fransiskus sebagai sebuah gairah yang “melampaui matahari” (bdk. LS 243-245).
[1] Thomas O’loughlin, The Eucharist, 104. Studi lain yang relevan dengan tema ini: Norman Wirzba, Food and Faith. A Theology of Eating, Cambridge University Press, Cambridge, 2011.
[2] Montoya, The Theology of Food, 94.
[3] Montoya, The Theology of Food, 87-88.
[4] O’loughlin, The Eucharist, 106.
[5] O’loughlin, The Eucharist, 106-18.
[6] O’loughlin, The Eucharist, 109.
[7] O’loughlin, The Eucharist, 62.
[8] O’loughlin, The Eucharist, 112; Montoya, The Theology of Food, 89.
[9] O’loughlin, The Eucharist, 81, 113.
[10] O’loughlin, The Eucharist, 64-65.
[11] O’loughlin, The Eucharist, 65.
[12] O’loughlin, The Eucharist, 61-63, 77.
[13] Montoya, The Theology of Food, 79 dst.
[14] Montoya, The Theology of Food, 96-98.
[15] Montoya, The Theology of Food, 110.
[16] Montoya, The Theology of Food, 100.
[17] Montoya, The Theology of Food, 111.
[18] Montoya, The Theology of Food, 122.
[19] Montoya, The Theology of Food, 122.
[20] Montoya, The Theology of Food, 104-105.
[21] J. Vanier, We Need One Another, 93.
[22] Bdk. Carbajo Nunes, Sister Mother Earth. Franciscan Roots of the Laudato Sí, 21, 210.
[23] Osborne, Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas, 190.