Berikut ini rangkuman dari beberapa dokumen Gereja, terutama Seruan Apostolik Paus Fransiskus Laudate Deum dan dokumen FABC Pastoral Letter To the Local Churches in Asia on the Care of Creation. Poin-poin inti dari dokumen-dokumen tersebut saya urutkan dalam alur berikut ini: 1) Membaca fakta krisis iklim; 2) “menginterogasi” pihak yang bertanggung jawab; 3) mengkritik paradigma yang keliru; 4) mengambil jalan rekonsiliasi dengan bumi; 5) membarui diri bermula dari hati; 6) menjawab panggilan untuk bertindak; 7) mendukung aksi-aksi nyata sebagai tanda harapan; dan 8) mengulangi aksi-aksi kecil. NB: Materi ini telah dipresentasikan pada Temu Pastoral Keuskupan Agung Jakarta 19 dan 26 Mei 2025.
1. Fakta
Seruan Apostolik Laudate Deum (2023) ditulis Paus Fransiskus delapan tahun setelah Ensiklik Laudato Si’ (2015). Paus prihatin bahwa tanggapan terhadap Laudato Si’ belum memadai, sementara “dunia tempat kita hidup sedang menuju keruntuhan dan mungkin mendekati titik puncaknya” (LD 2). Seperti dalam Laudato Si’ Paus menegaskan kembali bahwa kurangnya tanggapan pada krisis bumi mencerminkan pula kurangnya kepedulian pada sesama manusia. Bagi Fransiskus, tragedi lingkungan alam mencerminkan tragedi kemanusiaan (LD 3).
Di tahun 2025 ini (10 tahun Laudato Si) kelebihan emisi gas rumah kaca sudah mengakibatkan kenaikan suhu global sebesar 1.5°C. Jika suhu udara naik menjadi 2 derajat, ancaman bagi kehidupan di bumi menjadi semakin serius (LD 5).
Krisis iklim begitu nyata, namun banyak pihak yang menutupinya, memandangnya sebagai siklus alami saja; atau malahan menyalahkan orang miskin karena memiliki terlalu banyak anak. Dalam kenyataan “sebagian kecil penduduk bumi yang paling kaya menghasilkan polusi lebih banyak daripada 50% penduduk termiskin dari total populasi dunia” (LD 9).
Sering dikatakan bahwa upaya pengurangan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan energi bersih “menyebabkan berkurangnya lapangan kerja”. Sebenarnya yang terjadi ialah “jutaan orang kehilangan pekerjaan karena berbagai dampak perubahan iklim” (LD 10).
Kenaikan suhu global dipicu juga oleh kenaikan emisi gas rumah kaca. “Peningkatan ini tidak hanya terjadi di permukaan bumi tetapi juga beberapa kilometer lebih tinggi di atmosfer, di permukaan lautan, dan bahkan ratusan meter di bawahnya” (LD 12). Dan dampak lain dari krisis iklim ialah berkurangnya lapisan es di beberapa benua. Paus menegaskan bahwa “mencairnya es kutub tidak akan bisa dibalikkan selama ratusan tahun” (LD 16).
Dampak krisis iklim dirasakan juga di Asia. Federasi para uskup Asia dalam dokumen FABC Pastoral Letter To the Local Churches in Asia on the Care of Creation: A Call to Ecological Conversion, mencatat enam dampak dari kegiatan manusia yang mengakibatkan perubahan iklim: Deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, naiknya permukaan laut dan pengungsian paksa masyarakat pesisir, krisis air, polusi udara dan kesehatan, cuaca ekstrem, krisis pertanian dan ketahanan pangan. Krisis bumi dan iklim membawa “tragedi ekologi” bagi masyarakat termiskin dan paling rentan di Asia, yaitu keluarga pesisir yang rumahnya tersapu banjir, petani yang tidak dapat lagi bercocok tanam, dan anak-anak yang menderita akibat polusi udara dan air.”
2. Siapa yang Bertanggung Jawab?
Siapa yang menyebabkan krisis global perubahan iklim? “Tidak dapat diragukan lagi bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia – antropik,” tulis Paus Fransiskus (LD 11).
Politisi dan pengusaha. Terhadap masalah kehilangan pekerjaan yang dialami jutaan orang, dikatakan bahwa “[…] para politisi dan pengusaha harus segera menanganinya” (LD 10).
Ahli ekonomi dan keuangan. Paus juga melihat bahwa di kalangan para ahli, ada yang “menutupi fakta korelasi antara krisis iklim dan krisis kemanusiaan.” Pandangan ini membenarkan […] kekuatan-kekuatan ekonomi yang besar, yang berkepentingan memperoleh keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan dalam waktu sesingkat mungkin.” Paus prihatin bahwa pandangan serupa ia temukan juga dalam Gereja Katolik (LD 14).
Politik internasional. Kesepakatan multilateral antarnegara harus dipertahankan (LD 34). Organisasi internasional harus membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rumah kita bersama, bukan untuk kepentingan negara-negara yang kuat dan kelompok elit ekonomi. Kebijakan internasional hendaknya didasarkan pada prinsip subsidiaritas (LD 34-37).
Elit politik di tingkat internasional perlu membuka diri bagi gerakan ‘dari bawah’ berupa nilai lokal, praktik baik dari pribadi dan kelompok dalam menghadapi dampak perubahan iklim (LD 38-42). “Tidak ada gunanya lagi untuk mendukung lembaga yang mempertahankan hak-hak pihak yang terkuat tanpa memperhatikan hak-hak semua pihak” (LD 43).
Dalam konteks Asia, FABC menegaskan bahwa kepada para pemimpin politik, para pembuat kebijakan, dan pembuat keputusan, terutama umat Katolik awam, harus diingatkan bahwa pilihan yang mereka buat hari ini akan dinilai oleh generasi mendatang.
Konferensi-Konferensi Iklim. Pertemuan UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) dari 190 negara yang membahas masalah krisis iklim. Negara-negara tersebut bertemu dalam Konferensi Para Pihak atau COP (Conference of the Parties).
COP diharapkan mengambil kebijakan yang mengutamakan negara-negara yang paling terkena dampak perubahan iklim. COP yang ke-28 dilaksanakan di Dubai tahun 2023, ke-29 di Baku, Azerbaijan tahun 2024 dan yang ke-30 akan diadakan pada November 2025 di Belem Brasil.
COP membawa dampak positif seperti dalam kasus perlindungan lapisan ozon. Namun, transisi yang diperlukan untuk energi ramah lingkungan seperti energi angin dan matahari, serta meninggalkan bahan bakar fosil, tidak berjalan cukup cepat (LD 44-55).
Masalah utamanya ialah negara-negara yang kuat tidak bersedia menurunkan level penggunaan bahan bakar fosil. Paus mengkritik kelambanan COP. Ia mendorong para politisi “mengatasi mentalitas yang tampaknya peka terhadap masalah namun pada saat yang sama tidak memiliki keberanian yang diperlukan untuk mengadakan perubahan yang signifikan” (LD 56).
3. Paradigma-Obsesi-Ideologi Negatif
Teknokratis: Pada intinya, teknokrasi berpikir “seolah-olah kenyataan, kebaikan, dan kebenaran secara otomatis mengalir dari kekuatan teknologi dan ekonomi.” Mereka yang mengikuti pandangan ini percaya pada “gagasan pertumbuhan yang tidak terhingga atau tidak terbatas.” Paus mengkritik paradigma yang “telah begitu menggairahkan para ekonom, pakar keuangan, dan pakar teknologi (LD 20; LS 101).
Paradigma teknokratis juga tampak pada optimisme akan kemajuan teknologi Kecerdasan Buatan, seolah-olah kemajuan AI membenarkan kemampuan tak terbatas manusia, dan karena itu membenarkan kekuasaan manusia pula (LD 21). Penggunaan AI untuk perang menunjukkan bahwa manusia dapat menciptakan untuk membunuh. Paradigma teknokratis “menghancurkan hubungan (antara manusia dan lingkungan) yang sehat dan harmonis ini” (LD 27).
Paus menegaskan bahwa “masalah yang lebih besar adalah ideologi yang mendasari obsesi: meningkatkan kekuatan manusia melampaui apa pun yang dapat dibayangkan, di mana realitas yang bukan manusia hanyalah sumber daya yang melayani manusia. Segala sesuatu yang ada tidak lagi menjadi anugerah yang patut dihormati, dihargai, dan dirawat; malah menjadi budak, menjadi korban dari segala ambisi benak manusia dan kemampuannya” (LD 22). ”Dengan demikian, paradigma teknokratis secara mengerikan memakan dirinya sendiri” (LD 21).
Sungguh mengerikan bila menyadari bahwa kemampuan yang diperluas oleh teknologi telah memberikan kepada mereka yang memiliki pengetahuan dan kekuatan ekonomi untuk menggunakannya, sebuah kekuasaan luar biasa atas seluruh umat manusia dan seluruh dunia (LD 23). Tidak ada yang menjamin bahwa kekuasaan tersebut akan digunakan dengan baik.
Pola pikir teknokratis yang masih sangat kuat pada level internasional menimbulkan kesan bahwa COP itu “lelucon yang tidak bertanggung jawab” (LD 58), karena mereka yang mengambil bagian dalam konferensi ini lebih memikirkan “kepentingan spesifik beberapa negara atau dunia usaha tertentu” (LD 60). Paus mengingatkan agar kita “tidak terjebak dalam pola pikir yang selalu menambal, memperbaiki dan membalut, sementara di baliknya kerusakan terus berlanjut dan terus kita pelihara” (LD 57).
Meritokrasi: “Meritokrasi diartikan sebagai suatu kekuasaan manusia yang layak/wajar, yang kepadanya segala sesuatu harus tunduk, sebuah dominasi dari mereka yang dilahirkan dengan kondisi perkembangan yang lebih baik […] Meritokrasi dapat dengan mudah menjadi sebuah penghalang/tabir yang semakin mengkonsolidasikan hak istimewa segelintir orang yang mempunyai kekuasaan lebih besar.” (LD 32). Dalam “logika sesat” ini, orang merasa nyaman dengan sumber daya keuangan dari hasil kerjanya, namun tidak peduli pada rumah bersama.
Di satu pihak kita melihat kemajuan teknologi yang mengagumkan; namun “pada saat yang sama kita telah menjadi makhluk yang sangat berbahaya, yang mampu mengancam kehidupan banyak makhluk dan kelangsungan hidup kita sendiri […] kemajuan yang kita hasilkan berbalik melawan kita sendiri” (LD 28). Bisnis perdagangan senjata menunjukkan bahwa manusia menyalahgunakan kemampuannya sendiri, karena ia ‘menciptakan untuk membunuh’.
4. Rekonsiliasi dengan Bumi
Laudate Deum diawali dan diakhiri dengan ajakan bagi semua umat manusia untuk memuji Allah Pencipta (LD 1 & 73). Tindakan memuji tumbuh dari rasa kagum yang mendalam akan ciptaan sebagai karya seni Allah: Ia telah menjadikan segalanya baik, indah, harmonis. Mengagumi karya seni berarti mengagumi sang Seniman yang telah menjadikannya.
Santo Bonaventura dalam Itinerarium Mentis in Deum merenungkan bahwa ketika manusia memperlakukan bumi hanya sebagai objek pemuas rasa ingin tahu, alam semesta pun ‘berbalik melawan dia’ (IMD I.15). Perlakuan buruk manusia terhadap bumi justru merugikan dirinya sendiri. Hal senada diserukan dalam Laudate Deum. Paus mengundang kita untuk “mengambil jalan rekonsiliasi dengan bumi yang merupakan tuan rumah kita” (LD 69). Rekonsiliasi dengan bumi juga berarti rekonsiliasi dengan Allah; sebaliknya “manusia yang mengeklaim dirinya menggantikan Allah, menjadi musuh terburuk bagi dirinya sendiri” (LD 73).
Laudate Deum mengundang kita memandang “keseimbangan halus” dan “keanekaragaman” makhluk-makhluk dunia dengan mata rohani. Kita diajak mengagumi “makhluk dunia” yang “bukan sekedar realitas alamiah saja” (LD 62, 65). Sebagai ciptaan Tuhan, setiap makhluk, kata St. Bonaventura “bukan sekedar benda (res) melainkan tanda (signum).”
Paus berbicara tentang antroposentrisme yang terkondisi, yaitu kesadaran bahwa “kehidupan manusia tidak dapat dipahami dan tidak dapat dipertahankan tanpa adanya makhluk lain. Karena, “kita dan semua makhluk alam semesta disatukan oleh ikatan yang tak kelihatan dan membentuk semacam keluarga universal” (LD 67). Dengan demikian “kita berhenti memandang manusia sebagai makhluk yang otonom, mahakuasa, tak terbatas” (LD 68).
Paus mengundang semua orang untuk mengambil bagian dalam jalan “rekonsiliasi dengan dunia yang merupakan tuan rumah kita dan memperkayanya dengan sumbangan kita masing-masing” (LD 69). Dengan kata lain, kita diundang untuk bertobat, berbalik dari kerakusan kita yang merampok bumi secara berlebihan: merusak tanah, udara, air, memiskinkan flora dan fauna, mengacaukan iklimnya, dan dengan demikian juga menimpa penderitaan pada manusia. Mari kembali ke cara hidup yang lebih bersahaja: mengambil apa yang betul kita butuhkan dan mengembalikan kepada bumi apa yang dibutuhkannya untuk tetap baik atau pulih kembali.
5. Pembaruan Hati Manusia
Pemulihan bumi mengandaikan pemulihan diri (hati) manusia. Prinsip mendasar ini sudah dikatakan Paus dalam Laudato Siʼ dan ditegaskan lagi dalam Ensiklik yang ke empat, Dilexit Nos (DN). Paus menjelaskan bahwa DN dapat membantu kita melihat bahwa Ensiklik Laudato Siʼ dan Fratelli Tutti terkait dengan perjumpaan kita dengan kasih Kristus (DN 217). Kasih Kristus yang mengalir dari hati-Nya yang Mahakudus telah menyembuhkan luka-luka manusia. Hati manusia terluka oleh dosa, namun kekuatan kasih Tuhan memulihkannya.
“Dunia dapat berubah, dimulai dari hati” (DN 28). Untuk membarui dunia kita perlu membarui hati. Untuk menyembuhkan luka dunia kita perlu menyembuhkan hati manusia yang terluka. Dengan kata lain, untuk dapat berdamai dengan bumi, kita perlu berdamai dengan diri sendiri.
Mengapa kembali ke hati? Di zaman sekarang kita mendapati diri kita tenggelam dalam konsumerisme, didominasi oleh kecepatan yang sibuk, serta dibombardir oleh teknologi, namun kurang dalam kesabaran. Kita butuh keheningan sebagai nutrisi bagi hati (DN 9).
Kembali ke hati berarti kembali ke pusat diri yang dapat mempersatukan perbedaan. “Hanya dengan memulai dari hatilah komunitas kita akan berhasil menyatukan dan mendamaikan pikiran dan kehendak yang berbeda […] Rekonsiliasi dan kedamaian lahir dari hati” (DN 28).
Paus Fransiskus merefleksikan bahwa setiap orang dari kita membutuhkan perubahan hati, sebab “ketidakseimbangan yang memengaruhi dunia saat ini sebenarnya merupakan gejala dari ketidakseimbangan yang lebih dalam yang berakar di hati manusiaˮ (DN 29).
Sebagaimana dalam Fratelli Tutti, Paus menegaskan kembali di sini bahwa “kita tidak dapat mencapai keutuhan diri kita sebagai manusia kecuali kita membuka hati kita kepada orang lain; hanya melalui kasih kita menjadi diri kita sendiri sepenuhnya” (DN 59).
Pembaruan hati manusia dipandang penting di hadapan krisis global. Membangun dunia sekarang ibarat “membangun dari reruntuhan” akibat kebencian, kekerasan, dan eksploitasi. Dalam bahasa Yohanes Paulus II, kita berhadapan dengan ‘dosa struktural.’ Untuk dapat memperbaiki struktur itu, kita harus mulai dari ‘pertobatan hati’ (DN 182-183).
“Dalam persatuan dengan Kristus, di tengah reruntuhan yang telah kita tinggalkan di dunia ini oleh dosa-dosa kita, kita dipanggil untuk membangun peradaban kasih yang baru […] Di tengah kehancuran yang ditimbulkan oleh kejahatan, hati Kristus menginginkan agar kita bekerja sama dengan-Nya dalam memulihkan kebaikan dan keindahan bagi dunia kita” (DN 182).
Memandang bumi dengan mata hati berarti tidak mereduksinya sebagai sebuah mekanisme, melainkan sebagai sebuah organisme, dan karena itu memperlakukan sebagaimana adanya dia sebagai ciptaan: baik, indah, harmonis, megah dan teratur. Sebagai mikrokosmos, manusia adalah minister naturae. Manusia diberi mandat menjadi pelayan ciptaan. Bagian dari pelayanan itu ialah memulihkannya, artinya menjadi medis baginya (Di Maio 2021: 178-181).
6. Panggilan untuk Bertindak
Mengubah Gaya Hidup. Aksi-aksi untuk pemulihan bumi mengandaikan komitmen setiap orang untuk mengubah gaya hidup. Paus menyerukan upaya-upaya untuk menciptakan ‘gaya hidup yang baru’ [LS 203-208], yang dalam Laudate Deum disebut hidup yang bersahaja.
Pengendali perubahan adalah manusia, bukan mesin atau Kecerdasan Buatan. Kita diundang untuk menyikapi arus konsumerisme pasar dengan memperhatikan cara kita berbelanja: apakah sungguh sebagai kebutuhan atau hanya untuk kepuasan saja? Paus berbicara tentang bahaya sikap serakah di balik kecenderungan ‘membeli-memiliki-mengkonsumsi’. Baginya sikap ini adalah indikasi kurangnya kepekaan akan kesejahteraan umum. Ia mengingatkan: ‘Obsesi gaya hidup konsumtif hanya akan menimbulkan kekerasan dan tindakan saling menghancurkan, terutama ketika hanya sedikit orang dapat menikmati gaya hidup’ (LS 204).
Satu perubahan kecil yang dilakukan satu orang merupakan nilai fundamental bagi komunitas masyarakat. Bagi Paus Fransiskus “[…] perlu diingat bahwa tidak ada perubahan yang bertahan lama tanpa perubahan budaya, tanpa pematangan gaya hidup dan keyakinan sosial, dan tidak ada perubahan budaya tanpa perubahan pada pribadi manusia” (LD 70).
Pertobatan Ekologis. Laudato Sí menunjuk dengan jelas bahwa krisis ekologi adalah krisis kemanusiaan. Paus mengungkapkan keprihatinannya akan krisis ini dan mendesak semangat tobat: pembaruan secara nyata cara manusia memperlakukan ibu bumi. Untuk mengubah dunia, diperlukan ‘pertobatan batin yang mendalam’ (LS 217). Pertobatan ekologis bukan hanya berupa ide atau refleksi pasif, melainkan sikap konkret baik sebagai pribadi maupun (terutama) sebagai kelompok atau komunitas, karena krisis bumi sangat kompleks. Namun sikap konkret juga bukan sesaat saja, melainkan secara kontinu dan terencana (LS 219-220).
Pendidikan Ekologi Integral. Dalam Laudato Sí telah dikatakan bahwa locus pertama pembentukan hati manusia adalah keluarga. Paus memandang penting pendidikan dalam keluarga. Keluarga adalah “sanggar budaya kehidupan”, “tempat pembinaan integral.”
Ia menulis demikian: “Dalam keluarga, ditanamkan kebiasaan awal untuk mencintai dan melestarikan hidup, seperti penggunaan barang secara tepat, ketertiban dan kebersihan, rasa hormat akan ekosistem lokal, dan kepedulian terhadap semua makhluk ciptaan” (LS 213). Keluarga harus mengupayakan aksi kecil seperti mengurangi sampah dan mengonsumsi dengan bijak. “Dengan mengubah saja kebiasaan pribadi, keluarga, dan masyarakat, ditanamkan keprihatinan terhadap tanggung jawab sektor politik yang tidak terpenuhi dan kemarahan atas ketidakpedulian pihak yang berkuasa” (LD 71).
Selain keluarga, semua komunitas Kristiani harus memainkan peran penting dalam pendidikan ekologis. “Saya juga berharap bahwa di seminari-seminari dan rumah-rumah pembinaan hidup bakti diberikan pembinaan keugaharian yang bertanggung jawab, kontemplasi dunia dengan penuh rasa syukur, dan kepedulian akan kerapuhan orang miskin serta lingkungan hidup” (LS 214). Dalam hal ini, menurut Paus Fransiskus, pendidikan estetika berarti pembentukan rasa kagum pada alam, agar alam tidak hanya menjadi objek konsumsi (LS 215).
Bagi Paus Fransiskus, pendidikan perlu ditempatkan sebagai sebuah proses untuk membentuk ethos masa depan bumi. Sebab itu manusia dibentuk agar ia mampu bersikap secara baik terhadap sesama maupun ciptaan lain: “Pendidikan tidak akan efektif, dan segala upaya akan sia-sia, jika kita tidak berusaha untuk menyebarkan suatu cara berpikir baru tentang manusia, kehidupan, masyarakat, dan hubungan kita dengan alam” (LS 215).
Berdasarkan Laudato Sí dan Laudate Deum, FABC juga menyerukan pentingnya: 1) mendidik masyarakat kita tentang tanggung jawab ekologis; 2) mempromosikan gaya hidup yang lebih sederhana dan lebih berkelanjutan, serta 3) memupuk spiritualitas ciptaan yang memperdalam hubungan kita dengan Tuhan, manusia, dan kosmos.
Mitigasi, adaptasi, legislasi, dan keuangan. FABC mengedepankan empat kategori aksi:
- Mengadvokasi gerakan-gerakan lokal sebagai kontribusi bagi upaya global mengatasi krisis iklim. Melestarikan hutan, terumbu karang, dan sungai-sungai di Asia harus menjadi prioritas. Pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan ekosistem ini berkembang, dengan masyarakat adat sebagai pelopor.
- Adaptasi dan kerugian: berpihak pada yang rentan. Orang miskin adalah yang pertama dan paling terdampak oleh perubahan iklim. Kita harus menyuarakan aspirasi mereka dan menuntut akuntabilitas dari pemerintah dan masyarakat industri.
- Legislasi nasional dan internasional dalam pembelaan ekologi. Aktif melobi pembentukan undang-undang lingkungan hidup dengan aturan pelaksanaan yang jelas tentang pengelolaan limbah padat, cair, dan gas, peraturan tentang pertambangan, dan perlindungan daerah aliran sungai, serta memungkinkan masyarakat dan negara-negara kecil untuk menuntut akuntabilitas dari perusahaan yang melanggar UU lingkungan.
- Pendanaan iklim yang berakar pada keadilan. Para pencemar harus membayar bagian yang adil, dan negara yang lebih kaya harus memenuhi komitmen mendanai aksi iklim.
7. Pengharapan
Paus Leo ke-XIV sejak pidato pertama di lapangan Santo Petrus menyerukan damai. Sebagai peziarah di dunia, manusia dipanggil menuju damai yang utuh. Agustinus Hippo merenungkan bahwa dambaan manusia yang paling dalam ialah damai yang utuh dan pasti (pax plenissima atque certissima). Agustinus juga menulis: “Engkau telah menjadikan kami bagi-Mu Tuhan, dan jiwa kami belum berdiam sebelum ia beristirahat di dalam Engkau” (Conf I, 1).
Berharap akan damai bukan sekedar optimisme atau sebaliknya kepasrahan yang pasif. Umat Kristiani di era ini dipanggil untuk berdamai dengan bumi. Berdamai dengan bumi berarti ikut serta mengembalikan apa yang menjadi haknya agar ia tetap hidup atau menjadi lebih baik.
Dalam paradigma harapan, berdamai dengan bumi berarti tidak memperlakukannya dengan logika ekonomi, yaitu demi mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya, melainkan ikut serta memulihkannya dari luka-luka agar ia tetap menjadi rumah bagi generasi masa depan.
Paus Fransiskus merenungkan bahwa orang yang berpengharapan mampu memandang masa depannya dalam paradigma kasih dan solidaritas dengan sesama. Dalam pengharapan yang teguh seorang Kristiani dapat memaknai pertanyaan eksistensial: “Dalam hati nuraninya sendiri, dan di hadapan anak-anak yang akan menanggung kerugian akibat tindakan mereka, muncul pertanyaan tentang makna: Apa makna hidup saya? Apa makna perjalananku di bumi ini? Dan apa akhirnya makna pekerjaan dan komitmen saya?” (LD 33).
Tanda-tanda Harapan. FABC mengemukakan beberapa aksi sebagai tanda harapan:
- Ketahanan Komunitas: Gerakan-gerakan akar rumput, seperti penghijauan kembali dan rehabilitasi hutan bakau di banyak bagian Asia, menunjukkan ketahanan sebagian masyarakat lokal. Masyarakat adat berada di garis depan aksi menghadapi krisis iklim.
- Aktivis lingkungan hidup dan pendidikan: Di seluruh Asia, ada keuskupan-keuskupan telah menggandeng orang-orang yang berkarya di bidang ekologi, dari green audits paroki-paroki hingga proyek-proyek energi terbarukan, yang mengintegrasikan pemeliharaan ciptaan ke dalam kehidupan paroki dan pendidikan Katolik.
- Keterlibatan Pemuda: Ada kaum muda di keuskupan-keuskupan kita yang bangkit sebagai pejuang ekologi integral. Mereka ini menanggapi seruan Paus Fransiskus dalam Laudate Deum untuk bertindak dengan urgensi demi masa depan planet ini. Komitmen mereka menawarkan harapan bagi masa depan ciptaan dan menantang kita semua untuk bertindak dengan tanggung jawab yang lebih besar.
- Kolaborasi lintas agama dan masyarakat sipil: Mendesaknya keadilan atas iklim melampaui batas-batas agama. Ini adalah titik awal yang penting untuk suatu dialog ekumenis dan antar agama, serta kemitraan dengan masyarakat sipil dan semua orang yang berkehendak baik. Sebagai orang Kristen, kita harus berjalan bersama dengan saudara-saudara kita yang beragama lain dalam advokasi merawat rumah kita bersama.
- Misi untuk Komunitas Basis Gerejawi: Transformasi dari Komunitas Basis Gerejawi (KBG) menjadi Komunitas Basis Manusiawi (KBM) dapat membantu kita memelihara persaudaraan manusiawi yang lebih luas dan rasa tanggung jawab bersama untuk ciptaan, menjembatani upaya berbasis agama dengan tujuan global keberlanjutan.
- Komitmen di Tahun Yubileum: Sebagai bagian dari Tahun Yubileum Pengharapan 2025, Gereja menjadikan kepedulian terhadap ciptaan sebagai tema penting; dan mendesak keuskupan dan paroki untuk memperkuat inisiatif-inisiatif ekologis dan mempromosikan gaya hidup berkelanjutan sebagai ungkapan dan perwujudan iman.
8. Usulan Aksi-Aksi Kecil
Tentu ada banyak contoh aksi konkret berdamai dengan bumi yang sesuai dengan konteks lingkungan kita. Berikut ini contoh usulan aksi konkret di komunitas/paroki/lingkungan karya.
Menumbuhkan rasa syukur
- Puas akan apa yang dimiliki (uang, barang, pakaian), berupaya tidak banyak menuntut, tidak menumpuk barang, jika lebih disumbangkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Sadar akan hak memakai bukan memiliki.
- Membedakan antara apa yang memang dibutuhkan untuk hidup dan tugas pelayanan dan yang sekedar memenuhi rasa senang. Memiliki uang dan barang karena kesenangan berdampak pada penumpukan, mencari kepuasan sendiri, sulit berhemat, sulit berbagi.
- Berupaya tidak konsumtif, misalnya dalam hal kebutuhan makan dan minum, demi kesehatan tubuh jasmani, dan sebagai cara kecil mengurangi konsumsi produk-produk makanan instant yang banyak mengandung zat pengawet.
Komitmen Kepada Bumi
- Memiliki pengetahuan tentang dampak krisis ekologi bagi bumi, misalnya dengan studi mandiri atau belajar dari ahli untuk membuka wawasan akan fakta krisis global.
- Terlibat dalam aksi pemeliharaan tanah, hutan dan ketersediaan air minum. Ini dapat dilakukan melalui aksi menanam pohon atau benih pohon penahan air.
- Melakukan pengolahan sampah dengan baik, agar mengurangi polusi tanah, air dan udara. Pemisahan antara sampah organik dan pelbagai macam sampah non-organik.
- Mengurangi penggunaan produk plastik. Misalnya ketika kita berbelanja di pasar, ke super market, mengemas barang untuk hadiah atau kiriman, atau ketika kita sendiri mengurangi menggunakan produk dengan kemasan plastik yang tak dapat didaur ulang.
Berhemat di Komunitas atau Rumah
- Aksi Paskah dan Natal: mengurangi belanja makan dan rekreasi. Hasil pengurangan itu dikumpulkan untuk disumbangkan kepada orang yang lebih membutuhkan.
- Komitmen bersama komunitas untuk hemat air, listrik, AC, dan lain-lain. Bila perlu ditentukan hari tertentu sebagai hari belajar hemat. Ini sebagai cara kecil menjadi penghemat energi.
- Halaman komunitas yang cukup luas dapat digunakan untuk menanam sayur atau kembang, sehingga tidak perlu banyak menggunakan dekorasi bahan plastik.
- Komunitas menentukan hari tertentu untuk konsumsi makanan organik khas daerah Indonesia. Ini sebagai langkah kecil untuk belajar semakin mengurangi belanja makanan produk olahan (junkfood).
Komitmen dalam Karya
- Penataran bagi para guru, karyawan, siswa, dan umat paroki tentang nilai ekologi integral: mengintegrasikan dalam pelajaran, membuat praktik pengolahan sampah.
- Mengutamakan pelayanan pastoral bernilai ekologis bagi saudari-saudara yang paling lemah: lansia, orang sakit, orang berkebutuhan khusus, dan kaum rentan lainnya.
- Menampilkan budaya dan kearifan lokal di tempat karya. Misalnya mengenakan pakaian daerah, mengadakan pentas seni lokal, konsumsi makanan lokal.
- Membuat konten-konten edukatif tentang isu-isu ekologi bersama orang muda.
Perayaan Liturgis dan Devosi
- Membiasakan penggunaan rumusan-rumusan doa ekologis dalam liturgi komunitas atau devosi bersama, khususnya di komunitas formasi.
- Merancang sebuah perayaan Ekaristi ekologis pada momen tertentu. Misalnya perayaan di halaman rumah atau alam terbuka, agar tumbuh kesadaran ekologis.
- Berdoa dan merayakan Ekaristi komunitas/paroki dengan corak inkulturatif dan homili ekologis untuk menumbuhkan kecintaan pada bumi dan budaya lokal.
Komunikasi dan Pelayanan dalam Komunitas
- Merawat dan memberi perhatian kepada rekan-rekan yang sakit dan lanjut usia, juga dengan mendekatkan mereka kepada lingkungan alam.
- Mengurangi acara menonton televisi agar lebih banyak waktu untuk percakapan.
- Mengurangi penggunaan gawai ketika berlangsung acara-acara rutin komunitas, seperti makan bersama, rekreasi, doa, dan sebagainya.
- Menambah rekreasi alam bersama.
Terimakasih Pater, sangat bermanfaat