Iman Kristen mengakui bahwa alam semesta merupakan realitas yang memiliki awal mula, agung, beranekaragam, indah, utuh, teratur, serta memiliki tujuan. Secara bersama ciri-ciri tersebut mengungkapkan sebuah makna mendasar: setiap makhluk dan setiap ciptaan terkait satu sama lain, bahkan saling bergantung. Yang satu mendukung kehidupan yang lain. Tema seperti ini mendapat perhatian dari Paus Fransiskus, sebagaiaman ia kemukakan dalam Ensiklik Laudato Si’. Bagi Paus dunia adalah “rumah kita bersama” (LS 1).
Filsuf Jerman di zaman Renaissans, Nicolaus Cusanus (1401-1464) mengklaim bahwa res omnis creata gerit imaginem trinitatis (setiap elemen ciptaan membawa gambaran trinitas dalam dirinya). Cara pandang ini berkembang dalam banyak literatur modern terkait dialog antara teologi dan ilmu pengetahuan alam (natural science). Intuisi Kusanus itu, setelah lima abad kemudian tercetus dari misalnya Raimon Pannikar (1918-2010): “By Trinity, I mean the ultimate triadic structure of reality” [Pannikar, The Rhytm of Being: The Guifford Lectures, 55].
Di era modern, Paleontolog Teilhard de Chardin (1881-1955) misalnya, melalui penelitian-penelitiannya menemukan triade ciri gerak elemen-elemen dalam alam semesta: keberagaman, kesatuan, dan energi (plurality, unity, energy). Pada alam semesta, dalam wujudnya yang beragam, terdapat partikularitas setiap wujud (radically particulate) yang terkait satu sama lain (essentially related) oleh karena gerakan-gerakan yang aktif ”. Terdapat juga ciri kesatuan erat antara unsur-unsur paling kecil dalam alam semesta, yang pada gilirannya memungkinkan kehidupan, yaitu molekul, atom, elektron: “There is perfect identity in every smaller unity (molecules, atoms, electrons)” [bdk. Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 40-41].
Kesatuan antar unsur dasariah itu dimungkinan oleh sebuah daya alami, yang oleh sains dinamakan energi. Energilah yang memungkinkan dan menjadi alat ukur keseimbangan realitas kosmos yang kompleks. “[…] Energy is the measure of that which passes from one atom to another in the course of transformations […] As the unifying power in the course of exchange of matter, energy equilibrates and makes stability in the universe. In physical science, energy is an instrument to measure the complexity of the system of the universe” [Bdk. TPM, 42-43].
Dari penelitiannya, imam Jesuit ini berpandangan bahwa terjadinya alam semesta serta fungsinya yang seimbang sebagai sebuah sistem terjadi tidak hanya karena energi fisik. Baginya hipotesis sains mengenai ledakan awal yang melahirkan bumi (Big Bang) tidak hanya dimungkinkan oleh energi fisik. Terdapat sebuah “spiritual energy” that enables the growing of life: The basis of the material world is nonmaterial” [Bdk. TPM, 63, 72, 74].
Gejala kosmologis yang mendukung hipotesis ini ialah ciri mengatur sendiri (self-arrangement) yang terjadi dalam elemen-elemen kehidupan: “Matter on earth is involved in a process which causes it to arrange itself, starting with relatively simple elements, in ever larger and more complex unity” [Teilhard de Chardin, The Future of Man, 195].
Gisbert Greshake, seorang teolog kontemporer, membaca pemikiran Teilhard ini dalam terang analogi Trintias. Analogi itu didasarkan pada tiga model gerak yang dikemukakan Teilhard berkaitan daya energi dalam kosmos: auto-organization, differentiation, complexity.
Ciri pertama analog dengan Allah Bapa, asal mula realitas: Ia ada dari dirinya sendiri, tidak disebabkan oleh sebab lain. Ciri diferensiasi realitas diasosiasikan dengan peran Putra. Sabda itu menjelma menjadi manusia, dan menjadi model seluruh tata ciptaan. Term kompleksitas dianalogikan dengan peran Roh yang membawa pembaruan dan keberagaman karunia dalam kehidupan. “Dalam evolusi terjadi proses interkoneksitas, terbentuk kesatuan dan komunikasi antara elemen-elemen kehidupan. [Greshake, Il Dio Unitrino, 306, 307, 309].
Teolog kontemporer lain seperti John Haught juga menafsirkan Teilhard dalam perspektif yang sama. Baginya alam semesta ditandai dengan tiga ciri ‘tidak terbatas’ (infinite): “One is immense and the other the infinitesimal. But there is also a third infinite, that is the infinite of complexity, or we may call this the intricate patterning of the infinite of relationality […] To isolate any part of this network is to miss its meaning altogether” [Haught, Christianity and Science, xiii].
Analogi-analogi tersebut di atas hendak mengatakan bahwa salah satu hal yang menakjubkan dari alam semesta ialah keanekaragamannya. Alam semesta dihuni begitu banyak jenis makhluk hidup; masing-masing memiliki ukuran, jumlah dan bobot. Ilmu Biologi dan Fisika pun menemukan variasi ukuran makhluk hidup dan benda-benda Jagad Raya: Ada yang berukuran maha besar dan luas; sebaliknya ada yang sangat kecil sehingga tidak terlihat mata; dan ada pula yang begitu kompleks dan rumit. Intuisi dunia kosmologi ini menjadi tegas dalam klaim sains modern tentang interkoneksitas alam semesta. Para ilmuwan pun mengakui bahwa kompleksitas kosmos merupakan misteri yang belum terpecahkan secara tuntas.
Teolog Protestan, Jurgen Moltmann mengemukakan keyakinannya akan interkoneksitas yang terjadi dalam fenomena kehidupan kosmos. Baginya realitas ciptaan berjalan dalam garis persekutuan, berupa konstruksi alami, dari wujud yang sederhana sampai yang paling kompleks: partikel elementer, atom, molekul, makromolekul yang membentuk sel, organisme multisel, organisme hidup, populasi dari organisme, wujud yang hidup, hewan, evolusi dari hewan menjadi manusia, manusia, populasi manusia, kemunitas manusia. [Moltmann, The Trinity and the Kingdom, 1993; God in Creation. An ecological doctrine of creation, 1985].
Dalam LS Paus Fransiskus mendedikasikan sejumlah paragraf yang secara khusus mengulas tema “relasi antara Trinitas dan ciptaan” (bdk. LS 238-242). Berdasarkan pandangan Bonaventura ia menulis: “Orang kudus Fransiskan ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap ciptaan terdapat struktur trinitaris yang spesifik” […]. Dengan demikian ia mendorong kita untuk berupaya memandang realitas dengan cara pandang Trinitaris” (LS. 239). Dan berdasarkan pemikiran Aquinas, Paus merefleksikan bahwa “di dalam komsmos ini terdapat sebuah ritme relasi. Hidup manusia terarah kepada Pencipta, dan terjalin dengan realitas kehidupan di sekitarnya; ritme ini terjadi sedemikian rupa sehingga dalam rahim kosmos ini terjalin beragam kehidupan yang terkait satu sama lain secara rahasia, di luar pengetahuan manusia” (LS 240).
Realitas alam semesta mengungkapkan sebuah nilai yang lebih luhur, yaitu jejak keharmonisan kasih ilahi sendiri. Keharmonisan dan keindahan kosmos bukan murni peristiwa alami, melainkan “bahasa Allah” (the language of God). Dari realitas kosmos ini manusia harus menyadari bahwa keutuhan dirinya mengandaikan relasinya dengan sesama dan dunia. Hanya dengan kesadaran akan ciri relasional itulah solidaritas ‘rumah bumi’ dapat diwujudkan.
[Home-Tater-29/06-19]