Siapa itu sebenarnya Allah? Apa yang kita maksudkan bila kita menuliskan atau mengucapkan kelima huruf yang dirangkai menjadi satu kata itu?
Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita pertama-tama perlu menggali kembali makna dasar kata ‘teologi’: Theos-logos secara sederhana berarti Allah berbicara. Berteologi berarti berbicara tentang Allah. Atas dasar apa? Berdasarkan iman akan Allah yang telah mengkomunikasikan diri. Tanpa wahyu diri Allah tidak ada disiplin yang bernama Teologi, tidak ada pembicaraan tentang iman.
Dalam diskursus eksistensi Tuhan, pada umumnya dikenal dua jalan atau metodologi, yaitu jalan negatif dan jalan positif (via negativa dan via positiva). Jalan negatif (apopasis) menegaskan ketidakmampuan manusia memahami Tuhan dengan kategori pengetahuannya, sebab Tuhan pada dirinya adalah misteri absolut. Sebaliknya via positiva (katapasis) merupakan afirmasi eksistensi Tuhan, misalnya dalam Credo dan doa-doa Liturgi; di sini kita hanya menegaskan iman dengan pujian dan syukur, tanpa mempertanyankan bukti-buktinya.
Yang hendak diulas di sini ialah jalan negatif. Menurut jalan ini, eksistensi Tuhan melampaui konsep-konsep manusia. Cara terbaik memurnikan pengetahuan atau bahasa kita tentang Tuhan ialah dengan mempertanyankan, bahkan menegasi konsep-konsep yang kita miliki tentang Tuhan.
Salah satu tokoh teologi negatif ialah Yohanes Damaskus. Ia menulis: “Mengatakan bahwa Tuhan itu realitas tidak disebabkan, tanpa awal, tidak berubah, kekal dan mengenakan kualitas-kualitas lain pada Tuhan atau hal yang terkait dengan-Nya pun bukan merupakan gagasan yang membuktikan esensi Allah. Sebab semua itu tidak mengindikasi melainkan menegasi adanya Tuhan. Tentu ketika kita hendak menjelaskan esensi sesuatu, kita tidak hanya berbicara secara negatif. Meski demikian tentang Tuhan, kita tidak dapat membicarakan esensi-Nya, sebab hal itu justru menegaskan pemisahan Tuhan dari segala sesuatu. Tuhan itu tidak setara dengan ciptaan-ciptaan: bukan maksudnya bahwa Tuhan tidak ada, namun bahwa Ia berada di atas semua yang ada, bahkan melampaui eksistensi itu sendiri” (De Fide Orthodoxa I, 4).
Tokoh lain yang terkemuka dalam teologi negatif ialah Dionysius Aeropagita. Ia menulis demikian: “[…] adalah niscaya bagi kita untuk meneliti bagaimana kita mengetahui Allah, yang adalah tidak inteligibel, tidak sensibel, dan bukan pula sebuah ada di antara adaan. Tidak benar bahwa kita mengetahui Allah dari kodrat-Nya, sebab memang tidak diketahui, melampaui segala logos dan intelek […]. Tuhan diketahui melalui pengetahuan sekaligus ketidaktahuan. Tuhan tidak diketahui, tidak terkatakan, tidak bernama, bukan sesuatu di antara adaan, dan tidak diketahui dalam sesuatu di antara semua adaan. Tuhan adalah segala dalam segala, tak satupun yang terkecuali, diketahui oleh semua berdasarkan semua, sekaligus tidak diketahui berdasarkan sumber manapun. […]. Pengetahuan ilahi yang terpenting akan Allah ialah pengetahuan melalui ketidaktahuan” (The Divine Names, 178-80).
Tuhan melampaui semua kategori pemikiran manusia. Pemahaman manusia bahwa Tuhan itu baik misalnya harus dinegasi karena kebaikan Tuhan melampaui baik menurut batas pemahaman manusia. Demikian halnya keyakinan bahwa Tuhan itu pencipta adalah kategori manusia, bukan sebuah bukti jelas tindakan Allah. Pendek kata, konsep manusia tentang Tuhan tidak mengatakan tentang eksistensi Tuhan pada dirinya. Ekstrim dari teologi negatif adalah agnostisisme, yaitu pandangan bahwa tentang Tuhan kita harus diam, sebab kita sebenarnya tidak mengetahui apapun tentang Dia.
Di lain pihak teologi negatif mendorong disiplin dalam berteologi. Eksistensi Allah pada dirinya memang tidak dapat diketahui manusia, namun kita dapat membahasakannya karena Ia sendiri telah membahasakan diri (theos-logos) dalam ciptaan dan melalui karya penebusan. Jalan negatif tampak membawa kepada kekosongan pengetahuan, namun justru menjernihkan keyakinan akan ungkapan diri Allah dan memurnikan bahasa kita tentang Allah. “The darkness of ‘unknowing’ is not a kind of disbelief but a type of knowing. The via negativa leads not into absence or nothingness but to the presence of the God who surpasses thought and words and even the desire for God” (LaCguna, God For Us, hlm. 326).
Dalam karyanya De Trinitate, Agustinus menyadari bahwa intelek manusia adalah kemampuan istimewa. Manusia menerima kemampuan tersebut, namun ia sendiri tak mampu menyelaminya: Manusia tidak mampu mengerti awal-muasal dan daya kerja intelek. Maka diyakini bahwa intelek merupakan wujud terang ilahi yang memungkinkan aktivitas pengetahuan pada manusia. Jika manusia tidak mampu menyelami keistimewaan intelek, maka iapun tidak perlu mengklaim seolah-olah dapat mengetahui Allah dengan kemampuan inteleknya:
“Seperti apakah kemampuan intelektual yang dimiliki manusia sehingga, dengannya ia hendak memahami Allah, sementara ia sendiri tidak menyelami kemampuannya itu sendiri? […]. Jika kita tidak mampu memahami bagian yang paling istimewa dalam diri kita, bagaimana kita mampu memahami dia yang jauh lebih mulia dari kemampuan istimewa yang kita miliki itu. Demikianlah, jika kita dapat, dan sejauh kita dapat, Allah yang kita mengerti merupakan yang baik tanpa kualitas, besar tanpa kuantitas, pencipta tanpa keniscayaan, yang hadir tanpa posisi, menyatukan segala sesuatu bersama tanpa memiliki, yang menempati semua tanpa tempat, selamanya tanpa waktu, yang mengubah segala realitas tanpa berubah, tidak bergantung pada apapun. Siapapun yang berpikir tentang Allah dengan cara ini, mungkin belum menemukan jawaban apapun tentang Dia, namun dimohon agar sejauh ia dapat, tidak berpikir tentang hal-hal yang bukan Dia” (De Trinitate V, 2).
Para teolog Abad Pertengahan misalnya menggambarkan Allah dengan sifat infinitum (tak berhingga). “Jika Allah itu infinitum, maka tidak satupun agama dapat mengklaim bahwa dirinya, dan hanya dirinya, menyembah satu-satunya Allah yang tak terhingga itu”. Anselmus dari Canterburry (1033-1109) mendefinisikan Allah sebagai “sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak dapat dipikirkan dan sekaligus sebagai sesuatu yang lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan”. Bonaventura (1217-1274) berpandangan bahwa kuasa maupun essensi Alla itu tidak terbatas. Baginya Allah adalah satu-satunya infinitum. Sebagai satu-satunya infinitum, kepada-Nya tidak dapat ditambahkan sesuatu yang lain (impossibile est infinito addi), dan tidak ada hal lain yang lebih besar dari-Nya [Osborne, The Infinity of God and Finite World, ix].
Duns Scotus (1266-1308) menempatkan infinitum sebagai ciri intrinsik eksistensi Allah. Infinitum bukan unsur tambahan pada Allah, melainkan esensinya.. Bagi Thomas Aquinas (1225-1274) Allah ialah dasar terakhir dan terdalam (dan karena itu sendiri tidak memiliki dasar lain kecuali diri-Nya sendiri) dari segala kenyataan. Dialah yang menopang segala sesuatu, menggerakkan segala sesuatu; Allah adalah sang Kebaikan Tertinggi (segala jenis kebaikan lain hanya berpartisipasi dalam Sang Kebaikan itu sendiri). Ia adalah tujuan terakhir, yang mengarahkan segala sesuatu [Osborne, The Infinity of God and Finite World, xiv, 95-6].
Kalau kita berbicara mengenai Allah, kita memaksudkan sesuatu yang istimewa, yang berbeda dari berbagai kenyataan yang lain. Allah ada tidak seperti manusia atau hal-hal yang lain ada. Eksistensi Allah berbeda dengan eksistensi segala kenyataan terbatas lain. Persoalan atau pertanyaan tentang Allah bukanlah sebuah persoalan atau pertanyaan di samping persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan yang lain. Atau lebih positif dan dari sudut manusia dan dunia, kita dapat mengatakan, bahwa menurut tradisi kekristenen Allah akhirnya adalah jawaban atas pertanyaan yang adalah manusia dan dunia itu sendiri. Ia adalah satu-satunya jawaban atas kerapuhan manusia dan dunia (Sunarko, Allah Tritunggal adalah Kasih, 9).
Allah sebagai misteri dalam arti ketat hanya dapat diterima dengan iman manusia. Tanpa refleksi iman, pembicaraan tentang misteri itu menjadi spekulasi belaka. Yang dapat diungkapkan dengan bahasa manusia (teologi kita) ialah Trinitas ekonomi, yaitu Trinitas yang telah menjelma dalam sejarah keselamatan sebagaimana dapat dimengerti dari bahasa teologis, yaitu kesaksian alkitabiah yang kemudian direfleksikan dari tahap ke tahap, sejak para Bapa Gereja kuno hingga zaman Kontemporer. Tanpa mendasarkan diri pada kesaksian tentang pewahyuan diri Allah sendiri, diskursus Trinitas tidak memiliki pijakan teologis. Titik awal teologi Trinitas adalah perkataan Allah, Deus dixit. Allah sendiri yang paling tahu tentang diri-Nya. Hanya sejauh Ia berkehendak mengungkapkan diri, manusia dapat berusaha membahasakannya.
Menurut iman Kristen, Allah Yang Esa, Prinsip Pertama yang absolut atau misteri dalam arti ketat (myterium stricte dictum), telah menampakkan wajah-Nya dalam diri Yesus dari Nazaret. Dalam diri Yesus, Allah bukan sebuah prinsip metafisik atau ideologi tertentu, melainkan persona. Sebagai pribadi Allah bukan sekedar objek spekulasi melainkan pribadi yang hadir bagi umat-Nya dalam sejarah. Dalam diri Kristus terjadi titik temu konkret antara pertanyaan manusia tentang makna (sense) dan jawaban Allah.
Dalam pandangan ini ciri misteri, infinitum, absolut, atau ciri-ciri lain diri Allah dimaknai secara positif. Allah itu misteri, tetapi misteri yang menyatakan diri bagi kita; Allah itu infinitum, tetapi infinitum itu melekat pada kasih Allah. Jika Allah mewahyuakan diri-Nya bagi kita, maka Ia juga menerangi kita untuk menemukan jejak kehadiran-Nya melalui pengalaman dan realitas sekitar kita. Pewahyuan diri Allah tidak hanya mengatakan tentang Allah, tetapi juga tentang manusia: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kis 17:28). Tentu saja teologi kita tentang Theos (teologi in sé) tetap terbatas. Prinsip epistemologis dari Allah tidak lain ialah Allah itu sendiri yang mewahyukan diri-Nya, khusunya melalu Sabda atau Firman. Allah telah berbicara, maka kita dapat menanggapi dengan bahasa kita, meski tetap terbatas.
[Home-Tater-3/7-2019]
Terima kasih Romo. Berkah Dalem.
Pax te cum!
Terimakasih romo atas artikelnya.??????
Sama2 ama.