Telah dikatakan bahwa terdapat hubungan erat antara waktu dan kehidupan. Di luar waktu tidak ada kehidupan: “Segala sesuatu ada waktunya”, demikian kata penulis Kitab Pengkhotbah:
Ada waktu untuk berbicara, ada waktu untuk berdiam diri. Ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk marah. Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat. Benar, ada waktu saya menulis, ada waktu Anda membaca. Terima kasih atas waktunya. Ada waktu untuk berpikur serius, ada waktu untuk bercanda. Nah, Anda tidak harus serius membaca karangan ini.
Pertanyaan kemarin masih mengganggu saya: Siapa sesungguhnya tuan atas waktu? Pernahkah Anda membaca kisah ‘sepuluh gadis…’? Kisahnya, ada sepuluh gadis yang menghabiskan waktu mereka hingga tengah malam untuk menunggu seorang mempelai, berharap akan masuk dalam perjamuan nikah. Setelah lama menunggu mereka semua mengantuk, dan tertidur lelap. Kita semua paham, siapapun kalau tidur lelap tidak sedang berpikir, apalagi harus menghitung waktu. Tengah malam pengantin datang. Lima gadis yang disambut masuk dalam perjamuan, tetapi lima yang lain diusirnya, gara-gara terlambat datang ke ruang perjamuan. Terlambat sedikit.
Ah, si mempelai ini terkesan angkuh. Ia sudah ditunggu hingga tengah malam. Datangnya tiba-tiba. Lalu cepat-cepat menutup pintu perjamuan. Harusnya dia lebih ramah terhadap tamu yang telah menunggu, apalagi dalam suasana sukacita pesta.
Saya membayangkan jika benar ada seorang atau sesuatu yang menjadi tuan atas waktu, mungkin sikapnya seperti mempelai dalam kisah sepuluh gadis itu: Ia tidak mengenal kosa kata ‘menunda’. Ia selalu mengisi ruang dan waktu, tak ada ruang kosong. Baginya waktu itu seluas ‘mengantuk dan tertidur’ tetapi juga sesempit ‘pintu sudah tertutup’.
Kita memang perlu tidur beristirahat setelah lelah bekerja keras, tapi kita hendaknya selalu menyediakan minyak agar pelita siap bernyala. Beban hidup jangan memadamkan semangat jiwa untuk terus berjaga-jaga.
Beban hidup jangan memadamkan semangat jiwa untuk terus berjaga-jaga.
Terima kasih Pater