Tema klasik relasi antara iman dan akal budi (fides et ratio) selalu menarik untuk diulas, karena memberi pendasaran bukan hanya untuk dialog antara teologi dan filsafat, tetapi disiplin ilmu pada umumnya.
Tokoh-tokoh kontemporer seperti John Haught[1], Zachary Hayes[2], Ilia Delio[3], memetakan pola relasi tersebut dalam tiga model: konflik, kontras, kontak/konvergensi (conflict, contrast, contact/convergence).
Pola konflik menekankan bahwa iman dan akal budi merupakan dua paradigma yang bertentangan satu sama lain. Berbicara tentang Allah atau agama, adalah hal yang bertentangan dengan sifat ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, pertanyaan apakah bumi diciptakan atau kekal adanya? Bagi para ilmuwan, tidak ada bukti definitif bahwa bumi ini diciptakan. Ledakan besar Big Bang sekitar 13,8 miliar tahun lalu itu ibarat salah satu dari banyak telur yang ditetaskan ‘ibu alam semesta’ atau dampak dari gerak meluas semesta sesuai hukum alam. Kosmos berjalan sendiri sesuai sebuah hukum abadi tanpa sebab awal. Karena itu, keyakinan teologis akan adanya penciptaan dalam waktu dan karena itu ada Pencipta, tidak bersifat ilmiah, hanya mitos belaka[4].
Pola kontras menekankan perbedaan metodologis antara keduanya: Sains menekankan data objektif yang dapat diteliti (investigable); sedangkan teologi berdasarkan pengalaman dan kepercayaan manusia (credible); sains bertanya tentang apa itu kosmos dan bagaimana ia berjalan; teologi terutama bertanya mengapa terjadi semua itu?[5].
Pola ini membuka dialog tanpa mengaburkan distingsi: Teologi dapat belajar dari kemajuan sains agar pemikirannya menjadi lebih terang, dan imannya akan Allah sebagai Pencipta tidak menjadi takhyul belaka. Sebaliknya ilmu pengetahuan belajar dari keyakinan iman akan adanya Allah, untuk memotivasi pencarian atau penelitian ilmiah ke sebuah horizon yang lebih mendalam tentang eksistensi manusia. Meski demikian masing-masing kajian tetap berjalan pada jalurnya, dan akan menawarkan solusi yang berbeda pula.
Sedangkan model kontak meyakini kemungkinan titik temu (convergensi) antara kedua disiplin tersebut. Ketika seorang saintis percaya akan adanya penciptaan, misalnya seperti yang dikatakan dalam Kitab Kejadian, ia tidak sedang merendahkan keilmiahan penelitian tentang terjadinya alam semesta.
Perkembangan ilmu pengetahuan perlu terbuka pada konsekuensi teologis, sebab teologi menawarkan horizon yang mendorong saintis menemukan manfaat ilmu pengetahuan bagi makna hidup manusia. Sebaliknya teologi dicerahkan oleh penemuan-penemuan saintifik, sebab dengan demikian keyakinan iman akan adanya penciptaan dimurnikan, agar tidak menjadi mitos belaka.
Dalam pola ketiga ini, baik sains maupun teologi saling melengkapi demi satu tujuan[6].
Kedua disiplin tersebut saling melengkapi karena sama-sama menyadari bahwa kosmos ini bukan realitas yang sudah sempurna; bahwa tidak semua pertanyaan manusia terjawab dalam sejarah dunia.
Zachary Hayes meringkas pola terakhir ini demikian:
“We are looking for science not to prove the truth of religion, but to play a creative role together with religion and the arts in the construction of a relatively coherent vision of reality”[7].
Maka, pandangan bahwa dunia bersifat kekal, jadi bahwa dunia ini ‘sudah sempurna’, tidak sesuai dengan prinsip sains modern tentang pentingnya penelitian empiris[8].
Pandangan Hayes tersebut dilatarbelakangi pembacaannya terhadap teologi Bonaventura. Bonaventura sangat dipengaruhi oleh teologi Agustinus; dalam banyak hal pemikirannya berbeda dengan Thomas Aquinas. Hans urs von Balthasar berpandangan bahwa terdapat perbedaan ethos teologiantara kedua ikon Mazhab Skolastik ini, khususnya dalam memahami batas antara iman (fides) dan akal budi (ratio).
Keduanya sama-sama mengindahkan batas antara iman dan akal budi. Meski demikian, demikian Balthasar, sementara Thomas memberi tekanan pada independensi akal budi (filsafat), Bonaventura membawa akal budi sampai kepada titik batasannya:
“Like Thomas Aquinas, he (Bonaventure) draws more precisely than before the bounderies between belief dan knowledge, but not (like Thomas) in order to safeguard reason’s proper rights but, quite the contrary, in order to cause reason to retreat within its own proper limits”[9].
Bonaventura tidak menyangkal peran akal budi, tetapi memperlihatkan titik batas perannya. Baginya, ketika pemikiran filosofis menemui keterbatasannya, pertolongan datang dari wahyu ilahi. Dan dalam hal ini akal budi tidak bertentangan (non discordat) dengan iman:
“Where the expertise of philosophers fails, there comes to our aid the Holy Scripture, which says that all have been created and produced in ‘being’ according to everything which they are. And reason too does not discord from the Faith”[10].
Tampak jelas bahwa Bonaventura menekankan stabilitas iman, melawan tendensi ‘kebenaran ganda’ (double truth), yaitu keyakinan bahwa ratio mempunyai jalan independen menuju Kebenaran, terpisah dari iman. Baginya kebenaran dalam arti kata yang ketat bersifat pasti dan stabil, bukan spekulatif[11].
Allah bukan hanya referensi pemikiran melainkan horizon yang diandaikan dalam dalam modus berpikir kita. Allah adalah wujud paling murni (ipsum esse purissimum). Eksitensi Allah adalah modus operandi pengetahuan manusia, bukan hasil langkah-langkah argumentasi kita[12].
Pemikiran Bonaventura berciri wisdom style[13]. Disebut demikian karena ia menekankan relasi antara beragam kemampuan manusia: akal budi dan iman, mistik dan rasionalitas, tradisi dan pengalaman, seni dan sains. Menurut Cullen, paradigma bonaventuriana merupakan “model moderat dari ekstrim rasionalisme dan fideisme”[14]. Dalam paradigma tersebut, realitas kosmos bukan sekedar referensi pemikiran (res-reference), melainkan sebagai tatanan yang menyajikan pesan dan makna (sigum-meaning) tertentu[15].
Catatan:
[1] John Haught, Science and Faith. A New Introduction, Paulist Press, NY., 2012; Haught, Christianity and Science. Toward a Theology of Nature, Orbis Books, NY., 2007.
[2] Hayes, The Gift of Being A Theology of Creation, A Michael Glazier Book, Minnesota, 2001; A window to the divine. Creation theology, Anselm academic, Winona, 2009.
[3] Delio, The unbearable Wholeness of Being, Orbis Book, NY., 2013; Delio(ed)., From Teilhard to Omega. Co creating an Unfinished Universe, Orbis Books, NY., 2014; Making All Thing New. Catholicity, Cosmology, Consciousness, Orbis Books, NY., 2015.
[4] Cf. Haught, Science and Faith, 64-77.
[5] Zachary Hayes, The Gift of Being. A Theology of Creation, 23.
[6] Bdk. Haught, Science and Faith, 72. Bdk. juga E. Gilson, The Philosophy of St. Bonaventure, St. Anthony Guild Press, Paterson, NY., 1965, hlm. 168-169.
[7] Zachary Hayes, The Gift of Being. A Theology of Creation, 23.
[8]Bdk. Haught, Science and Faith, 76.
[9] Brevil., I, 1(V, 210b) sebagaimana dikatakan dalam H.U.VonBalthasar, The Glory of the Lord. A Theological Aesthetics, Ignatius Crossroad, San Francisck/NY., 1985, hlm. 277.
[10] Sent. II., d.1, p.1, a.1, q.1 resp. (II,17): “Ubi autem deficit philosophorum peritia, subvenit nobis sacrosancta Scriptura, quae dicit omnia esse creata et secundum omne quod sunt in esse producta. Et ratio etiam afide non discordat” (dikutip dalam Walz, “Bonaventure’s Argument”, 78-79).
[11] Bdk. Houser and Noone, Commentary on the Sentences, hlm. 25-26.
[12] Itin., III, 3 (V, 304a).
[13] Hayes, “Bonaventure of Bagnoregio: A Paradigm for Franciscan Theologians”?, dalam The Franciscan Intellectual Tradition (Elise Saggau, ed.), The Franciscan Institute St. Bonaventure, NY., 2001, hlm. 48.
[14] C. Cullen, Bonaventure, 27.
[15] Lihat Orlando Todisco, “Il Carattere cristiano del pensiero bonaventuriano”, dalam Doctor Seraphicus 61 (2013), hlm. 20.
Mantap Pater, tulisan yang berbobot dapat menambah wawasan para pembacanya termasuk saya.
Terima kasih om Dan. Tuhan memberkati selalu.
Manusia modern melihat dan menilai segala sesuatu berdasarkan logika dan kadang mengabaikan iman.
Tulisan ini menginspirasi dan menyadarkan banyak orang.
Terima kasih Pater