Akhir-akhir ini viral berita seorang Ustadz yang mengaku sebagai eks Imam Katolik, dan yang telah meraih gelar S3 di Vatikan. Banyak kesaksian bahwa saudara ini nyatanya hanya pernah satu tahun mengenyam pendidikan di SMA Seminari Garum, dan selebihnya, selain meninggalkan Seminari dan iman Katolik, ia telah menjadi seorang Muslim.
Tulisan ini tidak bermaksud mengadili saudara tersebut, tetapi hendak menggambarkan proses formasi seseorang menjadi Imam Katolik dengan menempuh pendidikan S3 Teologi. Jadi anggap saja bahwa klaim Ustadz ini menjadi tantangan baru bagi kita untuk mengerti agama kita. Kiranya paparan ini membantu kita semua, khususnya umat Katolik sendiri, mendapat gambaran cukup jelas tentang tahap formasi menjadi imam, agar tidak bingung terhadap klaim-klaim yang dapat menyesatkan.
Formasi menjadi imam Katolik membutuhkan proses yang panjang. Dan jika seorang imam perlu menjalani pendidikan lanjut di Luar Negeri, misalnya di kota Roma, Italia, sampai jenjang S3, maka ia membutuhkan waktu sekitar 18-20 tahun untuk seluruh proses formasi dan studi lanjut. Istilah formasi (formatio) di sini mau mengatakan bahwa yang dituntut dari imam Katolik ialah kedewasaan dan kematangan seluruh dirinya, jadi bukan hanya pendidikan formal untuk mendapat gelar.
Pendidikan di Seminari Menengah ditempuh selama 6 tahun, yaitu 3 tahun Sekolah Menengah Pertama dan 3 tahun Sekolah Menengah Atas. Jika seorang anak lulusan SMP ataupun SMA non-Seminari, tetapi mau menjalani pendidikan di seminari, maka ia memerlukan waktu dua tahun pendidikan awal untuk menjalani penyesuaian, yang disebut Kelas Persiapan Bawah (bagi lulusan SMP non-seminari) dan Kelas Persiapan Atas (bagi lulusan SMA non-seminari).
Perlu diketahui bahwa semua proses pendidikan para siswa seminaris terjadi dalam rumah pendidikan atau asrama-asrama, dengan disiplin belajar dan pembinaan mental yang teratur dan memadai. Penggemblengan seorang seminaris itu tidak hanya transfer pengetahuan, tetapi pembentukan seluruh dirinya agar ia bertumbuh sebagai manusia utuh.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Seminari, lulusan seminaris itu mengajukan permohonan untuk melanjutkan pendidikannya pada sebuah Tarekat Hidup Religius (Ordo) ataupun sebuah Keuskupan. Contoh: Ordo OFM, SJ, CICM, SX, SDB, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang. Untuk dapat diterima pada sebuah Keuskupan atau Ordo, seminaris itu perlu menjalani test dalam beberapa aspek: kesehatan fisik, kematangan diri yang cukup, serta kemampuan intelektual.
Setelah seorang lulus test memasuki sebuah Ordo atau Keuskupan, ia perlu menjalani kurang lebih dua tahun persiapan untuk menjadi lebih siap dan matang memutuskan untuk menjadi seorang religius dan/Imam Katolik. Dikatakan dua tahun persiapan karena praktis ada dua tahap yang harus dijalankan. Tahap pertama disebut masa Postulat, yaitu masa untuk melihat dan mengenal sebuah spirit Hidup Religius; ini sebuah orientasi sangat awal. Tahap kedua disebut masa Novisiat atau Tahun Rohani, yaitu sebuah tahap di mana seorang calon imam menjalani formasi secara intensif, digembleng lebih serius agar siap menjalani hidup sebagai anggota resmi Ordo atau Keuskupan, dalam semangat Gereja Katolik.
Setelah menyelesaikan masa Postulat dan Novisiat, calon Imam Katolik wajib menjalankan studi Ilmu Filsafat dan Teologi, sampai pada tingkat Sarjana. Seperti pada tahap-tahap sebelumnya di tahap inipun, yang dituntut bukan hanya perkembangan intelektual, tetapi seluruh dirinya.
Sebagai mahasiswa Filsafat dan Teologi, para calon imam ini dibentuk di rumah-rumah pendidikan melalu berbagai kegiatan yang teratur, baik dalam segi manusiawi, dalam segi iman kristen, maupun spirit khusus sebagai calon Imam pada Ordo atau Keuskupan. Pendikan Filsafat dan Teologi berlangsung sekitar 4 tahun, disertai tahap seleksi ketat pada setiap akhir Tahun Ajaran.
Selain pendidikan Filsafat dan Teologi itu, seorang calon imam juga memerlukan waktu sekitar 2 tahun lagi untuk sebuah tahap Orientasi Pastoral, dan masa persiapan tahbisan Imam yang biasa disebut masa diakonat. Dengan demikian masa pendidikan lancar sejak seminari menengah sampai menjadi imam ialah 14 tahun: 6 tahun seminari, 2 tahun formasi awal, 4 tahun studi Filsafat dan Teologi, 1 tahun Orientasi Pastoral dan 1 tahun menjalani masa Diakon. Dua tahap yang disebut terakhir ini bersifat praktis, karena calon imam belajar dengan terlibat melayani umat.
Sekarang, jika setelah menjadi imam, ia hendak melanjutkan studi ke jenjang S2 sampai S3 maka, ia mambutuhkan minimal 5 tahun belajar. Sekiranya seorang imam perlu menjalani studi di luar negeri, tentu ia memerlukan waktu minimal setahun untuk belajar bahasa negara setempat, dan tentu saja kemampun dan kematangan diri yang memadai. Jadi seluruh formasi dari seminari menengah hingga pendidikan S3 minimal 19 tahun, atau dengan variasi durasi waktu, berkisar 19-20 tahun.
Para imam dari Gereja Katolik Indonesia yang menjalani studi Teologi di kota Roma, Italia, pada umumnya akan belajar pada universitas-universitas milik kepausan atau Ordo Religius tertentu, karena sama-sama berada dalam payung Gereja Katolik Roma. Para student imam ini tinggal di rumah-rumah biara atau colegio, dan bukan di dalam Vatikan. Tidak ada suatu kontak personal antara imam student dengan Vatikan sebagai negara.
Para imam student menjalani studi misalnya Universitas Lateran milik Keuskupan Roma, Salesianum milik para Salesian, Antonianum milik para Fransiskan, Gregorianum milik para Jesuit, Angelicum milik para Dominikan, Urbanianum milik Kepausan, dan Anselmianum milik para Benediktin. Sedangkan nama “Vatikan” adalah sebutan untuk negera kecil di dalam kota Roma dengan Paus sebagai kepala negera, jadi bukan nama sebuah universitas, sebagaimana diklaim oleh saudara Ustadz tersebut.
Perlu diketahui bahwa semua jenjang pendidikan sampai menjadi imam dan studi lanjut, misalnya sampai jenjang S3 itu, bukan sekedar studi formal secara intelektual, melainkan tahap formasi terus-menerus agar imam benar-benar menjadi profesional dalam tugasnya. Jadi, sungguh tidak tepat mengatakan bahwa pendidikan itu dipercepat karena kepandaian orang. Kalaupun imam itu pandai sekali secara intelektual, ia tetap menjalani semua tahap pendidikan, tidak ada lompat kelas dalam formasi hidup religius.
Akhirnya perlu diketahui juga bahwa pembinaan dan pembentukan menjadi Imam Katolik itu diperlukan dalam rangka tugas pelayanan dalam Gereja dan masyarakat. Jadi jabatan imam itu bukan untuk sebuah status sosial. Juga kalau imam itu berpendidikan S3, tidak patut ia menjual gelar itu untuk mendapat simpati banyak orang atau untuk suatu keuntungan pribadi. Dan de fakto, imam Katolik yang meninggalkan imamat, umumnya tidak gampang memamerkan gelar S3 – sekurang-kurangnya karena merasa malu bahwa gelar itu bukan hasil usahanya sebagai pribadi.
Dengan demikian, jika ada saudara kita yang hanya pernah merasakan sekolah satu tahun di Seminari, jadi sama sekali bukan mantan Imam Katolik, tetapi berani mengklaim diri eks Imam Katolik lulusan S3 Teologi di ‘Universitas Vatikan’, tentu mudah saja menyimpulkan bahwa berita itu bohong. Patut disayangkan pula bahwa ada lebih banyak orang yang percaya pada kebohongannya itu. Tetapi yang lebih memprihatinkan ialah bahwa kedangkalan seperti ini nyata, dan ia memasuki kehidupan beragama, sebuah ruang sosial yang seharusnya bersifat sakral.
Terimakasih pater penjelasan tentang formatio ini. Semoha menjadi jelas bagi banyak orang yang bingung.
Terimakasih unntuk tulisannya Pater,semoga menjadi pencerahan bagi umat Katolik agar tidak gampang percaya pada berita bohong…
Terima kasih Pater…
Terima kasih Pater utk penjelasannya shgg menambah wawasan perKatolikan. Saya jarang sekali mendapat penjelasan kyk gini. Saya sering menduga pengetahuan2 ttg perKatolikan byk beredar di kalangan para frater yg sdg tahap menjalani pendidikan utk selanjutnya menjadi pastor/imam.
Terima kasih Pater atas pencerahannya Tuhan memberkati.
Terima kasih Sdra informasi dan penjelasannya.
Terimakasih Pater atas penjelasannya. Next boleh dibahas mengapa jarang sekali ordo Katolik yg memberikan jabatan imam kpd perempuan ?
Ada artikelnya Jess. Makasih ya.
Terima kasih Pater. Penjelasan yang lengkap dari yang sudah menjalaninya. Ijin share ya Pater.
Semoga kasih, berkat, perlindungan selalu menyertai para Pater.
Salam damai dalam Kristus.
Terima kasih. Yes, read and share please..
Luar biasa ulasannya Pater
Thanks bro..
Trima kasih Pater Andre .. Artikel ini sangat membantu kita khususnya.umat katolik agar semakin berwawasan luas.. dan bersikap positif dalam menanggapi berita. yang.kurang baik…
Tuhan memberkati selalu. Terima kasih Sr.
Terima kasih Pater untuk penjelasannya. Tuhan memberkati
God bless you too..
Terima kasih adeku…
Terima kasih Pater, mencerahkan. Sip
Terima kasih Pater