Yohanes Duns Scotus (1266–1308), Fransiskan, berasal dari keluarga Duns, Skotlandia, wilayah Roxburgh, lahir pada musim semi sekitar awal 1266, dengan nama baptis Yohanes.
Ketika bergabung dengan Persaudaraan Fransiskan di Inggris, ia dipanggil dengan nama John dari Skotlandia (“Scotus”) untuk membedakannya dengan seorang saudara lain yang juga bernama John. Ia masuk Fransiskan pada 1278/9 dalam usia sangat muda, sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Ia memilih Fransiskan mengikuti pamannya, Elias di biara Fransiskan di Dumfries. Pada 1280 ia secara resmi diterima sebagai anggota Fransiskan.
Scotus menjalani studi Filsafat dan Teologi di Oxford selama 1288-1300/1301. Biasanya pada tahun-tahun akhir menjelang akhir studi, seorang calon sarjana Teologi membuat komentar atas sebuah traktat teologi yang terkemuka pada wakut itu, yaitu Sentences Petrus Lombardus (1100-60). Diperkirakan bahwa Scotus mengerjakannya antara 1298 dan 1299. Komentar ini kemudian menjadi materi dasar karya Scotus di Oxford, yang lazim disebut Ordiantio.
Scotus pernah dipaksa untuk meninggalkan Paris pada tahun 1303, bersama sekitar 80 orang saudara lain yang membela Paus Bonefasius VIII lantaran konfliknya dengan Raja Filipus IV. Kemungkinan pada masa itu Scotus berada di Cambridge. Para student yang dikucilkan kemudian disuruh kembali ke Paris setelah April 1304. Pada tahun yang sama, oleh Pemimpin Umum OFM, Scotus ditunjuk sebagai dosen di Paris, dan kemudian menjabat sebagai dekan Fakultas Teologi pada 1305. Salah satu tugas sebagai dekan ialah mengadakan semacam debat ilmiah (disputatio), yang kiranya diadakan dalam masa Advent 1306 atau Natal 1307. Disput ini yang kemudian menghasilkan karyanya, yang dikenal dengan Quodlibetal questions.
Pada 20 Februari 1308, Scotus telah berada di Cologne, Jerman untuk mengajar para Fransiskan muda. Scotus meninggal pada musim gugur sekitar 8 November 1308, dalam usia cukup muda, 42 tahun. Ia dimakamkan di Gereja Fransiskan, dekat gereja Katedral Cologne, Jerman. Sampai akhir hidupnya, karya-karya besarnya seperti Ordinatio, De Primo Principio dan Quodlibetal belum benar-benar tuntas. Pada batu nisannya tertulis: “Scotia me genuit, Angilia me suscepit, Gallia me docuit, Colonia me tenet.” (Scotland generated me, English received me, France educated me, Cologne holds me).
Pada 8 November 1991, bertepatan dengan peringatan hari wafatnya, Paus Yohanes Paulus II menggelari Scotus sebagai Beato (blessed John Duns Scotus).
Scotus dijuluki sebagai “subtle doctor” (doctor subtilis) karena pemikirannya yang teliti, argumentatif dan sistematis. Ingham memberi kesaksian tentang cara Scotus membaca karya orang lain: “Ia memberi perhatian besar pada sisi lain dari sebuah diskusi…ia memresentasikan cara pandang yang lebih baik dari lawannya sendiri, melawan dengan argumentasi terbaik dan secara metodologis”. Tema-tema pemikiran seperti logika, individuasi dan kebebasan manusia memperlihatkan perhatiannya yang serius pada hal-hal yang “subtle”.
Ciri “subtle” yang dimaksdukan di sini tidak hanya bermakna epistemologis, tetapi juga ontologis. Maksudnya, Scotus juga “subtle” dalam refleksi mengenai relasi kasih antara Allah dan manusia. Allah adalah Prinsip Pertama (Primo Orincipio), Ia adalah kasih absolut dan bebas yang menyatakan kasihnya secara istimewa kepada setiap individu, yakni kasih personal yang tak terbatalkan, kasih yang tertuju kepada partikularitas atau ‘ke-ini’an’ (istilah Scotus: haecceity/thisness) setiap individu. Kriteria paling luhur dari martabat manusia adalah sebagaimana adanya dia di hadapan Allah.
Sebagai Fransiskan ia mengartikulasikan secara filosofis intuisi Santo Fransiskus tentang kehadiran Allah dalam segenap makhluk ciptaan, yang membuahkan sebuah spiritualitas yang berpusat pada penghargaan nilai intrinsik segenap isi kosmos. Ia juga menekankan dimensi kasih dan kebebasan sebagai dasar pola relasi antara Allah dan manusia. Seperti para Skolastik pada umumnya, ia membaca teks-teks Aristoteles, mendialogkannyadengan teks-teks doktrin Kristen dan Kitab Suci (sacra doctrina), serta membuat refleksi kritis terhadap warisan pemikirannya.
Berdasarkan hasil pembacaan seperti itu, Scotus mengedepankan pandangan Kristiani mengenai makna keberadaan manusia dan martabatnya menjadi makhluk rasional. Dan dalam hal ini Scotus menekankan pentingnya cinta dan kehendak bebas sebagai pusat refleksi Kristen, dan bukan rasio murni. Scotus lebih banyak berkutat dengan soal kehendak, yang baginya merupakan pusat kemampuan untuk mencintai, dan bukan intelek sebagai locus Pengetahuan logis.
Bagi seorang Scotus, filsafat yang terbaik adalah metafisika, yaitu studi tentang sebuah realitas sampai ke prinsip-prinsip dasar yang terdalam. Jika pemikir Fransiskan lainnya seperti Bonaventura menggunakan teologi sebagai pendekatan terhadap realitas (bagi Bonaventura, filsafat yang terbaik adalah teologi), dan William Ockham menekankan logika, maka bagi Scotus metafisika merupakan pendekatan terbaik terhadap semua realitas, termasuk realitas ilahi.
Model pemikiran Scotus melampaui paradigma bi-polar. Ia berupaya mencari keharmonisan berbagai aspek untuk menemukan sebuah perspektif kebenaran yang mengatasi perbedaan dan/ pertentangan. Pendekatannya dalam pelbagai tema mengandung paradigma harmonisasi: mengagkat sekaligus realitas internal maupun eksternal, aktivitas manusiawi maupun ilahi, intelektual maupun spiritual, kehidupan alami maupun adikodrat. Studi tentang Scotus berarti belajar melihat keberadaan manusia dan realitas lainnya secara utuh; dan ini mengungkapkan penghargaan dan optimisme Abad Pertengahan mengenai manusia dan moralitasnya.
Hingga sekarang studi-studi tentang Scotus berkembang di Eropa. Di universitas Antonianum di Roma, terdapat ‘Komisi Scotus’, yaitu para Fransiskan yang mengerjakan edisi kritis karya-karya Scotus, serta berupaya menemukan relevansi pemikirannya bagi dunia modern.