Istilah ‘kurban’ menunjuk ritus ucapan syukur umat beragama kepada yang adikodrati: Tuhan atau dewa-dewi. Dalam ritus tersebut ada materi tertentu yang dipersembahkan, umumnya hewan sembelihan. Tujuan ritus kurban itu ialah pujian dan syukur umat manusia atas kebaikan Tuhan yang berlimpah.
Tidak ada Kurban Sempurna. Dalam Kitab Kejadian dikisahkan bahwa Kain dan Habel, anak-anak Adam dan Hawa, mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Kain mempersembahkan hasil tanah, Abel mempersembahkan anak sulung kambing domba. Persembahan Habel diindahkan Tuhan, Kain tidak. Maka hati Kain menjadi sangat panas, mukanya muram. Kain iri hati dengan Abel. Ia lalu membunuh adiknya itu (Kej 4: 1-7).
Kain mempersembahkan kurban, namun hatinya tidak tulus. Ia mengira bahwa kurbannya lebih baik. Nyatanya Tuhan tidak berkenan akan persembahannya. Jika kita mempersembahkan kurban, biarkan kurban kita dinilai menurut kriteria Allah. Dan patut disadari: tidak ada kurban manusia yang sempurna di mata Tuhan.
Menumbuhkan iman. Abraham, sahabat Allah, memiliki seorang anak tunggal, Ishak. Anak itu bukti janji setia Allah memberi keturunan bagi Abraham yang sudah lanjut usia dan isterinya Sara yang telah tua dan mandul. Namun suatu saat Tuhan memintanya mempersembahan Ishak sebagai kurban. “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai kurban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kej 22: 2).
Permintaan Tuhan itu terdengar absurd, tak masuk di akal sehat, juga tidak manusiawi. Namun Abraham mau melakukannya. Ia tidak mengetahui tujuan mengurbankan anaknya, namun Ia percaya dan taat pada kata-kata Tuhan (credo quia absurdum). Tuhan hanya mau menguji iman Abraham. Pada akhirnya Tuhan lah yang menyedikan hewan kurban, tapi Ia mau melihat sendiri bahwa Abraham sungguh tulus hati.
Syukur terus-menerus. Dalam Keluaran 12 dikisahkan bahwa Tuhan menyuruh orang Israel mengadakan ritus kurban pada malam ketika Ia membebaskan mereka dari kekejaman orang Mesir. Orang Israel diperintahkan untuk memilih anak domba jantan, menyembelih atau mengurbankannya, mengoleskan darahnya pada tiang pintu rumah, memakan dagingnya dengan sayur pahit, dan menjalani amanat mengenang Paskah turun-temurun.
Domba yang dikurbankan adalah domba pilihan, jantan dan tidak bercacat. Aturan ini menyimbolkan bahwa domba sembelihan itu bukan domba biasa, tetapi murni, karena dikhususkan bagi Tuhan (bdk Kel. 12: 1-6). Seluruh daging harus dimakan oleh keluarga di dalam rumah, dan tidak satu tulang pun dari domba itu dipatahkan (bdk 12: 46). Memakan daging kurban adalah ungkapan kepenuhan sebuah perayaan.
Lalu Tuhan memberikan sebuah amanat penting: hendaknya umat Israel mengulang ritus ini turun-temurun untuk mengenang peristiwa pembebasan yang dikerjakan Allah sendiri: “Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi Tuhan turun-temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan untuk selamanya” (12:14; bdk. ayat 24-27). Ungkapan syukur itu sejatinya terjadi sehari-hari, sebagai bagian dari hidup riil, bukan sikap yang dipamerkan pada saat ritus kurban.
Kurban Bukan Bisnis. Tradisi mengenang saat pembebasan merupakan warisan yang berpusat pada keyakinan akan Allah yang selalu setia akan janji-Nya. Yang disyukuri dalam ritus ini ialah kerahiman Allah dalam wujud tanah, berkat dan keturunan bagi umat Israel. Amanat pengulangan perayaan ini didasarkan pula pada petunjuk dalam Kitab Ulangan: “Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji Tuhan, Allahmu, karena negeri yang baik yang diberikan-Nya kepadamu itu” (Ul 8: 10).
Makna otentik kurban dalam tradisi Israel kuno atau agama-agama pada umumnya yaitu puji-syukur bagi Tuhan adalah kritik bagi mentalitas manusia kontemporer terkait cara memaknai relasi dengan Tuhan dan sesama. Dalam tradisi kuno, ritual kurban tentu tidak bersifat profan saja, karena ditujukan untuk Tuhan atau wujud adikodrati. Ritual kurban merupakan pesta gembira, sebab umat manusia merayakan relasinya dengan sang Pencipta. Dalam hal ini belum ada konotasi ‘untung rugi’ seperti orang modern. Makna yang asli ini mengikis mentalitas suka buat kalkulasi untuk memberi sedikit mungkin tetapi mendapat untung sebanyak-banyaknya.
Orang yang berkurban dengan tulus, apa lagi atas nama agama, seharusnya tidak akan pernah memperhitungkan untung dan rugi dalam setiap tindakannya. Dalam pengorbanan yang tulus orang tidak akan memanfaatkan, apalagi mengorbankan orang lain demi keuntungan diri sendiri atau kelompoknya.
Hati yang Bertobat. Nabi Yesaya mengkritik orang yang sibuk menyembelih hewan kurban, namun kejam kepada sesama. Mereka “menyembelih lembu jantan, namun membunuh manusia juga” (Yes 66: 3). Dalam hal ini kita juga boleh belajar dari pemazmur yang sungguh sadar bahwa yang dikehendaki Allah bukan hewan korban, melainkan hati yang bertobat. “Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mzm 51: 18-19).
Sekali lagi, tujuan ritus kurban ialah syukur atas kasih Allah yang tak terbalaskan, bukan kalkulasi untung-rugi manusia. Motif ‘bisnis’ dalam ritus kurban adalah pelecehan bagi nilai kurban. Ucapan syukur sesunggunya bukan sogokan bagi Tuhan agar mendapat perlakuan khusus dari-Nya. Dalam pemaknaan ini hewan atau bahan kurban lainnya merupakan simbol dan tanda, tidak pernah menjadi penentu atau tujuan akhir.
Bahaya Ritualisme. Suatu kurban persembahan hanya tinggal ritualisme belaka jika ia tidak berdampak dalam sikap kepada sesama. Dalam Injil Matius Yesus mengkritik keras orang yang sibuk dengan urusan ritual dan lupa menata hati: “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah” (Mat 12: 7). Ada pandangan teologis yang mengatakan bahwa simbol-simbol sakramental yang tidak memadai sebagai media untuk menyingkap misteri atau tidak berdampak pada sikap manusia, hanyalah ‘simbol telanjang’ (signum nudum) atau tak bermakna.
Kurban Kasih. Seluruh hidup Yesus adalah kesaksian tentang kasih Tuhan yang mendatangkan keselamatan. Hidup Yesus adalah contoh kurban diri karena kasih yang total. Hal itu terungkap dalam kata-kata-Nya pada malam Perjamuan Terakhir, ketika membagikan roti dan anggur kepada para murid-Nya: “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku. Terimalah dan minumlah, inilah Darah-Ku”. Yesus tidak menolak kurban keagamaan, tetapi mengajarkan bahwa kurban terbaik ialah kasih dan pengampunan bagi sesama.
Terimakasih pater tulisan yang mengajak untuk selalu bersyukur pada Tuhan. Pagi ini juga saya bersyukur pada Tuhan karena mengingatkan saya untuk selalu bersyukur melalui gembalanya, pater atawolo.
Terima kasih telah mengunjungi blog saya dan membaca artikel ini. Pax te cum!
Dalam perjamuan malam terkahir Yesus mau menegaskan” Saya inilah kurban yang siap disembelih utk menebus kalian dari perbudakan dosa”
Rayakan ini utk mengenang dan mensyukuri betapa Aku mencintai kamu”.
Kurban terbaik adalah kasih, pengampunan, pemberian diri.
Terima kasih Pater
Semoga manusia memahami tujuan Ritus korban adalah ungkapan syukur atas kasih Allah.. Tuhan Yesus memberikan contoh kepada umat-Nya,, kasihNya yang total Ia menurunkan DiriNya… Terima kasih Pater.. Salam dan doa, semoga pater sehat selalu..
Semoga manusia memahami tujuan Ritus korban adalah ungkapan syukur atas kasih Allah.. Tuhan Yesus memberikan contoh kepada umat-Nya,, kasihNya yang total Ia mengurbankan DiriNya… Terima kasih Pater.. Salam dan doa, semoga pater sehat selalu..
Terima kasih pater atas tulisan yang sangat bermanfaat..Kami selalu diingatkan untuk bisa mempersembah segala sesuatu dengan tulus.. Persembahan yang tulus berkenan kepada Allah. Salam dan doa, semoga pater sehat selalu., ?
Kurban terbaik ialah kasih dan pengampunan, Gracias Padre