John Zizioulas, seorang teolog kontemporer dari Gereja Ortodoks Yunani. Pemikiran teologisnya dibangun dengan pemaknaan atas persekutuan misteri Trinitas Ilahi, yang dirangkum dalam kata communio (persekutuan).
Misalnya dalam karyanya Communion & Otherness (2009), The Eucharistic Communion and the World (2011). Persekutuan Tiga Pribadi Ilahi menjadi paradigma pemikirannya, misalnya tentang penciptaan, manusia sebagai persona, dan Ekaristi.
Paradigma Communio
Sebagaimana dipaparkan Gisbert Greshake (“Trinity as Communio”, 331-345), makna kata communio (bahasa Latin) lebih dalam dari bentukan cum + unio yang pada umumnya dimengerti sebagai ‘kesatuan antara satu dan yang lain’ (union with one onther). Ada dua konotasi penting yang terkandung dalam istilah tersebut. Pertama, dari akar kata mun yang berarti kubu/benteng/tanggul (dalam bahasa Latin, kata moenia berarti tembok kota). Orang-orang yang berada dalam persekutuan (in communione) berada bersama dalam tembok atau benteng, maka satu orang adalah bagian dari semua orang.
Kedua, kata mun juga ekuivalen dengan kata munus yang berarti: tugas/pelayanan/persembahan, atau juga berarti rahmat/pemberian/hadiah. Orang-orang yang hidup dalam sebuah persekutuan disatukan oleh partisipasi pelayanan setiap pribadi demi satu tujuan bersama. Setiap anggota memainkan peran khusus, namun tidak bertentangan karena disatukan oleh satu keyakinan bersama. Oleh karena itu dikatakan bahwa satu orang hadir sebagai hadiah bagi orang lainnya, dan ia juga terbuka menerima pelayanan orang lain; dengan demikian mereka saling memberi dan menerima karena dipersatukan oleh sebuah keyakinan lebih luhur yang universal.
Setiap orang dalam kubu memang beragam. Namun keberagaman itu dipersembahkan bagi yang lain sehingga terjalin (menjadi mediasi) persekutuan universal. Dalam pemahaman ini, Greshake melihat bahwa makna communio cocok dengan makna kata koinōnia dalam bahasa Yunani. Kata koinōnia menunjuk communio (communion) serta perwujudannya, yaitu komunikasi (communicatio) – bukan hanya dalam arti memberi informasi tetapi melayani satu sama lain.
Dalam konteks teologi Trinitas Zizioulas menekankan kebebasan Pribadi-Pribadi Ilahi dalam Trinitas. Dinamika persekutuan atau communio Trinitas merupakan bentuk pengosongan diri (kenosis) setiap Pribadi agar selalu berada di dalam dan bersama Pribadi lainnya. Baginya dalam persekutuan kasih Trinitas terjadi proses hypostatic sekaligus ek-static. Setiap Pribadi itu unik dan bebas, serentak mengosongkan diri (kenosis) agar tetap tinggal bersama Pribadi lain. Itulah karakter ontologis Trinitas. Allah adalah kasih; dan kasih berarti pemberian diri secara bebas (bdk. “Trinitarian Freedom”, 191-202).
Communio Ciptaan
Paradigma communio itu menampakkan jejaknya dalam tata alam semesta. Dalam Itinerarium Mentis in Deum, Santo Bonaventura merefleksikan tuju ciri utama alam semesta: Ciptaan memiliki awal mula, merupakan realitas yang agung, beranekaragam, indah, utuh, teratur, dan terarah pada sebuah tujuan. Jika dimengerti secara holistik, ciri-ciri tersebut mengungkapkan sebuah makna yang mendalam: setiap makhluk dan setiap ciptaan terkait satu sama lain, bahkan saling tergantung. Yang satu mendukung kehidupan yang lain. Setiap elemen ciptaan dari yang paling sederhana sampai yang paling besar dan luas memiliki bobot, ukuran, dan berat yang khusus dan proporsional. Realitas alam semesta merupakan sebuah komunitas yang seimbang darn harmonis karena ditopang oleh communio Trinitas Ilahi sendiri.
Menarik bahwa tema seperti ini mendapat perhatian juga dari Paus Fransiskus dalam Ensikliknya Laudato Si’. Dalam pengaruh spiritualitas Fransiskus Assisi, Paus melihat tata ciptaan sebagai “rumah kita bersama” (LS 1). Dalam sejumlah paragraf Bergoglio mengulas tema “relasi antara Trinitas dan ciptaan” (bdk. LS 238-242). Berdasarkan teologi Bonaventura dan Thomas, ia menegaskan ciri interkoneksitas dalam kosmos.
Merujuk pada pandangan Bonaventura Paus menandaskan: “Orang kudus Fransiskan ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap ciptaan terdapat struktur trinitaris yang spesifik” […]. Dengan demikian ia mendorong kita untuk berupaya memandang realitas dengan cara pandang Trinitaris” (LS. 239). Dan merujuk pemikiran Aquinas, Paus merefleksikan bahwa “di dalam komsmos ini terdapat sebuah ritme relasi. Hidup manusia terarah kepada Pencipta, dan terjalin dengan realitas kehidupan di sekitarnya; ritme ini terjadi sedemikian rupa sehingga dalam rahim kosmos ini terjalin beragam kehidupan yang terkait satu sama lain secara rahasia, di luar pengetahuan manusia” (LS 240).
Realitas alam semesta merupakan sebuah komunitas yang ditopang oleh communio Trinitas Ilahi. Artinya eksistensi alam semesta mengungkapkan sebuah nilai yang lebih luhur, yaitu jejak keharmonisan kasih ilahi. Keharmonisan dan keindahan kosmos bukan sekedar peristiwa alami, melainkan “bahasa Allah” (the language of God). Dari realitas kosmos manusia dapat memahami bahwa keutuhan dirinya mengandaikan relasi dengan sesama dan dunia sekitar; dan bahwa hanya dengan kesadaran akan dimensi relasional itu, solidaritas global dapat diwujudkan. Dengan demikian manusia sendiri menampilkan citranya sebagai citra Allah Trinitas.
Zizioulas juga melihat kaitan erat antara Ekaristi dan teologi Ekologi. Ketika gairah communio dalam Ekaristi dihayati dengan kuat, itu berdampak juga bagi hidup manusia, yaitu dalam sikapnya terhadap sesama makhluk ciptaan. Secara antropologis, orang yang merayakan Ekaristi menempatkan diri sebagai person yang relasional, bukan individu. Terkait relasi manusia dengan alam semesta, ibarat Yesus, Anak Manusia, yang menyerahkan diri sebagai kurban pada Perjamuan Akhir, hendaknya manusia menempatkan diri sebagai pelayan bagi segenap makhluk. Zizioulas menggunakan kata steward (pelayan/pengurus) untuk menekanka tanggung jawab manusia sebagai pengurus kosmos (bukan penguasa). Klaim manusia sebagai tuan ciptaan telah membawa dampak eksploitasi perut bumi untuk kepuasan segelintir orang (bdk. The Eucharistic Communion and the World, 133-134).
Dari sudut pandang teologi Ekaristi, peran manusia tidak hanya sebatas sebagai steward yang melakukan tugas manejerial bagi kosmos. Berdasarkan pemaknaan peran Kristus sebagai Imam Agung dalam Ekaristi, umat beriman yang merayakan Ekaristi hendaknya menempatkan diri sebagai imam-imam bagi alam semesta (priests of creation) yang memelihara alam agar tetap lestari dan menghasilkan banyak buah. Sebagai imam ciptaan, manusia tidak hanya bersikap pasif atau sebaliknya terlalu mengatur ciptaan. Hendaknya imam ciptaan menempatkan ciptaan sebagai sesuatu yang sakral, yang memiliki nilai pada dirinya, agar penggunaan hasil bumi selalu disertai upaya memelihara dan menghargai martabat keutuhan ciptaan itu sendiri (bdk. The Eucharistic Communion and the World, 139-140).
Communio Ekaristi
Terkait makna dimensi communio dalam perayaan Ekaristi Gereja, Zizioulas menulis demikian: “Bukan kebetulan bahwa nama lain dari Ekaristi ialah communio. Sebab dalam Ekaristi kita dapat menemukan semua dimensi persekutuan: Tuhan mengkominikasikan diri-Nya bagi kita, kita masuk dalam persekutuan dengan-Nya, semua yang mengambil bagian dalam Ekaristi membangun persekutuan satu bagi yang lain dan bersama segenap ciptaan, melalui manusia, menjalin sebuah persekutuan dengan Allah” (Communion and Otherness, 7).
Perkumpulan dan perjamuan jemaat Kristen awal menunjukkan ciri fundamental Gereja. Jemaat yang berkumpul itu mengambil bagian (koinonia) dalam roti dan piala yang sama, yaitu Tubuh dan Darah Kristus. “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah” (Kis 2: 46-47). Itulah gambaran perkumpulan (synaxis) dalam arti sesungguhnya. Dalam perkumpulan itu tampaklah kharisma Gereja par excellence, yaitu kesatuannya dengan Yesus Kristus (bdk. Communion and the World, 20, 25).
Paulus menekankan dimensi koinonia dalam Tubuh Kristus. Inilah ciri kristosentris Ekaristi. Ketika merayakan Ekaristi, jemaat merayakan pernyataan seluruh diri Kristus (totus Christus). Diri Kristus identik dengan sakramen Ekaristi (bdk. The Eucharistic Communion and the World, 53). Teks 1Kor 10: 16-17 memberi pendasaran penting tentang Ekaristi sebagai persekutuan. Perkumpulan jemaat dalam perjamuan dipersatukan oleh Kritus. “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”. Dalam Ekaristi, jemaat yang banyak dan beragam mengambil bagian (koinonia) dalam satu roti dan piala.
Tekanan pada relasi antara ‘satu’ dan ‘banyak’ ini diungkapkan oleh Yesus ketika memberi amanat Ekaristi bagi Gereja: Satu piala Darah Perjanjian ditumpahkan bagi para murid dan bagi banyak orang (Mrk 14: 24; Luk 22: 20; Mat 26: 28; 1Kor 11: 25). Ekaristi menjadi tempat pemaknaan diri Yesus sebagai pusat yang inklusif bagi banyak orang (bdk. Eucharist, Bishop,Church, 56). Gagasan tentang satu Darah Perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang ini menggemakan nubuat Yesaya (Yes 40-55) tentang hamba Yahwe, figur penyelamat atau penyatu banyak orang, atau figur Anak Manusia, penyatu segala bangsa (bdk. Dan 7).
Dalam Perjanjian Baru, figur Anak Manusia ditampilkan sebagai jaminan hidup kekal. “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya” (Yoh 6: 27). Dalam Yohanes 6 figur Anak Manusia menjadi tegas dalam diri Kristus. Janji jaminan hidup kekal keluar dari mulut-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (6:53).
Dari teks Yoh 6 Zizioulas melihat dimensi Trinitaris dalam Ekaristi. Allah Bapa sumber pertama dalam Ekaristi: Dialah yang mengungkapkan diri dalam Kristus. Atau dalam kata-kata penginjil Yohanes, Yesus adalah Roti Hidup yang datang dari Bapa: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga” (Yoh 6: 32). Orang banyak yang mendengar perkataan Yesus bertanya dengan heran: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan”? (6: 52). Yesus menjawab: “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup” (Yoh 6: 63). Jawaban Yesus ini merupakan indikasi dimensi pneumatik dari Ekaristi (bdk. Communion and the World, 28).
Dalam Ekaristi kita merayakan apa yang telah Tuhan berikan, yaitu hasil dari alam ciptaan-Nya, roti dan anggur, yang oleh kuasa Roh Kudus serta Sabda menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dengan demikian Ekaristi hendak dimaknai sebagai puji syukur kepada Bapa; peringatan akan kurban Kristus yang telah menyerahkan diri demi keselamatan manusia, dan selalu hadir dalam Gereja berkat kuasa Roh Kudus. Gereja percaya bahwa berkat daya guna Sabda Kristus serta karya Roh Kudus, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
*****
Dalam pembacaan saya, studi saudara Yohanes Wahyu OFM ini telah menghasilkan sebuah rangkuman yang bagus tentang teologi penciptaan menurut Zizioulas. Studi ini membantu para pembaca mengembalikan nilai ciptaan ke hadapan Allah sendiri: Alam semesta merupakan ungkapan kasih yang bebas dari Allah Pencipta, bukan sekedar benda (thing) untuk dieksploitasi dan dimiliki manusia. Kiranya hasil studi Fransiskan muda ini turut menganimasi tindakan-tindakan nyata merawat saudari bumi sebagai satu rumah bagi kita semua. Di bumi Pertiwi Indonesia, refleksi teologis seperti ini tentu memberi kontribusi yang berharga. Pax te cum!
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 2 Mei 2019, Hari Pendidikan Nasional.