Dalam Ekaristi yang dirayakan Gereja Katolik, sebelum Doa Syukur Agung, imam pemimpin Ekaristi berdoa demikian: “Terpujilah Engkau Tuhan Allah semesta alam, sebab dari kemurahanMu kami menerima roti (dan anggur) yang kami siapkan ini. Inilah hasil dari bumi dan dari usaha manusia yang bagi akan menjadi roti kehidupan”. Doa ini sifatnya universal, menjangkau semua manusia, segenap ciptaan, serta relasi manusia dengan semesta.
Dari sudut theology of food[1] doa tersebut merangkul tiga aspek: Pertama, dimensi syukur atas kebaikan Allah yang menganugerahi rahim bumi yang membuahkan bahan makanan. Kedua, melalui kerja tangan manusia, hasil bumi diolah menjadi makanan (roti dan anggur) agar dapat dimakan. Ketiga, dengan memakan santapan jasmani, manusia mengalami rahmat Allah secara konkret, yaitu mencernanya dalam tubuh. Ketiga dimensi tersebut membantu kita memaknai Ekaristi sebagai pemberian diri Kristus yang diterima sebagai rejeki sehari-hari maupun secara sakramental dalam liturgi Ekaristi.
Hasil Bumi dari Kemurahan Tuhan
Kebaikan yang melimpah dari sang Pencipta kita terima dalam wujud kekayaan dalam rumah bumi: Tumbuhan dan hewan yang memberikan nutrisi, air yang memberi kesegaran, tanah tempat kita berpijak dan udara yang kita hirup. Manusia dapat bertahan hidup karena memperoleh nutrsi dari tumbuh-tumbuhan serta zat-zat yang memungkinkan vitalitas tubuh.
Bahan makanan tersebut diolah, dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh manusia, terasimilasi dalam daging dan darahnya; jadi terjadi semacam communio kosmik melalui proses metabolisme tubuh manusia. Kebutuhan akan makanan dan minuman mengungkapkan dengan jelas relasi manusia dengan alam semesta. Kemurahan hati Allah berupa makanan yang berada di luar diri manusia kini memasuki tubuh melalui fungsi indera (cita rasa) sehingga relasi antara manusia dan alam terjalin lebih erat: “Dunia memproduksi makanan yang kita makan sehingga menjadi satu dengan tubuh kita. Melalui makan, kita berkomunikasi dan bersatu dengan dunia, dan dengan demikian, menghalau batas antara yang internal dan eksternal”[2].
Menarik bahwa pada skala elementer, dimensi communio antara manusia dan alam sebenarnya sudah terdapat dalam kesatuan organik bahan makan itu sendiri: Padanya terkandung berbagai zat, nutrisi, serta elemen lain yang berpadu membentuk hasil produksi yang terhidang sebagai makanan. Makanan juga mengandung unsur kekebalan yang bermanfaat bagi ketahanan tubuh manusia. Ketika dikonsumsi, fungsi elemen-elemen tersebut ‘berinkaransi’ menjadi darah dan daging yang vital bagi kelangsungan metabolisme tubuh. Itulah gambaran hidup yang riil!
Fungsi vital hasil-hasil bumi bagi tubuh manusia memperlihatkan bahwa makanan yang diperoleh dari hasil bumi itu mengandung unsur kehidupan. Telah dikatakan bahwa makanan bukan melulu benda profan, tetapi ungkapan atau tanda spiritual. Kesadaran ini menjadi autokritik bagi sikap manusia memperlakukan makanan. Dengan semakin banyaknya produksi makanan cepat saji pemaknaan makanan dan makan bersama semakin luntur.
Situasi modern ini sering melemahkan kesadaran kita tentang asal mula rejeki yang diterima sehari-hari. Teologi makanan merupakan insipirasi untuk membangun rasa syukur menggerakkan solidaritas dengan sesama yang bekerja keras (menanam bahan pangan, merawatnya, memproduksi, mengolah, memasak dan menghidangkan) sampai segala sesuatu terhidang di hadapan kita.
Kebutuhan dasar akan makanan mengungkapkan relasi holistik dan mendalam antara manusia dengan Allah, sesama dan alam: Tuhan sendiri sesungguhnya adalah rejeki sehari-hari melalui makanan dan minuman yang membawa kehidupan bagi manusia. Manusia haus dan lapar tidak hanya pada makanan jasmani, tetapi juga akan nilai-nilai spiritual yang memuaskan dahaga batinnya. Karena itu kebutuhan akan makanan tidak hanya berdimensi fungsional (utilitarian function) tetapi juga ‘sakramental’. Sebagai makhluk sakramental manusia tidak hanya mampu melihat (seeing) dan mengetahui (knowing), tetapi juga merasakan (testing)[3].
Dalam konteks teologi Ekaristi, penyelenggaraan ilahi bukan hal tambahan melainkan sumber kebutuhan manusia. Tuhan asal-muasal hasil bumi, laut dan segala isinya. Makanan merupakan ‘rejeki hari ini’ dari Tuhan. Sebab itu rasa syukur akan kebaikan Tuhan dalam wujud makanan merupakan sikap iman. Sebaliknya memandang makanan melulu sebagai hal profan termasuk ciri ateisme: “…to assert that one could imagine food production holistically without some reference to the divine is tantamount to a declaration of atheism”[4]. Rasa syukur atas anugerah makanan dapat menggerakkan solidaritas dengan sesama dan alam semesta.
Usaha Manusia
Pokok kedua dari doa di atas berkaitan dengan penghargaan dan pemaknaan hasil kerja manusia. Bahan makanan dikaitkan dengan dinamika alam, yaitu pergantian musim, hasil bumi tertentu, bahkan budaya khas. Citarasa makanan umumnya dipengaruhi situasi geografis, serta aktivitas manusia seperti bertani, nelayan, dan sebagainya untuk menghasilkan bahan pangan. Kerja tangan manusia mengolah sumber makanan berkembang dalam jaringan kerja dan asosiasi bisnis dari yang bersekala kecil sampai yang lebih besar dan global.
Dalam konteks ini kerja tangan dimaknai sebagai karunia bagi manusia. Melalui tangan manusia, bahan pangan diolah menjadi makanan untuk layak dikonsumsi[5]. Secara sederhana pengolahan makanan terwujud dalam tindakan memasak. Untuk memasak orang perlu memilah bahan makanan yang baik dan sehat, mengolahnya secara baik, menghidangkannya dengan citarasa dan seni. Memasak adalah contoh ekspresi persatuan seseorang dengan alam sekitar maupun sesama. Dengan kata lain, “cooking is deeply connected with our view of the world around us and who are in that world”[6].
Melalui kemampuannya mengolah hasil bumi, manusia mengubah makanan (food) menjadi santapan (meals). Yang pertama berkaitan dengan makanan yang tersaji; sedangkan yang kedua terkait dengan kebersamaan orang-orang yang mengambil bagian dalam makan bersama: “The meal is as much a fundamental element of humanity as shared rationality or language”[7]. Orang tentu dapat menikmati maknan dalam kesendirian. Namun dalam hal ini tidak terjadi sharing meals. Melalui santapan bersama, individu-individu menjadi sebuah communio. Dengan makan bersama, yang terpenuhi bukan hanya kebutuhan jasmani manusia sebagai individu, tetapi juga kebutuhan membangun relasi dengan sesama[8].
Orang-orang modern mengerti dengan baik distingsi antara mengkonsumsi makanan sebagai kebutuhan dan sebagai sebuah ekspresi simbolik. Misalnya: terdapat perbedaan makna antara meminum anggur karena keinginan biasa dan meminumnya sebagai ritus bersulang. Ada perbedaan antara makan sepotong kue karena merasa lapar dan memakannya sebagai pemberian dari seseorang yang merayakan ulang tahun. Simbol dan gesture yang bersifat ritual mengungkapkan rasa syukur dan kenangan atas pengalaman manusia dalam hidup sehari-hari[9].
Menjadi Roti Kehidupan
Makan merupakan tindakan “mengambil bagian”. “Roti dan anggur” dunia akan menjadi bagian dari diri hidup manusia. Tubuh berperan sebagai media proses perubahan yang terjadi pada elemen makanan. Dengan demikian tubuh berinteraksi dengan elemen-elemen dari luar:
“Bukan hanya roti, tetapi setiap partikel makanan yang kita makan (dan setiap atom dalam udara yang kita hirup) pada dasarnya adalah daging dunia. […] Lebih dari sekadar sebuah asimilasi, makan merupakan proses pembentukan yang universal, proses inkarnasi, proses pembentukan tubuh, agar ia mampu bertahan dari kerusakan-kerusakan. Karena manusia adalah makhluk daging (inkarnatif), maka makanan merupakan titik pertemuannya dengan alam semesta, dan karena itu menjadi sarana persekutuannya dengan dunia”[10].
Menjadi manusia dan makan adalah dua hal tak terpisahkan. Kebutuhan makan menegaskan bahwa kita adalah makhluk pemakan. Namun relasi antara manusia dan makanan kiranya tidak dapat direduksi melulu dalam tendensi profan (manusia ialah apa yang ia makan), tetapi lebih mendalam: “no meal is profane for those who know to see”[11]. Ekspresi Nubuat Nabi lebih tegas: “manusia hidup bukan dari roti saja” (Ul. 8: 3). Ekaristi adalah sebuah perjamuan di mana kita merayakan persekutuan dengan Tuhan, dengan sesama, dan alam semesta.
Dalam rangka teologi Ekaristi, refleksinya demikian: Jika pada tataran ‘profan’, makan memberi makna mendalam bagi kehidupan manusia, maka harus dikatakan bahwa tindakan Yesus memilih ritual ‘makan bersama’ sebagai momentum ungkapan kasih dan pengampuan kepada orang berdosa, serta Perjamuan Akhir dengan para murid sebelum wafat-Nya, memiliki makna spiritual yang mendalam. Theology of food membuka wawasan tentang korelasi antara rasa syukur dalam hidup sehari-hari dan rasa syukur atas karya keselamatan Allah dalam perayaan Ekaristi. Tanpa yang pertama, yang kedua hanya menjadi ritual tanpa makna.
Makna serupa telah ditunjukkan dalam Paskah Yahudi. Birkat Ha-Mazon keluarga Yahudi merupakan ucapan syukur atas berkat Yahwe bagi Israel. Bagi orang Kristen, berdasarkan kebaruan yang diperlihatkan-Nya pada malam Perjamuan Akhir sebelum wafat-Nya, Ekaristi dimaknai sebagai makan Tubuh Kristus dan minum Darah-Nya. Berpartisipasi dalam Ekaristi berarti menyantap Anak Domba Paskah, yaitu Kristus sendiri. Santapan Anak Domba memiliki makna akan harapan perjamuan eskatologis: “Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 8: 11)[12].
Perjamuan Hikmat
Dalam Literatur Kitab Kebijaksanaan ditampilkan figur Hikmat. Ia dipertentangkan dengan kebodohan. Hikmat dilukiskan sebagai perempuan bijaksana (Sophia). Figur wanita bijakasana ini dipertentangkan dengan figur Hawa dalam Kitab Kejadian yang ‘menghindangkan’ buah terlarang bagi Adam. Di taman Eden Hawa menawarkan buah dari pohon pengetahuan yang seharusnya tidak boleh dimakan oleh manusia. Sedangkan figur hikmat menghidangkan santapan kebijaksanaan dan mengundang manusia menyantapnya[13].
Menurut kitab Amsal, sang hikmat adalah permulaan pekerjaan Allah (8: 22); ia telah dibentuk sejak zaman purbakala, sebelum bumi ada (8: 23). Ia ada sebelum bumi dan langit serta segala isi dan batas-batasnya ditetapkan (8: 24-29); selalu hadir bersama Sang Pencipta, bermain-main bersama-Nya sebagai kesayangan-Nya: “Aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku (8: 30-31)[14]. Dalam Ams 9: 1-6 figur perempuan bijaksana ini menyiapkan sebuah perjamuan dan mengundang orang untuk datang kepadanya. Dan orang yang ikut dalam perjamuan itu tidak hanya akan kenyang; mereka akan hidup dan memperoleh pengertian.
“Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya, memotong ternak sembelihannya, mencampur anggurnya, dan menyediakan hidangannya. Pelayan-pelayan perempuan telah disuruhnya berseru-seru di atas tempat-tempat yang tinggi di kota: ‘Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari’; dan kepada yang tidak berakal budi katanya:’ Marilah, makanlah rotiku, dan minumlah anggur yang telah kucampur; buanglah kebodohan, maka kamu akan hidup, dan ikutilah jalan pengertian’”.
Sebagaimana direfleksikan Montoya, “undangan sang hikmat, marilah, makanlah rotiku, dan minumlah anggur yang telah kucampur, merupakan antisipasi perjamuan akhir Yesus, di mana Ia berkata kepada para murid-Nya: terimalah dan makanlah inilah tubuh-Ku, terimalah dan minumlah inilah dara-Ku[15]. Perjamuan kebijaksanaan juga tersedia bagi anak manusia yang merindukan hikmat dalam jiwanya, hikmat yang memenuhi harapan hidupnya[16]. Kata sang hikmat: “Anakku, makanlah madu, sebab itu baik; dan tetesan madu manis untuk langit-langit mulutmu. Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu: Jika engkau mendapatnya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang” (24: 13-14).
Panggilan untuk Solidaritas Global
Gagasan ‘teologi makanan’ yang diperkuat dengan dasar biblis “perjamuan kebijaksanaan” ini membuka pemahaman dan refleksi kita tentang dimensi sosial perayaan Ekaristi. Sophia adalah simbol pemberian diri Allah sendiri sebagai nutrisi ilahi bagi dunia[17].
Pemberian diri Allah itu menjadi semakin radikal dalam Ekaristi. Allah tampil sebagai ibu yang Maharahim: Ia menyediakan perjamuan bagi kita sejak penciptaan melalui hasil-hasil ibu bumi. Roti dan anggur merupakan tanda kurban Kristus, logos ilahi yang telah menjadi manusia. Dalam Ekaristi Sang Kebijaksanaan tidak hanya menjadi tuan rumah perjamuan; Ia sendirilah hidangannya[18].
Pemberian diri Kristus merupakan seruan etis untuk mewujudkan solidaritas global. “[…] kisah tentang Allah yang membagikan makanan bukan hanya sebuah estetika (seni, karya yang indah dan terampil), namun juga menyiratkan dimensi etis. Pemberian makanan dari Allah dan pemberian diri-Nya kepada manusia berupa makanan merupakan wujud bahwa Ia adalah sumber kebaikan ilahi yang memuaskan rasa lapar jasmani dan rohani, tetapi sekaligus yang mendorong kita untuk berbagi dan peduli satu sama lain”[19].
Dan sebagai bentuk realis praesentia Kristus, perjamuan hikmat memberi jaminan kekuatan bagi manusia untuk terus berziarah menuju kesatuan dengan Sang Pencipta. “Sophia adalah Kebijaksanaan ilahi yang mengarahkan dan membuka kesadaran kita tentang persekutuan atau kedekatan kita satu sama lain sebagai ciri kodrati, serta persekutuan dan kedekatan kita dengan Tuhan sejak awal mula. Ikatan dan persekutuan ini bukan sebuah titik akhir dari relasi tersebut, melainkan sebuah proses terus-menerus yang bersifat terbuka, yang mengarahkan kita kepada wujud tersembunyi atau misteri yang menyalakan dambaaan untuk merasakan dan merasakan lagi sesuatu di luar pengetahuan kita, yaitu Kebijaksanaan Allah”[20].
[1] Thomas O’loughlin, The Eucharist, 104.
[2] Montoya, The Theology of Food, 94.
[3] Montoya, The Theology of Food, 87-88.
[4] O’loughlin, The Eucharist, 106.
[5] O’loughlin, The Eucharist, 106-18.
[6] O’loughlin, The Eucharist, 109.
[7] O’loughlin, The Eucharist, 62.
[8] O’loughlin, The Eucharist, 112; Montoya, The Theology of Food, 89.
[9] O’loughlin, The Eucharist, 81, 113.
[10] O’loughlin, The Eucharist, 64-65.
[11] O’loughlin, The Eucharist, 65.
[12] O’loughlin, The Eucharist, 61-63, 77.
[13] Montoya, The Theology of Food, 79 dst.
[14] Montoya, The Theology of Food, 96-98.
[15] Montoya, The Theology of Food, 110.
[16] Montoya, The Theology of Food, 100.
[17] Montoya, The Theology of Food, 111.
[18] Montoya, The Theology of Food, 122.
[19] Montoya, The Theology of Food, 122.
[20] Montoya, The Theology of Food, 104-105.
Terimakasih Pater tulisan ini semakin meneguhkan iman dan harapan
Terima kasih pater_ Ternyata Ekaristi penjelasan dari sudut Theologi mengandung makna yang sangat mendalam… Melalui Ekaristi kita memelihara iman Gereja._Salam dan doa, semoga pater sehat selalu dan senantiasa dalam perlindungan TUHAN.
Terima kasih pater_Ekaristi dijelaskan dari sudut Theologi mengandung makna yang sangat mendalam.. Melalui Ekaristi kita memelihara iman Gereja.. Salam dan doa, semoga pater sehat selalu dan senantiasa dalam perlindungan TUHAN.