“Aku sudah mengasihi engkau” (Why 3: 9). Paus Leo mengawali dan mengakhir Surat Apostoliknya Dilexi Te dengan kutipan tersebut. Kata-kata itu adalah Firman Tuhan melalui malaikat-Nya kepada umat Filadelfia yang menghadapi persekusi. Firman-Nya membawa harapan bagi orang kecil: “Kekuatanmu tidak seberapa” tetapi “Aku mengasihimu” (3: 8-9).
Tema sentral Dilexi Te adalah cinta kasih Allah kepada orang miskin. Tema ini merupakan kelanjutan dari tema kasih dalam EnsiklikDilexit Nos Paus Fransiskus. Orang miskin mendapat tempat istimewa dalam hati Allah. Allah memperhatikan kaum anawim seperti Bunda Maria: ‘Ia menurunkan yang berkuasa dan meninggikan yang rendah, melimpahkan kebaikan bagi yang lapar, menyuruh yang kaya pergi dengan tangan hampa’ (Luk 1: 52-53) [1-2].
Bab I. Beberapa kata paling esensial. Bagi Paus Leo, perkataan Yesus bahwa orang miskin selalu ada bersama kita (Mat 26: 11) paralel dengan janji-Nya bahwa ‘Ia senantiasa menyertai kita’ (Mat 28: 20). Dengan demikian, jelas bahwa ‘segala sesuatu yang dilakukan bagi saudara-Nya yang paling hina, dilakukan bagi Dia’ (Mat 25: 40). Perempuan yang mengurapi Yesus di Betani dapat melihat sosok Mesias Miskin dalam diri Yesus. Ia telah memberi contoh bahwa setiap perbuatan baik kepada orang miskin akan senantias dikenang (Mat 26: 13) [4-5].
Ketika terpilih sebagai Paus, seorang teman kardinal berbisik kepada Paus Fransiskus: jangan lupa orang miskin. Kejadian ini mengingatkan kita akan apa yang dikatakan para pemimpin di Yerusalem kepada Paulus ketika ia pergi untuk menjalankan misinya (Gal 2: 1-11) [6].
Paus Leo menegaskan bahwa pendahulunya, Paus Fransiskus sangat terinspirasi oleh St Fransiskus Assisi. Santo Fransiskus mencintai orang miskin. Ia mencintai orang-orang kusta. Cara hidupnya itu mengubah dunia. Bagi St Paulus VI, Vatikan II juga mengambil spirit kemiskinan. Pau Leo menegaskan bahwa perumpamaan klasik tentang orang Samaria yang baik hati adalah model spiritualitas Konsili [7].
Tuhan mendengar seruan umat-Nya, memperhatikan kesengsaraan mereka, Ia turun melepaskan mereka dari perbudakan (Kel 3: 7-8, 10; Ul 15:9) [8]. Sekarang jeritan kemiskinan semakin kompleks. Ada ilusi kebahagiaan karena jurang antara segilintir orang yang hidup mewah dan jutaaan orang yang miskin yang tidak mendapatkan akses air minum dan makanan [9-10]. Para ekonom sibuk melaporkan data pertumbuhan ekonomi yang efektif tapi mengabaikan pertumbuhan integral manusia. Ini ‘ilusi kesejahteraan’ [11].
Bab II. Tuhan memilih orang miskin. Orang miskin memiliki tempat istimewa di hati Allah: Ia hadir sebagai teman dan pembebas orang miskin. Ia mendengar teriakan mereka (Mzm 37: 4).
Yesus adalah Mesias yang miskin [18]. Ia menjadi Mesias dari dan bagi kaum miskin. Ia anak tukang kayu. Ia Guru yang berpindah-pindah, tidak tinggal nyaman. Anak Manusia tidak memiliki batu untuk meletakkan kepala. Ketika Ia dipersembahkan di baid Allah orang tuanya membawa sepasang burung tekukur, persembahan orang miskin (Luk 2: 22-24) [20].
Yesus sendiri hidup miskin. Ia kaya tetapi menjadi miskin, supaya oleh kemiskinan-Nya kita diperkaya (2Kor 8: 9). Sejak awal karya-Nya Ia mengatakan bahwa Ia datang membawa sukacita bagi orang miskin (Luk 7: 20). Ia pernah bersabda: ‘Berbahagialah orang miskin sebab merekalah yang empunya Kerajaan Allah’ (Luk 6: 20). Kemiskinan Yesus radikal. Ia mengosongkan diri demi kasih kepada kita. Itulah dasar spiritualitas kemiskinan [21].
Tuhan sendiri merancang keadilan, solidaritas, dan persaudaraan dengan cara mengasihi kaum lemah. Tuhan yang Maharaim membela orang miskin. Lazarus miskin, figur yang menampilkan pembelaan Allah bagi orang miskin. Di saat akhir Lazarus berada di pangkuan Abraham [22].
Kita tidak dapat mengasihi Allah tanpa mengasihi sesama. Mengasihi Allah berarti mengasihi saudara-Nya yang paling hina (Mat 25: 40). Tidak ada logika kalkulasi dalam tindakan kasih kepada orang miskin; yang berlaku hanya logika rahmat: mengasihi orang yang tidak membalas jasa baik kita. Hendaknya kita saling mengasihi seperti Allah sudah mengasihi kita [25-26].
Bab III. Gereja bagi kaum miskin. Paus Leo berbicara tentang kemiskinan dalam konteks hidup menggereja. Orang miskin adalah bagian dari Gereja. Ia menegaskan kata-kata Paus Fransiskus: Saya mendambakan Gereja yang miskin bagi kaum miskin.
Mari kita ingat apa yang dilakukan Diakon Laurensius [38]. Ia membawa orang miskin kepada kepada Kaisar dan berkata: Inilah harta kekayaan Gereja. Contoh historis ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara iman dan kemiskinan [32-34].
Dilexi Te menampilkan figur para bapa Gereja sejak Abad ke-II yang sudah membentuk Gereja dalam spiritualitas Gereja. Ignatius dari Antiokhia, Polikarpus dari Smirna, dan Yusitnus Martir, dan Yohanes Krisostomus. Sipiritualitas kemiskinan disemai dalam liturgi Gereja [39-40].
Misalnya mereka menghayati Ekaristi sebagai perayaan syukur yang mengalir dalam pelayanan bagi saudari dan saudara yang lapar dan haus. Santo Paulus sendiri telah menunjukkan cara konkret: mengumpulkan persembahan sebagai sumbangan bagi komunitas (2Kor 9: 7).
Dalam sejarah Gereja, pelayanan bagi kaum miskin juga ditunjukkan misalnya oleh Santo Agustinus Hippo. Lalu berkembang dalam penghayatan para Benediktin, yang bekerja tangan, mengolah tanah, menyediakan makanan bagi kaum miskin. Bernardus dari Clarivaux mewakili spirit Sistersian: menjadi miskin bukan opis melainkan jalan untuk mengikuti Kristus [55-58].
Para biarawan monsatik juga menghayati kemiskinan dengan membantu pembebasan bagi kaum terpenjara. Di awal Abad Pertengahan muncul juga komunitas atau ordo religius yang menghayati spiritualitas Yesus pembebas. Misalnya para Mercedarian dan Trinitarian. Dilexi Te mengemukakan banyak contoh lain pelayanan kasih Gereja kepada kaum miskin [60-61].
Ordo-ordo Medikan di Abad Pertengahan seperti Fransiskan dan Dominikan menghayati spiritualitas kemiskinan radikal. St Fransiskus dan St Klara Assisi adalah dua ikon kedinaan dalam Gereja Katolik. Fransiskus melayani orang kusta. Klara meminta hak istimewa kepada Paus agar ia dan para susternya boleh hidup miskin tanpa terikat pada hak milik [63-67].
Gereja juga menunjukkan kecintaan kepada kaum miskin melalui pelayanan di rumah sakit, pendidikan bagi kaum miskin. Gereja hadir bagi kaum terpinggirkan seperti yang ditunjukkan oleh Mother Theresia dari Kalkuta di India. Selain itu, ada berbagai gerakan populer yang mewujudkan misi pelayanan Gereja bagi kaum lemah dan terpinggirkan [76-77].
Bab IV. Sejarah yang Berlanjut. Gereja Katolik memiliki Ajaran Sosial yang secara konsisten menunjukkan kehadiran bagi kaum miskin. Para Paus dari masa ke masa menyuarakan Kabar Sukacita bagi kaum miskin. Rerum Novarum dan Gaudium et Spes merupakan contoh dari banyak contoh cinta Gereja Katolik pada harkat dan martabat manusia [83, 86].
Gereja tidak diam terhadap dosa sosial. Terhadap struktur politik yang bungkam tentang masalah sosial, Gereja menyuarakan keadilan sosial. Gereja berusaha mendengar jeritan orang miskin. Paus Fransiskus dalam Ensiklik dan Seruan Apostoliknya menyuarakan suara kenabian bagi para diktator ekonomi yang melukai martabat manusia [89].
Dalam Dilexit Nos Paus Fransiskus menegaskan bahwa tragedi dunia yang tampak dalam pengabaian jutaan orang miskin adalah tragedi hati manusia. Hati para penguasa tertutup oleh kepentingan ekonomi segelintir orang. Solusi-solusi instant para ekonom adalah hasil logika dagang yang menawarkan ilusi kesejahteraan bagi jutaan manusia yang miskin [92-93].
Memaknai kemiskinan dalam komunitas gerejani berarti mencari Kerajaan Allah bukan sebagai individu, melainkan bersama. Mengasihi Allah berarti membangun persaudaraan universal. Bersama-sama kita menjadi garam bagi keadilan dan damai di dunia. Dengan kata lain, upaya mengatasi kemiskinan adalah komitmen kita semua dan bersama-sama [97-98].
Konfrensi Uskup Amerika Latin menegaskan bahwa orang miskin bukan objek, melainkan agen perubahan. Gereja bertumbuh bersama mereka untuk membentuk kemanusiaan yang utuh. Lebih lagi Paus mengajak kita membiarkan diri diinjili orang miskin, sebab mereka memiliki pengalaman berharga yang tersimpan dalam hati mereka [99-102].
Bab V. Perubahan terus-menerus. Melalui presentasi tentang sikap Gereja bagi orang miskin dalam sejarah, Paus Leo menegaskan bahwa kepedulian pada orang miskin adalah bagian dari tradisi Gereja. Kasih kepada orang miskin adalah bagian dari sejarah tindakan Allah bagi kita.
Sebagai Tubuh Mistik Kristus, orang miskin adalah ‘daging’ Gereja, tanda kesetiaan Gereja kepada hati Allah. Maka sikap Gereja terhadap orang miskin berbeda dari gerakan humanitarian lain. Orang miskin bukan masalah sosial, tetapi bagian dari keluarga kita [103-104].
Figur orang Samaria yang murah hati dalam Injil merupakan model ikonik bagi Gereja dalam spiritualitas kemiskinan (Luk 10: 25-37). Paus Fransiskus merenungkan perumpamaan ini dalam Fratelli Tutti, dan mengajukan pertanyaan yang mendalam: siapakah saya di dalam perumpamaan ini? Apa peran saya? Perumpamaan ini mengatakan bahwa kekudusan bukan sesuatu yang asing dari cinta akan nilai kemanusiaan dalam hidup sehari-hari [105-107].
“Pergilah dan perbuatlah demikian” (Luk 10: 37) merupakan amanat bagi kita semua; tertanam dalam hati semua umat Kristiani, dibawa terus-menerus. Paus Gregoarius Agung mengajak kita: dalam hidup sekarang orang miskin mengulurkan tangan kepada kita, nanti mereka menjadi pembela kita, maka jangan abaikan kesempatan untuk mengasihi orang miskin [108].
Orang miskin menginjili kita: menyadarkan kita akan bahaya kemelekatan kepada harta. Seorang pemuda kaya tidak mau mengikuti Yesus, karena ia memiliki banyak harta. Hatinya terikat pada miliknya: ia bangga pada harta sehingga kehilangan belarasa bagi sesama [109].
Dilexi Te mengingatkan Gereja agar tidak mudah percaya pada pseudo-saintifik data tentang pertumbuhan ekonomi. Data itu menarik bagi elit politik dan ekonom, tidak bagi Gereja. Gereja berdoa, berkarya dan peduli bagi kemanusiaan secara integral. Pertumbuhan diri manusia tidak selesai dengan memiliki lapangan pekerjaan. Kerja hendaknya menjadi tempat pembentukan diri manusia secara utuh, ekspresi diri yang menyeluruh, bukan sekedar job [110-116].
Paus Leo mengutip St Yohanes Krisostomus yang mengatakan bahwa memberi sedekah adalah sayap dari doa. Jika Anda berdoa tanpa sayap maka Anda tidak bisa terbang. Mari kita mengasihi orang miskin yang sekarang berbaring di sekitar kita, agar kelak ketika kita meninggalkan dunia ini mereka akan menerima kita dalam keabadian. “Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin” (Ams 22: 9) [116].
Tidak ada solusi instant mengatasi kemiskinan. Namun berbuat sesuatu adalah lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. Dengan cara apa pun, sekalipun sederhana, mari kita mengulurkan tangan bagi orang miskin, sebab sedekah dapat menyentuh dan melembutkan hati kita yang keras. Dengan cara itu kita menyentuh sesama yang miskin [119].
Bagi orang Kristiani, kekuatan kasih membuka sekat-sekat pemisah umat manusia. Kasih berdaya mendatangkan mukjizat dan ia tidak terbatas. Dalam kasih kita berjumpa dengan sesama, pria maupun wanita. Dilexi Te diakhiri dengan ajakan bagi umat Kristiani untuk melakukan aksi kasih bagi orang miskin, agar mereka mengalami bahwa Sabda Tuhan ini terwujud dalam diri mereka: “Akut sudah mengasihi engkau” (Why 3: 9) [121].
Aku telah mengasihi engkau.
Terima kasih Pater